Sukses

Pasar Modal RI Masih Gagah di Tengah Resesi Global, Fundamental Jadi Kunci

Tingginya pertumbuhan investor ritel di tanah air turut menopang kelangsungan pasar selama pandemi COVID-19 hingga saat ini.

Liputan6.com, Jakarta - Pasar modal Indonesia masih bergairah di tengah tekanan resesi global dan kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat atau the Federal Reserve (the Fed). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sejak awal tahun terpantau menghijau di kisaran 7.000, meski sempat turun di bawah 7.000 pada awal Juli 2022.

Pada perdagangan sesi I Selasa, 9 Agustus 2022, IHSG naik 47,97 poin atau 0,68 persen ke posisi 7.134,82. IHSG dibuka pada level 7.086,85 dan bergerak pada rentang 7.086,85—7.144,20.

Direktur PT Ashmore Asset Management Tbk (AMOR), Steven Satya Yudha menilai, pasar Indonesia memang menarik dicermati di tengah hiruk pikuk resesi dan kenaikan suku bunga The Fed. Dari sisi non fundamental, ia mencermati kepemilikan investor lokal yang dominan, baik di pasar obligasi maupun saham.

Sebagai gambaran, Steven menjabarkan kepemilikan investor asing di pasar obligasi hanya berkisar 16 persen, sementara lokal 84 persen. Investor lokal umumnya memang memiliki kepentingan untuk beli.

"Jadi ini memang berbeda dengan nature foreign investor yang selama ini menjadi ‘petani’. Bukan tidak membutuhkan foreign investor. Tapi perbedaan karakteristik investasi ini menghasilkan stabilitas yang berbeda,” kata dia dalam webinar Money Buzz, Selasa (9/8/2022).

Kondisi serupa juga terjadi di pasar saham. Ia mengatakan, tingginya pertumbuhan investor ritel di tanah air turut menopang kelangsungan pasar selama pandemi COVID-19 hingga saat ini.

 

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Pertumbuhan Investor Ritel

"Pertumbuhan investor ritel sekarang luar biasa. tadinya market kita di-drive atau didorong oleh investor asing karena mereka punya kepemilikan bisa 60—70 persen, sekarang kepemilikan asing turun bahkan ke 40 persen, 60 persen ritel," imbuh Steven.

Seementara dari sisi fundamental, Steven mengatakan ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih baik dibandingkan krisis-krisis sebelumnya. Seperti pada 2013 saat The Fed memperketat kebijakan moneter, dan naikkan suku bunga pada 2015. Saat itu, Steven mengatakan kondisi fundamental Indonesia juga tengah babak belur.

“Saat itu memang Indonesia sedang chaos-chaosnya. Angka defisit jebol, cadangan devisa yang sedang turun. Sedangkan sekarang tidak. Jadi ini yang buat localnya juga optimis, sementara foreign terbawa big flow,” ujar Steven.

 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 4 halaman

Momentum Investasi di Tengah Resesi Global, Perhatikan Hal Ini

Sebelumnya, pasar negara berkembang, termasuk Indonesia disebut menjadi pasar potensial saat terjadi resesi global. Indonesia memiliki daya tarik tersendiri di mata investor asing lantaran memiliki persediaan komoditas yang melimpah.

Seperti diketahui, harga komoditas saat ini tengah dalam tren naik. Kondisi itu menyusul kelangkaan komoditas akibat gangguan logistik di beberapa negara, buntut konflik Rusia—Ukraina. Direktur PT Ashmore Asset Management Tbk (AMOR), Steven Satya Yudha menilai, surplus yang terjadi akibat ekspor komoditas, dampaknya masih belum terasa secara optimal.

Ia menilai, beberapa sektor masih mengalami perlambatan pertumbuhan. “Saya melihat surplus yang terjadi akibat ekspor komoditi ini, limpahannya belum optimal. kita belum melihat harga properti naik gila-gilaan. Penjualan otomotif sudah mulai membaik, tapi kalau di sektor lain belum terlihat signifikan,” kata dia dalam webinar Money Buzz, Selasa (9/8/2022).

Seperti diketahui, selain sentimen komoditas, saat ini pasar juga tengah berjibaku dengan kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (the Fed). Steven mengatakan situasi ini merupakan momentum yang tepat untuk mulai menabung dan investasi.

 

 

 

 

4 dari 4 halaman

Didukung Kinerja Emiten

"Tapi pesan saya jangan masuk investasi bodong. Itu sudah pasti. Harus bijak pilih investasi yang memang prudent sesuai dengan profil risiko. Jangan sampai menyalahi atau melanggar profil risikonya sendiri,” kata dia.

Steven menilai, dengan investasi di masa-masa seperti ini, investor akan mendapat potensi imbal hasil yang lebih besar. Misalnya seperti imbal hasil obligasi dan deposito, didorong kenaikan suku bunga. Selain itu, di pasar saham investor juga bisa mengantongi return yang lebih besar dari dividen yang besar, seiring kinerja yang mentereng pada paruh pertama tahun ini.

"Profit emiten tumbuhnya sedang tinggi-tingginya. Semester pertama kemarin profitabilitas dari emiten-emiten yang kita pantau, itu pertumbuhannya bisa 40—50 persen yoy. Semestinya pergerakan dari pasar saham ini inline dengan profitabilitas emiten-emiten," ujar Steven.

Di samping itu, tren kenaikan harga komoditas masih diperkirakan berlanjut. Meski kemungkinan turun tetap ada, tetapi sepanjang pemerintah Indonesia bisa memanfaatkan momentum ini, kelangsungan usaha emiten sektor komoditas dinilai juga akan moncer. Sehingga diharapkan juga bisa menopang pasar dalam negeri.