Liputan6.com, Jakarta - Imbal hasil obligasi RI diperkirakan mencapai 7,5 persen hingga akhir tahun 2022. Sementara untuk tahun depan, Head of Fixed Income, Ashmore Asset Management Indonesia, Anil Kumar mengatakan, imbal hasil obligasi akan turun di kisaran 7,1 persen.
Dalam catatan Anil, pasar obligasi dalam negeri saat ini didominasi oleh investor lokal sebesar 85 persen. Kondisi ini jauh berbeda dibanding 2019 lalu di mana investor dalam negeri 60 persen. Kondisi ini menjadikan pasar obligasi Indonesia memiliki kendalinya sendiri.
Baca Juga
"Jadi tahun ini mungkin di 7,5 imbal hasilnya, tahun depan mungkin akan turun 30–40 bps ke 7,1. Tapi kalau inflasi kita lebih cepat turunnya di tahun yang akan datang maka harusnya imbal hasil obligasi kita juga akan ngikutin lebih cepat," kata Anil dalam webinar Money Buzz, Selasa (23/8/2022).
Advertisement
Anil mengatakan, saat ini banyak investor yang berpaling dari pasar negara berkembang (emerging market) dan merapat pada pasar negara maju.
Dia menilai, hal itu ditengarai adanya normalisasi negara maju yang belum dilakukan oleh negara. Jika nanti emerging market menempuh langkah serupa, investor disebut akan kembali melirik pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Tapi percayalah ketika Bank Sentral AS sudah mulai bisa mengontrol inflasi dan stop melakukan normalisasi, uang itu akan kembali ke Indonesia,” imbuh Anil.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Menakar Investasi Obligasi di Tengah Sentimen The Fed
Sebelumnya, investasi di obligasi saat ini dinilai menarik setelah inflasi Amerika Serikat (AS) mereda meski masih berada di level tertinggi dalam beberapa dekade.
Mengutip riset PT Ashmore Asset Management Indonesia, ditulis Minggu (21/8/2022), sikap hawkish bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) dinilai telah mencapai puncaknya. Dengan demikian, Ashmore menilai, pada jangka menengah merupakan titik masuk yang baik untuk masuk aset obligasi.
“Setelah inflasi AS pada Juli 2022 telah mereda meskipun masih pada level tertinggi selama beberapa dekade, di sana ada kemungkinan besar kebijakan moneter akan masuk fase lebih dovish,” tulis Ashmore.
Ashmore menambahkan, salah satu alasan bank sentral AS menaikkan suku bunga dalam beberapa bulan untuk melawan inflasi. Sedangkan inflasi secara umum turun dengan kecepatan tidak merata. "Kami berpikir beberapa indikasi pada faktor pendorong inflasi seperti harga komoditas telah masuk tahap normalisasi,” tulis Ashmore.
Adapun suku bunga diperkirakan mencapai puncaknya 3,5 persen pada akhir 2022 dan 4 persen pada 2023, belum berubah untuk saat ini.
Ashmore menilai, Bank Indonesia tetap cukup praktis saat ini. "Seperti komentar sebelumnya, BI mempertahankan suku bunga adalah karena kemampuannya untuk mempertahankan makro yang solid dengan neraca pembayaran surplus USD 3,9 miliar pada kuartal II 2022, melanjutkan tren tahun lalu setelah alami defisit sejak 2012,” tulis Ashmore.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Risiko
Namun, risiko berikutnya pemerintah Indonesia kemungkinan besar hadapi kemampuan pengelolaan kesenjangan pendapatan dan kenaikan harga didorong harga bahan bakar, jika ada. "Namun ini adalah kemungkinan memiliki dampak netral hingga jangka pendek terhadap pasar obligasi mengingat mayoritas obligasi pemerintah Indonesia dipegang investor domestik,” tulis Ashmore.
Lalu apakah terlalu dini untuk masuk obligasi saat ini?
Obligasi Indonesia salah satu membukukan kinerja buruk year to date baik dalam rupiah dan dolar Amerika Serikat. “Dalam pandangan kami, sekarang menyajikan valuasi yang baik dengan risiko menurun seiring perkembangan dari hawkish ke dovish,” tulis Ashmore.
Obligasi pemerintah Indonesia berdenominasi dinilai akan menawarkan valuasi yang sangat menarik dengan jarak 418 basis poin dengan obligasi pemerintah Amerika Serikat. Ashmore yakin, risiko dan imbal hasil obligasi tenor panjang akan lebih baik dalam waktu dekat. Hal ini mengingat imbal hasil tersebut lebih sensitif terhadap perubahan kebijakan.
Menakar Katalis Positif Ekonomi Indonesia di Tengah Ketidapastian
Sebelumnya, semua mata tertuju terhadap inflasi Amerika Serikat (AS) pada awal pekan ini. Indeks harga konsumen Amerika Serikat (AS) pun mencapai 8,5 persen pada Juli 2022 yoy. Realisasi inflasi AS itu lebih rendah dari konsensus 8,7 persen dan posisi Juni 2022 di posisi 9,1 persen.
Konsensus memperkirakan inflasi telah mencapai puncaknya pada Juni 2022. Namun, secara bulanan, indeks harga produsen mendatar seperti harga energi turun 4,6 persen dan gas susut 7,7 persen, demikian mengutip dari riset PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk, ditulis Minggu, 14 Agustus 2022.
Setelah tekanan menjelang rilis inflasi AS, Ashmore melihat pasar memandang rilis inflasi AS secara positif karena dapat mengurangi tekanan dari bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut.
Bursa saham Indonesia alami volatilitas jangka pendek menjelang rilis inflasi AS pekan ini, dan terbukti menjadi contoh titik masuk yang sangat baik.
"Kami terus percaya situasi di mana ketidakpastian meningkat dan likuditas tampaknya mengetat, bursa saham adalah tempat di mana risiko dan pengembalian hasil yang ditawarkan wajar,” tulis Ashmore Asset Management Indonesia.
Namun, satu hal yang jelas, ketidakpastian diimbangi dengan sejumlah data yang kuat antara lain:
1.Aliran dana investor asing
Investor asing menunjukkan arus masuk yang stabil pada Agustus 2022 setelah arus keluar pada pertengahan tahun karena inflasi dan tingkat bunga yang mengejutkan. Year to date (Ytd), aliran dana investor asing ke pasar saham tercatat Rp 58,7 triliun.
Advertisement
Data Makro Ekonomi yang Positif
2.Rupiah
Nilai tukar rupiah stabil terhadap dolar Amerika Serikat, di bawah 15.000 tanpa Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan. Ashmore menilai, ini adalah sesuatu yang tidak terduga dalam satu dekade lalu, mencerminkan makro ekonomi Indonesia lebih kuat.
3.Credit default swap (CDS)
CDS Indonesia masih rendah karena surplus tiga kali lipat antara lain transaksi berjalan, fiskal dan perdagangan
4.Harga energi
Harga energi yang dapat dikelola karena komoditas mendorong surplus ekspor dan pertumbuhan foreign direct investment (FDI) yang kuat. “Salah satu alasan utama mengapa Indonesia dianggap lebih baik dari pada rekan-rekan adalah karena kemampuannya untuk mengarahkan subsidi tanpa menambah tekanan pada neraca keuangan,” tulis Ashmore.
5.Efek domino dari siklus harga komoditas
Efek domino dari siklus super komoditas sudah mulai tercermin dalam laba. Secara agregat, laba perusahaan tumbuh 45 persen pada semester I 2022 dengan sektor perbankan mencatat pertumbuhan 70 persen yoy. “Kami tetap rekomendasikan untuk tetap investasi,” tulis Ashmore.