Sukses

Alasan Indonesia Jadi Permata di Negara Berkembang

Analis menilai, ketika bank sentral AS sudah mengendalikan inflasi dan setop normalisasi, dana investor asing akan kembali ke Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia bak permata di jajaran negara berkembang saat ini, baik di pasar ekuitas maupun obligasi. Head of Fixed Income, Ashmore Asset Management Indonesia, Anil Kumar CFA. MBA menilai pasar Indonesia masih menjadi pilihan prioritas investor asing untuk melarikan uangnya.

"Kalau kita bicara sama semua investor asing di dunia, Indonesia itu tetap nomor satu prioritas di emerging market,” kata dia dalam webinar Money Buzz, Selasa (23/8/2022).

Hal itu merujuk pada kondisi dalam negeri yang cenderung stabil kendati diterpa berbagai sentimen global saat ini. Baik dari sisi ekonomi, politik, current account deficit (CAD) yang terjaga, dan pembenahan ekonomi yang baik.

"Jadi semua ini membuat Indonesia itu di mata investor asing itu sangat luar biasa. Kita hanya lagi menunggu Kapan uang itu mulai pindah dari negara maju ke negar aberkembang lagi,” imbuh dia.

Anil mengatakan, saat ini banyak investor yang berpaling dari pasar negara berkembang (emerging market) dan merapat pada pasar negara maju.

Dia menilai, hal itu ditengarai adanya normalisasi negara maju yang belum dilakukan oleh negara. Jika nanti emerging market menempuh langkah serupa, investor disebut akan kembali melirik pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.

"Tapi percayalah ketika Bank Sentral AS sudah mulai bisa mengontrol inflasi dan setop melakukan normalisasi, uang itu akan kembali ke Indonesia,” ujar Anil.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Menakar Katalis Positif Ekonomi Indonesia di Tengah Ketidapastian

Sebelumnya, semua mata tertuju terhadap inflasi Amerika Serikat (AS) pada awal pekan ini. Indeks harga konsumen Amerika Serikat (AS) pun mencapai 8,5 persen pada Juli 2022 yoy. Realisasi inflasi AS itu lebih rendah dari konsensus 8,7 persen dan posisi Juni 2022 di posisi 9,1 persen.

Konsensus memperkirakan inflasi telah mencapai puncaknya pada Juni 2022. Namun, secara bulanan, indeks harga produsen mendatar seperti harga energi turun 4,6 persen dan gas susut 7,7 persen, demikian mengutip dari riset PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk, ditulis Minggu, 14 Agustus 2022.

Setelah tekanan menjelang rilis inflasi AS, Ashmore melihat pasar memandang rilis inflasi AS secara positif karena dapat mengurangi tekanan dari bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut.

Bursa saham Indonesia alami volatilitas jangka pendek menjelang rilis inflasi AS pekan ini, dan terbukti menjadi contoh titik masuk yang sangat baik.

"Kami terus percaya situasi di mana ketidakpastian meningkat dan likuditas tampaknya mengetat, bursa saham adalah tempat di mana risiko dan pengembalian hasil yang ditawarkan wajar,” tulis Ashmore Asset Management Indonesia.

Namun, satu hal yang jelas, ketidakpastian diimbangi dengan sejumlah data yang kuat antara lain:

1.Aliran dana investor asing

Investor asing menunjukkan arus masuk yang stabil pada Agustus 2022 setelah arus keluar pada pertengahan tahun karena inflasi dan tingkat bunga yang mengejutkan. Year to date (Ytd), aliran dana investor asing ke pasar saham tercatat Rp 58,7 triliun.

 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 4 halaman

Data Makro Ekonomi yang Positif

2.Rupiah

Nilai tukar rupiah stabil terhadap dolar Amerika Serikat, di bawah 15.000 tanpa Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan. Ashmore menilai, ini adalah sesuatu yang tidak terduga dalam satu dekade lalu, mencerminkan makro ekonomi Indonesia lebih kuat.

3.Credit default swap (CDS)

CDS Indonesia masih rendah karena surplus tiga kali lipat antara lain transaksi berjalan, fiskal dan perdagangan

4.Harga energi

Harga energi yang dapat dikelola karena komoditas mendorong surplus ekspor dan pertumbuhan foreign direct investment (FDI) yang kuat. “Salah satu alasan utama mengapa Indonesia dianggap lebih baik dari pada rekan-rekan adalah karena kemampuannya untuk mengarahkan subsidi tanpa menambah tekanan pada neraca keuangan,” tulis Ashmore.

5.Efek domino dari siklus harga komoditas

Efek domino dari siklus super komoditas sudah mulai tercermin dalam  laba. Secara agregat, laba perusahaan tumbuh 45 persen pada semester I 2022 dengan sektor perbankan mencatat pertumbuhan 70 persen yoy. “Kami tetap rekomendasikan untuk tetap investasi,” tulis Ashmore.

4 dari 4 halaman

Prediksi Imbal Hasil Obligasi

Sebelumnya, imbal hasil obligasi RI diperkirakan mencapai 7,5 persen hingga akhir tahun 2022. Sementara untuk tahun depan, Head of Fixed Income, Ashmore Asset Management Indonesia, Anil Kumar mengatakan, imbal hasil akan turun di kisaran 7,1 persen.

Dalam catatan Anil, pasar obligasi dalam negeri saat ini didominasi oleh investor lokal sebesar 85 persen. Kondisi ini jauh berbeda dibanding 2019 lalu di mana investor dalam negeri 60 persen. Kondisi ini menjadikan pasar obligasi Indonesia memiliki kendalinya sendiri.

"Jadi tahun ini mungkin di 7,5 imbal hasilnya, tahun depan mungkin akan turun 30–40 bps ke 7,1. Tapi kalau inflasi kita lebih cepat turunnya di tahun yang akan datang maka harusnya imbal hasil obligasi kita juga akan ngikutin lebih cepat,” kata Anil dalam webinar Money Buzz, Selasa (23/8/2022).

Anil mengatakan, saat ini banyak investor yang berpaling dari pasar negara berkembang (emerging market) dan merapat pada pasar negara maju. Dia menilai, hal itu ditengarai adanya normalisasi negara maju yang belum dilakukan oleh negara.

Jika nanti emerging market menempuh langkah serupa, maka investor disebut akan kembali melirik pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.

"Tapi percayalah ketika Bank Sentral AS sudah mulai bisa mengontrol inflasi dan stop melakukan normalisasi, uang itu akan kembali ke Indonesia,” imbuh Anil.