Liputan6.com, Jakarta - Nilai Ekonomi Karbon (NEK) atau carbon pricing di Indonesia disebut cukup kompetitif. Pasalnya, pemerintah Indonesia bersama sejumlah pemangku kepentingan lainnya sudah melakukan persiapan untuk memaksimalkan NEK ke depannya.
Semula, Direktur Mobilisasi Sumber Daya Sektoral dan Regional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wahyu Marjaka memperkirakan penerapan NEK di Indonesia akan mengalami kendala seperti di yang terjadi pada Sistem Perdagangan Emisi Uni Eropa (European Union Emissions Trading System/EU ETS). Namun, Wahyu menerangkan NEK yang diberlakukan di Indonesia tidak hanya dari sisi perdagangan (trading).
Baca Juga
"Saya sempat berpikir bahwa mungkin kita akan menghadapi masalah serupa dengan EU ETS. Tetapi carbon pricing Indonesia berkembang tidak hanya untuk ETS. Sebenarnya ada empat jenis carbon pricing yang akan dikembangkan di Indonesia,” kata dia.
Advertisement
Empat instrumen carbon pricing atau NEK antara lain, tata niaga atau perdagangan karbon (carbon trading), pungutan karbon (carbon levy), pembiayaan berbasis kinerja, dan mekanisme lain mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan diatur oleh Menteri terkait.
Untuk saat ini, Indonesia memiliki Peraturan Presiden No 98 tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon yang di dalamnya juga mengatur tentang pasar karbon.
Ketentuan itu diyakini bisa mendukung pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia sebagaimana tercantum dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) untuk pengendalian perubahan iklim.
"Dalam waktu dekat, mudah-mudahan kita bisa mendapatkan peraturan baru tentang penerapan NEK,” imbuh dia.
Tantangan
Adapun sejumlah tantangan yang dialami EU ETS, antara lain insentif yang relatif rendah bagi pelaku pasar pada fase awal. Bersamaan dengan itu, pengenalan awal pasar derivatif memungkinkan pembeli kepatuhan untuk melakukan lindung nilai terhadap eksposur harga karbon mereka.
Business Development Environmental Markets European Energy Exchange (EEX), Ingmar Rovekamp menambahkan, saat itu perdaganagn karbon Uni Eropa juga mengalami ketidak seimbangan antara pasokan dan permintaan.
"Jadi mungkin satu rekomendasi bisa untuk skema perdagangan emisi baru fase awal mungkin diperlukan mekanisme yang bisa mengurangi pasokan.Sekaligus, memberikan panduan yang jelas kepada investor tentang kapan pengurangan pasokan ini dapat terjadi,” kata Ingmar.
Advertisement
OJK Sebut Potensi Perdagangan Karbon RI Sentuh Rp 8.548 Triliun
Potensi perdagangan karbon (carbon trading) di Indonesia disebut mencapai USD 565 miliar atau sekitar 8.548 triliun (kurs Rp 15.129 per USD). Untuk itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pemangku kepentingan terkait tengah siapkan aturan untuk mendukung perdagangan karbon di dalam negeri.
"Kami sedang dalam proses peninjauan untuk berkontribusi dalam mengembangkan acuan standar keberlanjutan dalam berbagai sektor ekonomi dan industri sebagai dasar pembiayaan hijau,” kata Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar dalam International Seminar on Carbon Trade 2022, Selasa (27/9/2022).
Secara keseluruhan, mahendra mengatakan sektor swasta Indonesia menjadi bagian integral dari upaya yang dilakukan oleh pemerintah. OJK berkomitmen untuk mengembangkan inisiatif dan instrumen untuk memenuhi tujuan tersebut.
Selama alat kebijakan pemerintah, penetapan harga karbon sangat penting dalam mengatasi perubahan iklim karena memberikan, keduanya merupakan insentif untuk mengurangi emisi. Insentif ini diberikan kepada mereka yang memproduksi lebih dari batas yang ditoleransi. Dari data per April 2022, ada 68 instrumen penetapan nilai ekonomi karbon (NEK). Termasuk pajak karbon dan skema perdagangan emisi telah dikembangkan secara global, meskipun cakupannya masih rendah.
"Di sinilah Indonesia telah menyiapkan dan memanfaatkan keunggulan sebagai pemimpin untuk menggunakan inisiatif Pasar karbon untuk memberikan alternatif pembiayaan bagi sektor riil. Indonesia memiliki potensi besar untuk memimpin di bidang ini,”
Terbitkan Aturan
Dengan hutan tropis terbesar ketiga di dunia seluas 125 juta hektar, Indonesia diperkirakan mampu menyerap 25 juta ton karbon. Ini belum termasuk mangrove dan hutan gambut dengan potensi penyerapan karbon yang lebih besar.
"Dari perhitungan itu saja, Indonesia dapat menghasilkan pendapatan sebanyak USD 565 Miliar dolar AS dari perdagangan karbon,” kata Mahendra.
Pemerintah baru saja menerbitkan aturan tentang pasar karbon sebagai wujud komitmen Indonesia terhadap Nationally Determined Contributions (NDC) terkait isu perubahan iklim, baik dalam bentuk penguatan program maupun strategi.
Peraturan Presiden nomor 98 tahun 2021 itu ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 29 Oktober 2021, sebelum berangkat ke Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-26 (COP26) di Glasgow awal November lalu. Skema pasar karbon tersebut dapat menjadi insentif untuk pencapaian target NDC.
"Agar inisiatif ini mendapatkan momentum, kami akan merancang kerangka regulasi yang jelas untuk pengoperasian pasar karbon melalui Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Sektor Keuangan dan peraturan lain yang sudah ada. Baik untuk perdagangan dalam negeri maupun luar negeri,” imbuh Mahendra.
Meski saat ini tengah dihadapkan pada tekanan dari perlambatan ekonomi global dan inflasi yang tinggi, Mahendra mengatakan sektor keuangan Indonesia tetap tangguh. Pasar modal Indonesia juga solid dengan peningkatan penggalangan dana dan jumlah investor yang mencapai 9,54 juta per Agustus 2022.
Advertisement