Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah emiten berpotensi terimbas tekanan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Martha Christina menilai, kenaikan nilai tukar dolar Amerika Serikat akan berimbas utamanya pada emiten yang banyak melakukan impor.
"Untuk emiten-emiten yang bahan bakunya banyak impor, salah satunya farmasi akan sangat dirugikan oleh kenaikan nilai tukar,” kata dia dalam Media Day edisi Oktober, Selasa (4/10/2022).
Baca Juga
Kendati begitu, Martha mengatakan, emiten dengan impor tinggi umumnya sudah antisipasi melalui strategi lindung nilai atau hedging. Secara year to date, Rupiah telah melemah 6,91 persen ke posisi Rp 15.247,2 per dolar Amerika Serikat.
Advertisement
"Jadi biasanya untuk emiten-emiten pengaruh ada, tapi tidak signifikan selama nilai tukar bergerak pada level yang masih terjaga atau naiknya pelan-pelan, imbuh Martha. Selain impor, emiten yang memiliki utang dalam bentuk dollar juga berpotensi tertekan.
Martha menilai kenaikan bahan bakar minyak (BBM) lebih berimbas pada margin perusahaan dibanding nilai tukar Rupiah saat ini.
"Jadi kenaikan BBM yang nantinya akan lebih banyak mempengaruhi pendapatan margin karena akan mempengaruhi biaya transportasi dan logistik," ujar Martha.
Pada kesempatan yang sama, Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta menyatakan, kenaikan suku bunga menyikapi kenaikan harga BBM diprediksi menyebabkan perlambatan aktivitas ekonomi hingga dua kuartal ke depan. Meskipun demikian, dia optimistis Indonesia tidak akan jatuh ke dalam jurang resesi.
"Indonesia tidak akan terkena resesi karena didukung oleh kinerja ekspor yang solid dan konsumsi rumah tangga yang kuat seiring dengan mobilitas penduduk yang terus membaik. Dengan demikian, mempengaruhi ketahanan IHSG yang masih kuat untuk jangka menengah-panjang,” kata dia.
Meneropong Dampak Pelemahan Rupiah terhadap Emiten
Sebelumnya, Analis menilai dampak pelemahan rupiah bisa berdampak positif bagi emiten yang penjualannya berorientasi ekspor. Akan tetapi, hal tersebut berdampak negatif untuk emiten dengan bahan baku impor.
Pada Jumat, 30 September 2022, rupiah ditutup menguat 36 poin atau 0,23 persen ke posisi 15.227 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 15.263 per dolar AS.
Analis Kiwoom Sekuritas, Abdul Azis menuturkan, dampak pelemahan rupiah bisa berdampak positif bagi emiten yang penjualannya berorientasi ekspor dan berdampak negatif pada emiten yang bahan bakunya dari impor.
"Sektor yang diuntungkan dari pelemahan rupiah ada dari sektor komoditas ataupun sektor basic industry, dan emiten yang tidak diuntungkan adalah emiten yang berada di sektor konsumsi,” kata Abdul kepada Liputan6.com, ditulis Minggu (2/10/2022).
Dia menuturkan, jika emiten yang diuntungkan akan mendapatkan kinerja yang baik. Begitu juga sebaliknya, bagi yang tidak diuntungkan kinerjanya bisa kurang baik karena terjadi peningkatan beban.
“Jika emiten yang diuntungkan maka akan membuat kinerja dari emiten tersebut akan bagus, tetapi bagi yang tidak diuntungkan akan membuat kinerja kurang baik karena adanya peningkatan beban pada perusahaan,” kata dia.
Kemudian, pelaku pasar bisa mencermati sektor saham menarik antara lain batu bara atau pulp and paper.
“Rekomendasi trading buy pada ADRO, ITMG, PTBA dan INKP dengan potensi upside 5-10 persen. Untuk emiten batu bara perlu diperhatikan harga batu baranya jika terjadi koreksi maka akan berdampak pada sahamnya, dan perhatikan support terdekatnya,” kata Abdul.
Advertisement
Strategi Saham
Sementara itu, Research Analyst Henan Putihrai Sekuritas, Jono Syafei mengungkapkan, dampak pelemahan rupiah akan menekan emiten-emiten yang banyak melakukan impor bahan baku. Sedangkan, untuk emiten yang mayoritas penjualannya ekspor seperti pertambangan, akan lebih diuntungkan dengan kenaikan USD.
"Dampak pelemahan rupiah akan memberatkan bagi emiten yang banyak melakukan impor bahan baku seperti pada beberapa emiten konsumer dan ritel, juga emiten yang memiliki utang dalam mata uang asing seperti beberapa emiten properti,” kata Jono.
Namun, emiten yang menjual produk ekspor dalam dolar Amerika Serikat akan lebih diuntungkan, seperti pertambangan.
Untuk strategi sahamnya, Jono menyarankan untuk wait and see hingga kondisi pasar saham global kembali stabil.
"Tetapi jika ingin mencari peluang dari window dressing akhir tahun dapat melirik saham-saham bluechip yang memiliki kinerja baik, neraca keuangan sehat dan diperdagangkan pada valuasi yang masih murah,” kata dia.
Selain itu, pelaku pasar perlu mencermati beberapa besar dampak resesi global nantinya terhadap ekonomi Indonesia maupun terhadap negara-negara mitra dagang Indonesia.
"Yang perlu dicermati yaitu seberapa besar dampak resesi global nantinya terhadap ekonomi Indonesia maupun terhadap negara-negara mitra dagang Indonesia, mengingat posisi Indonesia sebagai salah satu eksportir komoditas terbesar di dunia,” pungkasnya.
Kinerja IHSG 26-30 September 2022
Sebelumnya, laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak lesu pada 26-30 September 2022. Sentimen global seperti kekhawatiran resesi global menekan IHSG.
Mengutip data Bursa Efek Indonesia (BEI), ditulis Sabtu ( 1/10/2022), IHSG melemah 1,92 persen ke posisi 7.040,79 dari pekan sebelumnya 7.178,58. Kapitalisasi pasar bursa merosot 1,98 persen menajdi Rp 9.238,08 triliun pada pekan ini. Kapitalisasi pasar terpangkas Rp 186,84 triliun dari pekan lalu di posisi Rp 9.424,93 triliun.
Selain itu, rata-rata frekuensi harian susut 7,82 persen menjadi 1.238.025 transaksi dari 1.343.102 transaksi pada pekan lalu. Sementara itu, rata-rata nilai transaksi harian melemah 1,55 persen menjadi Rp 13,91 triliun dari Rp 14,13 triliun pada pekan lalu. Rata-rata volume transaksi harian bursa melemah 17,03 persen menjadi 23,28 miliar saham dari 28,07 miliar saham pada pekan sebelumnya.
Analis PT MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana menuturkan, IHSG bergerak pada fase bearish atau melemah yang didorong sentimen bursa global.
Pada pekan ini, bursa saham global juga tertekan seiring ancaman resesi global hingga inflasi yang masih cukup tinggi. “Dan dana hawkish dari The Fed hingga akhir 2022,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu pekan ini.
Herditya prediksi, sentimen ancaman resesi global dan bank sentral Amerika Serikat atau the Federal Reserve (the Fed) bernada hawkish hingga 2023 untuk menekan inflasi hingga target 2 persen akan bayangi IHSG hingga akhir tahun. Hingga akhir 2022, ia perkirakan, IHSG berada di posisi bearish atau turun 6.743 dan bullish atau menguat 7.480.
Untuk perdagangan Senin, 3 Oktober 2022, Herditya prediksi, IHSG berpeluang menguat dengan level support 6.926 dan resistance 7.073. Pada pekan depan ada rilis data inflasi yang bayangi IHSG.
Advertisement