Liputan6.com, Jakarta - Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI), Jeffrey Hendrik mengatakan, investor pasar modal itu melihat keuntungan yang dihasilkan. Kebijakan bank sentral pun menjadi perhatian termasuk bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed).
"Karena investor pasar modal itu melihat return, tingkat suku bunga the Fed menunjukkan risk free return investasi yang bebas risiko kalau investasi yang bebas risiko itu sudah memberikan imbal hasil yang cukup tinggi tentunya investor akan menghindari instrumen yang lebih berisiko, secara alami akan terjadi begitu,” kata Jeffrey dalam Sosialisasi dan Edukasi Pasar Modal Terpadu 2022 Sumatera Utara, Selasa (4/10/2022).
Baca Juga
Jeffrey menyebutkan, investor akan melihat negara dengan kondisi ekonomi yang cukup solid. Dalam keadaan tersebut, investor akan menggelontorkan dananya untuk investasi di negara tersebut.
Advertisement
"Tetapi investor-investor tentu akan melihat negara-negara tertentu yang tadi negara-negara yang kondisi ekonominya masih cukup solid di situ investor akan tetap menempatkan dananya," kata dia.
Selain itu, Jeffrey juga menjelaskan, saham-saham yang berada dalam LQ45 harusnya cocok untuk pelaku pasar modal.
"Saham itu bagus atau tidak dia akan melihat yang nanya itu siapa investor yang seperti apa punya kemampuan menyerap risiko sebesar apa, tetapi secara umum ada beberapa saham yang seharusnya cocok untuk semua orang, misalnya saham-saham yang ada dalam LQ45,” kata dia.
Namun, dalam mengoptimalkan tingkat pengembalian jika sudah menjadi investor yang cermat bisa melihat saham-saham lainnya.
"Untuk mengoptimalkan tingkat pengembalian kalau sudah menjadi investor yang lebih hedge fund silahkan melihat saham-saham lainnya.
Wabah virus corona COVID-19 tidak hanya berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat, namun berdampak pula pada pertumbuhan ekonomi negara. Hal ini berdampak bagi bursa saham dan nilai tukar rupiah.
Jeli Melihat Saham
Tak hanya itu, Jeffrey mengatakan, bursa saham Indonesia dapat cepat pulih meski hadapi katalis negatif termasuk krisis.
"Bagaimana kalau market crash? Market crash belum terjadi kalau kita lihat dalam sejarah tahun 1998, krisis moneter 2004 hyperinflation, 2008 krisis dan banyak krisis dengan berbagai skala, tetapi apa yang terjadi dengan bursa saham kita? Bagaimana dengan IHSG kita? Terakhir pandemi IHSG sempat turun tetapi kemudian pulih dengan sangat cepat,” kata dia
Sementara itu, seorang investor jangka panjang melihat krisis ini menjadi peluang untuk membeli saham-saham murah
"Untuk seorang investor jangka panjang krisis-krisis seperti itu justru dilihat sebagai peluang. Jadi untuk investor lihatlah itu sebagai peluang, peluang untuk membeli saham-saham dengan harga yang murah,” ujar dia.
Kemudian, Jeffrey juga memberikan salah satu contoh strategi yang dilakukan investor terkenal di Indonesia saat investasi saham.
"Ada seorang investor terkenal di Indonesia yang selalu mengatakan, saya selalu cari di bursa itu adalah saham-saham mercy yang dijual dengan harga bajaj ada saham-saham yang sangat bagus tetapi harganya undervalue harganya terlalu murah itu yang dicari investor, bagaimana kita untuk melihat atau jeli mencari saham seperti itu,” imbuhnya.
Advertisement
Kinerja IHSG pada 26-30 September 2022
Sebelumnya, laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak lesu pada 26-30 September 2022. Sentimen global seperti kekhawatiran resesi global menekan IHSG.
Mengutip data Bursa Efek Indonesia (BEI), ditulis Sabtu ( 1/10/2022), IHSG melemah 1,92 persen ke posisi 7.040,79 dari pekan sebelumnya 7.178,58. Kapitalisasi pasar bursa merosot 1,98 persen menajdi Rp 9.238,08 triliun pada pekan ini. Kapitalisasi pasar terpangkas Rp 186,84 triliun dari pekan lalu di posisi Rp 9.424,93 triliun.
Selain itu, rata-rata frekuensi harian susut 7,82 persen menjadi 1.238.025 transaksi dari 1.343.102 transaksi pada pekan lalu. Sementara itu, rata-rata nilai transaksi harian melemah 1,55 persen menjadi Rp 13,91 triliun dari Rp 14,13 triliun pada pekan lalu. Rata-rata volume transaksi harian bursa melemah 17,03 persen menjadi 23,28 miliar saham dari 28,07 miliar saham pada pekan sebelumnya.
Analis PT MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana menuturkan, IHSG bergerak pada fase bearish atau melemah yang didorong sentimen bursa global.
Pada pekan ini, bursa saham global juga tertekan seiring ancaman resesi global hingga inflasi yang masih cukup tinggi. “Dan dana hawkish dari The Fed hingga akhir 2022,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu pekan ini.
Herditya prediksi, sentimen ancaman resesi global dan bank sentral Amerika Serikat atau the Federal Reserve (the Fed) bernada hawkish hingga 2023 untuk menekan inflasi hingga target 2 persen akan bayangi IHSG hingga akhir tahun. Hingga akhir 2022, ia perkirakan, IHSG berada di posisi bearish atau turun 6.743 dan bullish atau menguat 7.480.
Untuk perdagangan Senin, 3 Oktober 2022, Herditya prediksi, IHSG berpeluang menguat dengan level support 6.926 dan resistance 7.073. Pada pekan depan ada rilis data inflasi yang bayangi IHSG.
Rupiah Tertekan, Emiten Farmasi Kena Imbas
Sebelumnya, sejumlah emiten berpotensi terimbas tekanan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Martha Christina menilai, kebaikan nilai tukar akan berimbas utamanya pada emiten yang banyak melakukan impor.
"Untuk emiten-emiten yang bahan bakunya banyak impor, salah satunya farmasi akan sangat dirugikan oleh kenaikan nilai tukar,” kata dia dalam Media Day edisi Oktober, Selasa (4/10/2022).
Kendati begitu, Martha mengatakan emiten dengan impor tinggi umumnya sudah antisipasi melalui strategi lindung nilai atau hedging. Secara year to date, Rupiah telah melemah 6,91 persen ke posisi Rp 15.247,2 per dolar Amerika Serikat.
"Jadi biasanya untuk emiten-emiten pengaruh ada, tapi tidak signifikan selama nilai tukar bergerak pada level yang masih terjaga atau naiknya pelan-pelan, imbuh Martha.
Selain impor, emiten yang memiliki utang dalam bentuk dollar juga berpotensi tertekan. Lebih lanjut, Martha menilai kenaikan bahan bakar minyak (BBM) lebih berimbas pada margin perusahaan dibanding nilai tukar Rupiah saat ini.
"Jadi kenaikan BBM yang nantinya akan lebih banyak mempengaruhi pendapatan margin karena akan mempengaruhi biaya transportasi dan logistik," ujar Martha.
Pada kesempatan yang sama, Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta menyatakan, kenaikan suku bunga menyikapi kenaikan harga BBM diprediksi akan menyebabkan perlambatan aktivitas ekonomi hingga dua kuartal ke depan. Meskipun demikian, dia optimistis Indonesia tidak akan jatuh ke dalam jurang resesi.
"Indonesia tidak akan terkena resesi karena didukung oleh kinerja ekspor yang solid dan konsumsi rumah tangga yang kuat seiring dengan mobilitas penduduk yang terus membaik. Dengan demikian, mempengaruhi ketahanan IHSG yang masih kuat untuk jangka menengah-panjang,” kata dia.
Advertisement