Liputan6.com, Jakarta - Langkah bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) menaikkan suku bunga acuan terus menerus berdampak terhadap mata uang rupiah dan mata uang negara berkembang lainnya. Mata uang negara berkembang termasuk rupiah cenderung tertekan.
Mengutip riset PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk, ditulis Minggu (16/10/2022), rupiah mencapai titik terlemah sejak Mei 2020 di kisaran 15.400 per dolar AS. Year to date (ytd), rupiah turun 8,04 persen dan indeks dolar AS naik 17,49 persen mencapai level tertinggi sejak April 2002 pada akhir September 2022 dan terus menguat.
Baca Juga
"Konsensus pasar masih melihat the Fed akan menaikkan suku bunga dalam beberapa pertemuan mendatang, secara bertahap akan kurangi besarnya kenaikan suku bunga hingga Mei 2023,” demikian mengutip riset tersebut.
Advertisement
Ashmore menilai, jika semua sama, rupiah kemungkinan relatif terus melemah terhadap dolar AS dalam waktu dekat. Pasar global telah mencatat kinerja buruk termasuk berdenominasi dolar AS. Saat ini, indeks S&P 500 turun 23,49 persen ytd, dan imbal hasil obligasi AS bertenor 10 tahun naik 159,49 persen ytd dari 1,51 persen menjadi 3,92 persen.
Dengan melihat kondisi tersebut, bagaimana dengan Indonesia?
Aliran dana investor asing yang masuk ke pasar saham mencapai Rp 72 triliun year to date (ytd) dan secara bulanan Rp 2,68 triliun seiring harga komoditas dan dampak positif pada pola konsumsi dan likuiditas perbankan.
"Namun, surat utang terus berada di bawah tekanan dengan arus keluar Rp 164 triliun ytd, dan bulanan Rp 6,98 triliun,” tulis Ashmore.
Aliran dana keluar dari surat utang ini menjadi salah satu penyebab rupiah melemah akhir-akhir ini meski pada tren lebih tangguh ketimbang negara lainnya.
Namun, risiko utama Indonesia adalah prospek komoditas. "Kita telah melihat pertumbuhan harga komoditas secara bertahap melambat. Di tengah ketegangan seluruh dunia dan banyak negara mengambil kebijakan proteksionisme, harga komoditas mungkin tetap cukup tinggi dalam jangka menengah, memungkinkan untuk aliran modal ke sektor tersebut,” tulis Ashmore.
Ashmore masih merekomendasikan overweight untuk saham dan mempertahankan sikap hati-hati terhadap obligasi karena risiko mata uang dan kenaikan suku bunga. “Bersiap untuk ketidakpastian, kami percaya strategi saham defensif dengan sektoral mungkin merupakan kombinasi yang solid jangka pendek,” tulis Ashmore.
Data Inflasi AS hingga The Fed Bikin IHSG Lengser dari 7.000
Sebelumnya, laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada 10-14 Oktober 2022 masih bergerak lesu. Koreksi IHSG selama sepekan ini didominasi sentimen global terutama dari data inflasi Amerika Serikat (AS) hingga kebijakan bank sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed).
Mengutip data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG anjlok 3,02 persen ke posisi 6.814,53 pada pekan ini. Sedangkan posisi pekan lalu, IHSG masih berkutat di kisaran 7.000 tepatnya di 7.026,78. Kapitalisasi pasar bursa susut 2,43 persen menjadi Rp 9.009,95 triliun. Kapitalisasi pasar bursa anjlok Rp 225 triliun dari pekan lalu di posisi Rp 9.234,68 triliun.
Selain itu, rata-rata frekuensi transaksi harian bursa terpangkas 4,82 persen menjadi 1.165.599 kali transaksi dari 1.224.595 kali transaksi pada pekan lalu. Rata-rata nilai transaksi harian bursa terpangkas 7,09 persen menjadi Rp 12 triliun dari Rp 12,92 triliun.
Pada Jumat, 14 Oktober 2022, investor asing membukukan aksi jual Rp 426,29 miliar. Selama sepekan, investor asing melakukan aksi jual senilai Rp 1,2 triliun. Sepanjang 2022, investor asing mencatatkan aksi beli Rp 71,72 triliun.
Analis PT MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana menuturkan, pergerakan IHSG sepekan ini masih didominasi oleh sentimen global. Pelaku pasar cenderung wait and see kebijakan bank sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed).
"Kemudian ada rilis data inflasi AS yang masih berada di level 8 persen,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com.
Ia mengatakan, pada pekan depan, ada rilis data neraca perdagangan yang bayangi IHSG. Pada pekan depan, IHSG diprediksi bergerak masih dalam fase bearish 6.800 dan resistance 7.000.
Advertisement
Pencatatan Obligasi
Pada pekan ini, terdapat pencatatan dua obligasi dan satu sukuk. PT Sejahteraraya Anugrahjaya Tbk. pada Senin, 10 Oktober 2022 menerbitkan Obligasi I Sejahteraraya Anugrahjaya Tahun 2022 yang resmi dicatatkan di BEI dengan nilai nominal sebesar Rp 950 miliar.
PT Pemeringkat Efek Indonesia (PEFINDO) menetapkan peringkat untuk obligasi ini adalah idA (Single A). Bertindak sebagai wali amanat dalam emisi ini adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.
Kemudian pada Rabu, 12 Oktober 2022 PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk menerbitkan Obligasi Berkelanjutan III Indah Kiat Pulp & Paper Tahap II Tahun 2022 dan Sukuk Mudharabah Berkelanjutan II Indah Kiat Pulp & Paper Tahap II Tahun 2022. Obiligasi dan sukuk tersebut resmi dicatatkan di BEI dengan masing-masing 3 (seri).
Obligasi Seri A dengan nilai nominal sebesar Rp 904,51 miliar Seri B dengan nilai nominal sebesar Rp 1,6 triliun dan Seri C dengan nilai nominal sebesar Rp 306,21 miliar.
Total Penerbitan Obligasi
Sedangkan untuk sukuk Seri A dengan nilai nominal sebesar Rp 481,06 miliar, Seri B dengan nilai nominal sebesar Rp 455,1 miliar dan Seri C dengan nilai nominal sebesar Rp 69,3 miliar. PEFINDO menyematkan peringkat idA+ (Single A Plus) untuk obligasi dan idA+(sy) (Single A Plus Syariah) bagi sukuk.
PT Bank KB Bukopin Tbk. bertindak sebagai wali amanat dalam emisi ini adalah Total emisi obligasi dan sukuk yang tercatat sepanjang tahun 2022 adalah sebanyak 104 emisi dari 68 emiten senilai Rp131,46 triliun.
Total emisi obligasi dan sukuk yang tercatat di BEI sampai dengan saat ini adalah 512 emisi dengan nilai nominal outstanding Rp459,15 triliun dan USD47,5 juta, diterbitkan oleh 126 emiten. Surat Berharga Negara (SBN) tercatat di BEI berjumlah 176 seri dengan nilai nominal Rp5.102,04 triliun dan USD411,08 juta. Efek Beragun Aset (EBA) sebanyak 10 emisi senilai Rp3,16 triliun.
Advertisement