Liputan6.com, Jakarta - Founder and CEO Tancorp, Hermanto Tanoko buka-bukaan mengenai asal mula PT Sariguna Primatirta Tbk (CLEO) debut di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Diketahui, perusahaan ini menjadi yang pertama di bawah naungan Tancorp yang tercatat di bursa melalui penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO).
Baca Juga
Namun, rupanya perusahaan ini bukanlah yang pertama direncanakan untuk IPO. Hermanto mengungkapkan, perusahana yang semula direncanakan untuk IPO terlebih dulu adalah PT Avia Avian Tbk (AVIA). Rencana untuk mengantarkan Avia menjadi perusahaan tercatat bahkan telah dibahas sejak 2013, sebelum akhirnya tercatat di Bursa pada 2021.
Advertisement
"Jadi pada 2013-2014 itu saya getol bicara dengan keluarga agar Avian jadi perusahaan Tbk (terbuka). Tapi dari keluarga tidak 100 persen mendukung, bahkan banyak yang ngomong kalau ada yang menjual sahamnya, saya saja yang beli ngapain jadi perusahaan Tbk,” kenang Hermanto, ditulis Jumat (25/11/2022).
Singkat cerita, setelah berusaha keras, pada 2016 Hermanto mendapat restu keluarga untuk membawa Avian go public. Bukannya langsung melantai, Hermanto jutsu sempat kebingungan lantaran ia mengaku tak cukup paham mengenai perusahaan publik. Dengan berbagai pertimbangan, ia akhirnya menunda IPO Avian dan memilih melakukan ‘uji coba’ IPO pada perusahaan nya yang lain.
“Akhirnya saya putuskan kalau Avian ini pasti prosesnya agak panjang. Karena selain keluarga, juga perusahaannya lebih besar. Jadi saya memilih perusahana lain yang bisa dijadikan Tbk lebih cepat, dan pilihannya jatuh pada Cleo,” ujar dia.
Pertimbangan memilih Cleo saat itu lantaran perusahaan memiliki pertumbuhan yang menggembirakan sebagai produsen air minum dalam kemasan (AMDK). Di sisi lain, Cleo saat itu memiliki jangkauan distribusi yang bisa dibilang cukup luas. Tak berselang lama, pada 2017 Cleo resmi tercatat di Bursa.
"OJK dan Bursa sangat kooperatif. Jadi sangat mulus, dalam 5 bulan sudah bisa jadi perusahaan Tbk,” kata Hermanto.
Testimoni Usai IPO
Setelah menjadi perusahaan terbuka, Hermanto mengatakan kinerja perseroan mengalami pertumbuhan yang makin pesat. Didukung sumber daya manusia (SDM( yang juga terpacu untuk mencetak kinerja solid.
"Karyawan juga semangatnya jadi luar biasa karena mereka juga bisa memiliki saham perusahaan bagi yang ingin membeli. Semua punya kesempatan,” kata Hermanto.
Selain itu, perseroan merasakan manfaat dari sisi pembukuan yang mau tidak mau akhirnya menjadi konsumsi publik. Namun hal itu tak jadi soal karena perseroan memang perusahan yang sehat. Sehingga adanya transparansi dapat membantu meyakinkan shareholder bahwa perusahaan bertumbuh.
Di sisi lain, hal itu juga dapat menjadi jaminan saat perusahaan membutuhkan tambahan modal. “Jadi makanya setelah Cleo, Avian mantap jadi perusahaan Tbk bahkan Avian IPO saat pandemi,” ujar Hermanto.
Advertisement
Cerita Taipan Hermanto Tanoko saat Perusahaan Hadapi Krisis Ekonomi
Sebelumnya, gejolak ekonomi baru-baru ini menjadi momok bagi banyak pelaku usaha. Ditambah perkiraan 2023 akan terjadi resesi global, menimbulkan kekhawatiran banyak pihak. Indonesia sempat mengalami berapa kali krisis yang berujung pada resesi.
Di antaranya pada 1963 dan 1998, sebelum kembali resesi saat pandemi COVID-19 berlangsung pada 2020–2021. Resesi pada 1963 dipicu oleh hiperinflasi. Inflasi melambung hingga 119 persen. Ekonomi Indonesia berhasil membaik pada 1970—1980an. Setelah melewati pertumbuhan tinggi pada awal 1990an, Indonesia kembali mengalami resesi hebat pada 1998.
Saat itu, ekonomi Indonesia terkontraksi hingga 13,13 persen sementara inflasi mencapai 77,63 persen. Resesi 1998 dipicu oleh krisis keuangan Asia. Periode kelam ini akrab dikenal dengan krisis moneter. Imbasnya, banyak perusahaan harus gulung tikar dan pengangguran membludak.
Perusahaan milik Hermanto Tanoko menjadi salah satu yang selamat dari krisis itu. Saat itu, ia masih menggeluti bisnis cat, PT Avia Avian atau yang dikenal dengan produknya, yakni, Avian Paint. Crazy Rich Surabaya itu mengatakan, salah satu yang membuat perusahaan mampu melewati krisis dan bertahan sampai saat ini adalah komitmen untuk bertanggung jawab atas apa yang dikelola. Selama krisis, Hermanto Tanoko menghindari utang utamanya utang dalam mata uang asing.
“Papa kami mendidik anak-anaknya untuk bertanggung jawab. Dan dalam berbisnis, jika meminjam dalam mata uang asing lalu terjadi devaluasi perubahan mata uang asing dan akhirnya tidak bisa bertanggung jawab pada pihak bank maupun supplier, itu artinya kita bukan jadi sosok yang berintegritas, karena kita tidak bertanggung jawab. Itu yang selalu diomongin ayah saya," beber Hermanto, Kamis (24/11/2022).
Pegang Prinsip
Mengamini tuah sang ayah, Hermanto dan saudara-saudaranya yang lain akhirnya juga tidak berani sentuh dalam mata uang asing. Meskipun menurut pengakuannya, pada periode 1990–1997, utang mata uang asing bisa memiliki selisih hingga 10 persen, dengan depresiasi yang relatif kecil tiap tahunnya.
"Depresiasi antara Rupiah dan USD tiap tahun itu hanya 4–5 persen. Sehingga kalau dihitung-hitung bisa menguntungkan 5–8 persen per tahun. Tapi yang selalu dipesan oleh papa saya, meskipun untung jangan dilakukan karena itu sangat berisiko. Kami tidak mau menjadi orang yang tidak bertanggung jawab karena kami harus bisa membayar hutang dengan apa yang sudah kita janjikan sebelumnya,” imbuh dia.
Pada masa pandemi COVID-19, prinsip tersebut tetap dipegang teguh. Perusahaan dalam naungan Tancorp dipastikan tidak memiliki utang di atas kemampuan. Menurut dia, batas psikologis utang perusahaan sebaiknya tak lebih dari 50 persen.
"Rasio utangnya jangan terlalu tinggi, sehingga kami bisa tetap menghadapi situasi apapun. Batas psikologis di atas 50 persen. Dan perusahaan harus sehat, baru boleh berutang. Jadi Kalau masih belum tumbuh dengan sehat, jika berhutang risiko masih tinggi. jadi perusahaan harus sehat duluan dan utang untuk mempercepat pertumbuhan,” ujar Hermanto.
Advertisement