Liputan6.com, Jakarta Sentimen kenaikan suku bunga menjadi momok pasar, setidaknya hingga awal tahun depan. Pekan lalu, Bank Indonesia (BI) kembali naikkan suku bunga acuan menjadi 5,5 persen.
Kebijakan ini tampaknya telah diantisipasi pasar, sehingga dampaknya pada indeks harga saham gabungan (IHSG) minim.
“Jadi dampaknya ke IHSG tidak akan begitu berarti. Jikapun ada, ini lebih ke sentimen positif utamanya untuk sektor perbankan dengan pertimbangan memperbesar NIM (net interest margin) yang saat ini berkomposisi deposit rate 4,5 persen dan lending rate 6 persen,” kata Head of Research NH Korindo Sekuritas Liza C. Suryanata kepada Liputan6.com, Senin (26/12/2022).
Advertisement
Namun, anjut Liza, yang jadi perhatian bank ke depannya adalah bank harus tetap mampu menjaga pertumbuhan volume kredit yang disebut mulai kempis pada November lalu ke 11,2 persen yoy, dibanding 12 persen yoy pada Oktober 2022. Bersamaan dengan itu, pertumbuhan deposit juga turun di angka 8,8 persen yoy pada November dari 9,1 persen yoy pada Oktober 2022.
“Sementara pada bonds, kenaikan suku bunga acuan ini berguna untuk menjaga spread yield pada level yang kompetitif, dan pada saat yang sama memastikan recovery dan ketahanan ekonomi yang sehat,” imbuh Liza.
Di sisi lain, meski terjadi peningkatan risiko ketidakpastian global, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tumbuh di atas 5 persen selama tiga triwulan berturut-turut di tahun ini.
Dibandingkan Negara Lain
Direktur PT BNP Paribas AM, Djumala Sutedja mengakui, resiliensi ini juga terlihat nyata dari kinerja pasar saham dan obligasi Indonesia maupun nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS yang lebih baik dibandingkan dengan negara berkembang lainnya.
Secara agregat Djumala melihat bahwa 2023 adalah tahun yang lebih baik untuk pasar obligasi. Inflasi diharapkan sudah mulai mengalami tren penurunan dan kebijakan suku bunga di banyak negara sudah mencapai puncaknya.
Namun Djumala masih melihat beberapa tantangan terutama pada kuartal awal di tahun depan akibat ketidakpastian akan kapan kenaikan suku bunga mencapai puncaknya.
“Jika kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (AS) yang kian agresif ini mengakibatkan resesi di AS, investor perlu mengantisipasi gejolak pasar, baik di pasar obligasi maupun Rupiah,” kata dia.
Namun reaksi pasar obligasi Indonesia diperkirakan akan lebih mild dibandingkan dengan siklus sebelumnya berkat dukungan kondisi eksternal fundamental yang relatif lebih baik.
“Kalau kita bandingkan kinerja pasar obligasi dengan siklus sebelumnya seperti tahun 2018, ketika suku bunga global juga sedang naik, depresiasi nilai tukar Rupiah mencapai lebih dari 10 persen, sementara yield obligasi Indonesia pada saat itu mencapai hampir 9 persen,” imbuh Djumala.
Advertisement