Liputan6.com, Jakarta - Manulife Investment Management melihat kondisi pasar obligasi yang lebih kondusif. Siklus kenaikan suku bunga sudah mendekati puncak dan likuiditas domestik masih sangat kuat.
Chief Economist & Investment Strategist Manulife Investment Management, Katarina Setiawan mengatakan, pihaknya juga melihat ada saldo anggaran lebih yang sangat besar. Alhasil, hal tersebut dapat mengurangi rencana penerbitan obligasi pemerintah.
Baca Juga
"Sehingga dengan terbatasnya penawaran, maka harga lebih terjaga dan minat masuk ke pasar obligasi kita ini akan meningkat," kata Katarina dalam konferensi pers, Selasa (17/1/2023).
Advertisement
Meski demikian, terdapat beberapa risiko yang perlu dicermati, seperti ketegangan geopolitik Ukraina dan Rusia, ketegangan di wilayah-wilayah lain antara China dan AS, serta perlambatan perdagangan dengan adanya risiko resesi di beberapa belahan dunia.
Sementara itu, Director & Chief Investment Officer, Fixed Income Manulife Investment Management, Ezra Nazula mengungkapkan, pasar obligasi Indonesia mencatatkan kinerja positif 3,5 persen pada 2022.
Kinerja pasar obligasi Indonesia lebih baik dibandingkan pasar lainnya di kawasan Asia, seperti Hong Kong (-8,6 persen), Filipina (-6,0 persen), Singapura (-5,1 persen), dan Thailand (-4,0 persen).
Ezra menjelaskan, selama 2022, kurva imbal hasil pasar obligasi menunjukkan pola bearish flattening, di mana obligasi dengan tenor paling pendek 2 tahun mengalami kenaikan imbal hasil paling signifikan (181 bps), sedangkan obligasi dengan tenor paling panjang 30 tahun mengalami kenaikan imbal hasil paling kecil (46 bps).
Ia mengatakan, jika dilihat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2012 – 2022), pasar obligasi Indonesia mencatatkan kinerja kumulatif sebesar 8,03 persen per tahun.
"Kepemilikan asing di pasar obligasi terlihat telah menyusut, dari semula 19,05 persen (Rp 891,3 triliun) pada akhir 2021 menjadi 14,36 persen (Rp 762,2 triliun) di akhir 2022. Rendahnya kepemilikan asing di pasar obligasi diharapkan dapat mengurangi volatilitas akibat aksi jual investor asing,” ujar Ezra.
Sentimen Global
Selain itu, ekspektasi berkurangnya agresivitas kenaikan Fed Funds Rate, seiring dengan inflasi Amerika Serikat yang terus mengalami moderasi, akan mengangkat sentimen global dan membawa kembali arus masuk dana asing.
Lalu, di dalam negeri, diversifikasi investor domestik menjadi penopang utama, khususnya di perbankan, asuransi dan dana pensiun, serta investor ritel.
Ezra menjelaskan terkait tiga katalis pasar obligasi pada 2023. Pertama, perbaikan fundamental makro. Indikator makro ekonomi yang membaik, seperti defisit fiskal di bawah target pemerintah, dapat mendukung kenaikan rating Indonesia.
Kedua, kuatnya permintaan domestik. Permintaan dari investor perbankan, asuransi, dana pensiun, dan investor ritel diperkirakan masih kuat untuk menopang pasar.
Ketiga, skenario pembukaan kembali China. Skenario dibukanya perekonomian China diperkirakan akan membantu meningkatkan sentimen positif ke pasar global.
Selain itu, risiko yang perlu diwaspadai yaitu ketidakpastian yang masih terus ada dari pasar global, seperti perang Rusia dan Ukraina, kebijakan bank sentral Amerika dan dunia yang berpotensi kembali menjadi hawkish jika data ekonomi masih kuat di atas konsensus, dan tekanan politik yang berpotensi timbul jelang pemilu 2024.
"Kami memperkirakan imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun bisa kembali ke kisaran 6,50 persen - 6,75 persen,” ujar dia.
Advertisement
Melihat Kondisi Pasar Obligasi di Indonesia
Sebelumnya, Senior Economist Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully A. Wisnubroto mengatakan, pasar obligasi Indonesia juga sedang diuji ketangguhannya. Ia menilai, obligasi lebih dipengaruhi oleh inflasi dan suku bunga.
"Karena ketika suku bunga naik, itu biasanya kuponnya itu akan tergerus. Jadi kalau ekspektasi ke depan mendekati peak dari kenaikan policy rate, biasanya memang dampaknya sangat baik untuk obligasi," kata Rully dalam keterangan resminya, Senin (16/1/2022).
Ia menyebutkan, imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun atau yield government bond 10-years pada pekan lalu tercatat sekitar 6,7 persen, yang sejalan dengan penurunan yield di berbagai negara di dunia.
"Sebagai catatan, yield 10-years US treasury yang turun ke sekitar 3,4 persen-3,5 persen. Pada dua pekan pertama 2023, pasar obligasi Indonesia mengalami capital inflow yang merupakan lanjutan tren sejak November 2022," kata dia.
Sejak periode tersebut, total capital inflow atau aliran dana ke pasar obligasi mencapai sekitar Rp 55 triliun.
Sementara itu, Rully memperkirakan pasar obligasi ke depan akan sedikit melambat dibandingkan dengan kondisi akhir tahun lalu karena ekspektasi inflasi dan suku bunga dunia relatif lebih landai.
“Intinya adalah ke depan ekspektasi arah suku bunga, terutama dari Fed Fund Rate itu memiliki pengaruh besar terhadap market di seluruh dunia, equity, bond market, dan juga nilai tukar," kata dia.
BEI Optimistis Penerbitan Obligasi Korporasi Ramai pada 2023
Sebelumnya, Bursa Efek Indonesia (BEI) memperkirakan penerbitan surat utang atau obligasi pada 2023 masih ramai.
Ekonom BEI, Adhel Rusd mengatakan, penerbitan obligasi sejalan dengan kebutuhan perusahaan terbuka atau emiten untuk menghimpun dana selain dari aksi penambahan modal dengan atau tanpa hak memesan efek terlebih dahulu. Per September 2022, BEI mencatat 100 perusahaan telah menerbitkan obligasi. Sementara yang ada di pipeline penerbitan obligasi per September 2022 tercatat sebanyak 15 emiten yang antre.
"Dari angka ini bisa kita simpulkan appetite-nya masih ada karena penerbitan obligasi korporasi menjadi salah satu sumber financing dari perusahaan tercatat. Dilihat dari angkanya saat ini masih menarik, karena bagaimanapun itu akan dibutuhkan perusahana untuk mengebangkan bisnisnya,” kata Adhel dalam edukasi wartawan pasar modal, Rabu (21/12/2022).
Secara keseluruhan, kinerja pasar modal tahun depan juga diperkirakan relatif terjaga. Hal itu merujuk pada data ekonomi terkini, di mana Indonesia masih terpantau cukup resilien dibandingkan beberapa negara lain.
Di pasar modal,indeks juga relatif bagus dibandingkan dengan bursa lain. Kapitalisasi pasar mendekati Rp 10 ribu triliun.
Sejalan dengan itu, investor ritel juga meningkat signifikan di tengah krisis. Dari sisi suplai, jumlah perusahaan tercatat atau emiten baru juga terus bertambah. Hingga akhir tahun ini, total emiten baru sudah mencapai 59 perusahaan, lebih tinggi dari target BEI 55 emiten.
Advertisement