Liputan6.com, Jakarta - Pasar negara berkembang (emerging market/EM) dinilai akan mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi pada 2023.
Perkiraan itu merujuk pada potensi resesi global, seiring tingginya angka inflasi. Meski diakui, angka inflasi Amerika Serikat (AS) tampaknya mulai landai. PT Schroder Investment Management Indonesia menyebutkan, setidaknya ada tiga hal yang mengganjal pertumbuhan pasar negara berkembang pada 2023. Pertama, ekspektasi Amerika Serikat (AS) akan mengikuti Inggris masuk dalam resesi.
Baca Juga
Hal itu menyebabkan lemahnya permintaan global terhadap barang Kedua, pertumbuhan yang lebih lambat di pasar negara maju menahan laju harga-harga komoditas. Ketiga, kebijakan ekonomi fiskal moneter domestik yang lebih ketat dapat berdampak negatif pada permintaan, sehingga membebani pertumbuhan.
Advertisement
Meski begitu, moderasi inflasi dapat memicu pemulihan ekonomi pasar negara berkembang secara luas pada 2024. Itu karena harga pangan turun hingga 2023, demikian pula inflasi. Kondisi tersebut mungkin memberi landasan bagi arah pemulihan ekonomi negara berkembang menuju 2024.
Di sisi lain, pembukaan kembali ekonomi China dinilai bakal beri prospek cerah negeri tirai bambu itu. Pembukaan kembali China memberikan sentimen positif bagi pasar Asia. China juga melonggarkan kebijakannya di bidang teknologi dan properti. Untuk itu, Schroders akan menaikkan proyeksi baseline 2023 untuk China.
"Kami tetap bersikap positif terhadap pasar saham karena Indonesia masih menawarkan fundamental yang solid, baik dari sisi makro maupun corporate earnings. Namun, kami memperkirakan berlanjutnya volatilitas di pasar menyusul kekhawatiran akan resesi global di balik lingkungan inflasi yang lebih tinggi, bank sentral yang hawkish, dan situasi geopolitik," mengutip hasil riset Schroder Investment Management Indonesia, Kamis (9/2/2023).
Prospek obligasi imbal hasil obligasi Pemerintah Indonesia 10 tahun turun 23,3 bps menjadi 6,707 pada Januari lalu. Sebagai perbandingan, the US 10-year treasury note turun 37,4 bps menjadi 3,505 persen.
Prospek Imbal Hasil Obligasi
Imbal hasil obligasi turun karena data menunjukkan inflasi di masa depan mungkin turun, yaitu pertumbuhan upah yang lebih lambat, gaji non-farm Desember adalah yang terendah dalam 12 bulan terakhir dan ISM service index yang mengalami kontraksi. Inflasi yang lebih tinggi dan kenaikan suku bunga tetap menjadi tantangan bagi pasar obligasi.
Meskipun Schroder menilai sentimen negatif sebagian besar telah diperhitungkan, tercermin dari foreign outflow yang besar pada 2022.
"Kami berpendapat bahwa rendahnya kepemilikan asing atas obligasi pemerintah sekitar 14 persen akan membatasi downside di pasar obligasi. Pasar obligasi telah mengalami beberapa pemulihan yang didorong oleh investor asing menjelang akhir tahun 2022,” tulis Schroder.
Dengan demikian, valuasi terlihat menarik pada saat ini. Kami berpikir mungkin ada beberapa volatilitas dalam jangka pendek, namun, prospek pasar obligasi akan lebih baik untuk sisa tahun ini karena berakhirnya siklus kenaikan suku bunga.
Advertisement
Katalis Ini Bayangi Prospek Pasar Obligasi pada 2023
Sebelumnya, Manulife Investment Management melihat kondisi pasar obligasi yang lebih kondusif. Siklus kenaikan suku bunga sudah mendekati puncak dan likuiditas domestik masih sangat kuat.
Chief Economist & Investment Strategist Manulife Investment Management, Katarina Setiawan mengatakan, pihaknya juga melihat ada saldo anggaran lebih yang sangat besar. Alhasil, hal tersebut dapat mengurangi rencana penerbitan obligasi pemerintah.
"Sehingga dengan terbatasnya penawaran, maka harga lebih terjaga dan minat masuk ke pasar obligasi kita ini akan meningkat," kata Katarina dalam konferensi pers, Selasa (17/1/2023).
Meski demikian, terdapat beberapa risiko yang perlu dicermati, seperti ketegangan geopolitik Ukraina dan Rusia, ketegangan di wilayah-wilayah lain antara China dan AS, serta perlambatan perdagangan dengan adanya risiko resesi di beberapa belahan dunia.
Sementara itu, Director & Chief Investment Officer, Fixed Income Manulife Investment Management, Ezra Nazula mengungkapkan, pasar obligasi Indonesia mencatatkan kinerja positif 3,5 persen pada 2022.
Kinerja pasar obligasi Indonesia lebih baik dibandingkan pasar lainnya di kawasan Asia, seperti Hong Kong (-8,6 persen), Filipina (-6,0 persen), Singapura (-5,1 persen), dan Thailand (-4,0 persen).
Ezra menjelaskan, selama 2022, kurva imbal hasil pasar obligasi menunjukkan pola bearish flattening, di mana obligasi dengan tenor paling pendek 2 tahun mengalami kenaikan imbal hasil paling signifikan (181 bps), sedangkan obligasi dengan tenor paling panjang 30 tahun mengalami kenaikan imbal hasil paling kecil (46 bps).
Ia mengatakan, jika dilihat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2012 – 2022), pasar obligasi Indonesia mencatatkan kinerja kumulatif sebesar 8,03 persen per tahun.
"Kepemilikan asing di pasar obligasi terlihat telah menyusut, dari semula 19,05 persen (Rp 891,3 triliun) pada akhir 2021 menjadi 14,36 persen (Rp 762,2 triliun) di akhir 2022. Rendahnya kepemilikan asing di pasar obligasi diharapkan dapat mengurangi volatilitas akibat aksi jual investor asing,” ujar Ezra.
Sentimen Global
Selain itu, ekspektasi berkurangnya agresivitas kenaikan Fed Funds Rate, seiring dengan inflasi Amerika Serikat yang terus mengalami moderasi, akan mengangkat sentimen global dan membawa kembali arus masuk dana asing.
Lalu, di dalam negeri, diversifikasi investor domestik menjadi penopang utama, khususnya di perbankan, asuransi dan dana pensiun, serta investor ritel.
Ezra menjelaskan terkait tiga katalis pasar obligasi pada 2023. Pertama, perbaikan fundamental makro. Indikator makro ekonomi yang membaik, seperti defisit fiskal di bawah target pemerintah, dapat mendukung kenaikan rating Indonesia.
Kedua, kuatnya permintaan domestik. Permintaan dari investor perbankan, asuransi, dana pensiun, dan investor ritel diperkirakan masih kuat untuk menopang pasar.
Ketiga, skenario pembukaan kembali China. Skenario dibukanya perekonomian China diperkirakan akan membantu meningkatkan sentimen positif ke pasar global.
Selain itu, risiko yang perlu diwaspadai yaitu ketidakpastian yang masih terus ada dari pasar global, seperti perang Rusia dan Ukraina, kebijakan bank sentral Amerika dan dunia yang berpotensi kembali menjadi hawkish jika data ekonomi masih kuat di atas konsensus, dan tekanan politik yang berpotensi timbul jelang pemilu 2024.
"Kami memperkirakan imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun bisa kembali ke kisaran 6,50 persen - 6,75 persen,” ujar dia.
Advertisement