Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memutuskan untuk tidak melanjutkan kebijakan relaksasi di pasar modal yang merujuk pada kondisi pandemi Covid-19. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) POJK Kebijakan COVID-19, penerapan kebijakan relaksasi di bidang pasar modal berlaku hingga 31 Maret 2023.
Dengan mempertimbangkan kondisi pandemi COVID-19 yang semakin membaik, serta telah dicabutnya kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) oleh Pemerintah sehingga tidak menghalangi mobilitas masyarakat, OJK memutuskan untuk tidak melakukan perpanjangan atas kebijakan tersebut.
Baca Juga
"Kami sampaikan bahwa POJK Kebijakan Covid-19 tidak akan diperpanjang dan kebijakan relaksasi di bidang Pasar Modal yang merujuk kepada POJK Kebijakan Covid-19 sebagaimana diatur dalam SEOJK dan dinyatakan dalam surat OJK juga berakhir pada 31 Maret 2023 dan tidak akan diperpanjang," tulis Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi dalam pengumuman yang dikutip Jumat (3/3/2023).
Advertisement
Setelah berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan di dalam POJK Kebijakan COVID-19, pengaturan dan kebijakan terhadap seluruh pelaku industri dan kegiatan di pasar modal kembali mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku dan peraturan Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (tanpa relaksasi), sebagaimana kondisi sebelum pandemi Covid-19, dengan beberapa ketentuan sebagai berikut:
- Kebijakan larangan short selling dilakukan normalisasi dengan mengacu kepada ketentuan Bursa Efek yang berlaku.
- Kebijakan trading halt selama 30 menit dalam hal indeks harga saham gabungan mengalami penurunan mencapai 5 persen (lima persen) agar dilakukan normalisasi dengan mengacu kepada ketentuan Bursa Efek yang berlaku.
Ketentuan Pencabutan Relaksasi
- Kebijakan asymmetric auto rejection bawah agar dilakukan normalisasi secara bertahap dengan tetap memperhatikan asesmen kondisi pasar, dengan mengacu kepada ketentuan Bursa Efek yang berlaku
- Kebijakan pemendekan jam perdagangan serta jam operasional kliring dan penyelesaian agar dilakukan normalisasi dengan tetap menyesuaikan dengan jam layanan operasional Bank Indonesia real time gross settlement dan Bank Indonesia scripless securities settlement system
- Kebijakan relaksasi jangka waktu berlakunya laporan keuangan dan laporan penilai yang digunakan dalam rangka aksi korporasi Emiten atau Perusahaan Publik yang selama ini ditetapkan diperpanjang menjadi paling lama 7 bulan, akan tetap diberlakukan dalam hal dokumen pernyataan pendaftaran, pernyataan aksi korporasi, laporan dan/atau keterbukaan informasi terkait aksi korporasi telah disampaikan oleh Emiten atau Perusahaan Publik sebelum tanggal 31 Maret 2023.
Bersamaan dengan berakhirnya jangka waktu penerapan kebijakan sebagaimana diatur dalam POJK Kebijakan Covid-19, maka pengaturan dan kebijakan yang tertuang dalam SEOJK Nomor 19/SEOJK.04/2021, SEOJK Nomor 20/SEOJK.04/2021 sebagaimana telah diubah dengan SEOJK Nomor 4/SEOJK.04/2022 dan SEOJK Nomor 20/SEOJK.04/2022, SEOJK Nomor 29/SEOJK.04/2021, dan Surat Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Nomor S-30/D.04/2021 yang secara garis besar merupakan aturan seputar relaksasi selama pandemi Covid-19, menjadi tidak berlaku setelah 31 Maret 2023.
Advertisement
OJK Sebut Bakal Ada 4 Perusahaan Smelter IPO pada Semester I 2023
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar menyebutkan bakal ada empat perusahaan pemurnian bahan galian (smelter) yang akan debut di Bursa pada semester I 2023.
Hal itu sejalan dengan program pemerintah untuk genjot industri hilir. Diakui, memang ada beberapa kendala terkait pengembangan industri hilir di Indonesia. Salah satunya terkait banyaknya pemain asing, di mana mereka umumnya juga akan menghimpun dana dari negara mereka berasal untuk diinvestasikan di Indonesia.
Namun, belakangan Mahendra mencermati pemain dalam negeri baik dari sisi pelaku usaha maupun investor sebagai penyedia modal dari dalam negeri mulai bertambah.
"Belakangan semakin besar proporsi dari investor atau pengusaha Indonesia yang masuk sebagai joint venture. Ini buka peluang yang makin besar baik untuk perbankan maupun pasar modal untuk perusahaan mencari dana, termasuk lewat IPO,” kata dia dalam CNBC Economic Outlook, ditulis Rabu (1/3/2023).
Ke depan, Mahendra melihat persoalan ini harus didukung dari cara pandang strategi dan sosialnya. Di mana sudah seharusnya partisipasi dari investor maupun pelaku bisnis dari Indonesia lebih besar.
Menurut dia, ini adalah kunci yang harus dipegang terlebih dahulu sebagai komitmen nasional, selanjutnya lembaga keuangan bertindak untuk mendukung komitmen tersebut.
"Kami melihat dalam pipeline di IPO ada beberapa yang besar terkait dengan pemrosesan smelter dari produk minerba kita. Dalam semester I saja, barangkali sudah ada 3-4 (perusahaan) dan ukurannya besar,” imbuh Mahendra.
Soal Saham Gorengan, OJK Pastikan Awasi Produk Investasi dan Tata Kelola Perusahaan Penerbit
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan komitmennya untuk turut mengawasi berjalannya perdagangan efek di Bursa berjalan efektif dan teratur. Salah satu isu yang kerap mendera pasar modal adalah adanya saham gorengan. Secara umum, saham gorengan dapat ditandai dengan adanya perubahan harga yang signifikan dalam waktu relatif pendek.
Selain cepat melambung tinggi, juga cepat turun harganya. Untuk memitigasi hal itu, Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar memastikan pihaknya bakal melakukan pengawasan terhadap pengelolaan instrumen investasi. Bersamaan dengan itu, OJK juga memastikan edukasi dan literasi masyarakat mengenai investasi atau pasar modal dapat ditingkatkan.
"Jadi kami masuk pada langkah-langkah untuk bisa menentukan apakah produk sesuai dengan apa yang dijanjikan dalam jualannya. Lalu apakah itu ditujukan kepada investor yang memang mengerti risiko investasinya,” kata dia dalam Economy Outlook, Selasa, 28 Februari 2023.
Misalnya, beberapa instrumen investasi lebih cocok untuk investor institusi. Namun, karena ketidaktahuan, tidak sedikit investor ritel yang menjajal instrumen tersebut. Menurut dia, hal ini berpotensi sebabkan market conduct. Di sisi lain, instrumen investasi di Indonesia akan terus berkembang ke depan, seperti adanya bursa karbon dan bursa derivatif lainnya. sehingga kepercayaan investor harus dipupuk sedini mungkin.
"Jadi tidak hanya soal seberapa besar target dari emisi di bursa dapat dicapai. di lain sisi apakah dilakukan dengan governance yang baik dan memperhatikan etika pelaksanaan sesuai tata cara yang dilakukan. Ini yang akan terus kami lakukan,” imbuh Mahendra.
Advertisement