Sukses

Pertamina Geothermal Energy Bakal Dongkrak Kapasitas Terpasang Panas Bumi di Lumut Balai Sumatera Selatan

PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) melihat potensi bisnis energi baru dan terbarukan (EBT) yang besar seiring Indonesia punya sumber daya yang melimpah.

Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) siap menyambut pengembangan proyek Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang cerah. Potensi bisnis ini besar, karena Indonesia memiliki sumber daya melimpah.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, potensi panas bumi di Tanah Air mencapai 23,7 GW. Dengan kapasitas pembangkit listrik panas bumi (PLTP) sebesar 2.276 MW, pemanfaatan panas bumi di Indonesia juga menempati posisi kedua setelah Amerika Serikat (AS).

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno, optimistis unit usaha PT Pertamina ini bisa besar di industri panas bumi.

"Saya kira prospek bisnis yang dimiliki PGE cukup baik meskipun high risk dan high capital, tapi prospek bisnis EBT ke depan tinggi dan minat investor tinggi. Jadi prospeknya cerah ke depan," ujar dia dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (22/3/2023).

Eddy Soeparno mengakui, proyek PLTP yang digarap emiten berkode saham PGEO ini memang butuh modal besar. Total investasi yang disiapkan perusahaan sebesar USD 1,6 miliar dalam lima tahun ke depan atau hingga 2027. Nilai ini setara Rp 24,2 triliun (kurs Rp 15.133 per dolar AS).

Karenanya keputusan perusahaan melantai di bursa saham alias Initial Public Offering (IPO) belum lama ini, kata dia, jadi keputusan yang tepat. Sebab emiten berkode saham PGEO ini meraup dana jumbo sekitar Rp 9 triliun pada Februari 2023.

"Dengan IPO ini, sebagian besar untuk modal awal proyek, bisa dilaksanakan. Tinggal bagaimana PGE dan mitra bisa menjalankannya, baik [mitra] nasional atau swasta asing. Melihat tingginya minat EBT, saya kira PGE enggak akan kesulitan dapat partner, sehingga bank akan tertarik membiayai proyek PGE ke depannya," ujar Eddy Soeparno.

2 dari 4 halaman

Fundamental Keuangan yang Kuat

Sementara itu, Corporate Secretary PGE, Muhammad Baron menuturkan, sebagai salah satu pengembang energi panas bumi terbesar di dunia, PGE telah memiliki pengalaman puluhan tahun berambisi untuk meningkatkan kapasitas listrik sebanyak 600 MW dalam 5 tahun ke depan.

Dana yang diperoleh dari IPO dialokasikan untuk pengembangan usaha sebesar 85 persen dan sekitar 15 persen akan digunakan untuk pembayaran sebagian utang. Karena itu, menurutnya, fundamental keuangan perusahaan kuat buat menjalankan proyek pengembangan listrik EBT.

"Pendanaan dari pasar modal melalui IPO diharapkan dapat mendukung percepatan pengembangan kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi," kata Muhammad Baron.

Salah satu yang telah dilakukan adalah rencana penambahan kapasitas terpasang panas bumi sebesar 55 MW di salah satu area operasi PGE di Lumut Balai, Sumatera Selatan, yang ditarget dapat selesai pada  2024.

Per September 2022, PGEO memiliki nilai kas dan setara kas sebesar USD 230 Juta yang bertambah sekitar USD 105 juta dari saldo kas per 31 Des 2021. Hal ini menunjukkan PGEO mampu mengelola kas secara baik yang utamanya didapat dari penjualan uap dan listrik ke PLN. 

Kontrak penjualan uap dan listrik PGEO merupakan kontrak yang bersifat jangka panjang dan selalu terbayarkan secara tepat waktu. "Dengan tambahan dana segar IPO, PGEO masih memiliki arus kas yang cukup kuat dan mampu mengatasi kewajiban bayar utang secara tepat waktu," ujar Baron.

 

 

3 dari 4 halaman

Pertamina Geothermal Energy Sudah Bukukan Pendapatan dari Perdagangan Karbon

Sebelumnya, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) telah memiliki pos pendapatan baru dari hasil perdagangan karbon. Hal ini seirama dengan perkiraan dari asosiasi pertambangan yang menyatakan bahwa perdagangan karbon di Indonesia bisa mencapai Rp 4.625 triliun.

Direktur Keuangan PT Pertamina Geothermal Energy Tbk Nelwin Aldriansyah menyatakan, PGE berkomitmen untuk turut serta secara aktif melakukan transisi energi, termasuk di dalamnya mengenai perdagangan karbon. 

“Untuk pertama kalinya pada 2022, Pertamina Geothermal Energy (PGE) mencatatkan pos pendapatan baru dari penjualan carbon credit. Ini membuktikan operasional PGE telah mendapatkan sertifikasi dari berbagai lembaga karbon kredit sehingga PGE berhak untuk memonetisasi atas penjualan karbon kredit dari operasional PGE,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (18/3/2023).

Sayangnya, Nelwin belum menyebut secara detil berapa sumbangsih pendapatan perseroan dari perdagangan carbon kredit dalam kinerja keuangan perusahaan tahun lalu.

Adapun Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) mencatat, perdagangan karbon di Indonesia dapat menembus USD 300 miliar, atau sekitar Rp 4.625 triliun (asumsi kurs JISDOR BI Rp 15.418 per dolar AS) per tahun, yang berasal dari kegiatan menanam kembali hutan gundul hingga penggunaan energi baru terbarukan (EBT).

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun sudah resmi meluncurkan perdagangan karbon. Mulai 2023, perdagangan karbon dilakukan di subsector pembangkit tenaga listrik secara mandatory.

Perdagangan karbon dilakukan pada unit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang terhubung ke jaringan tenaga listrik PT PLN (Persero), dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 MW. Perdagangan karbon itu sendiri diimplementasikan melalui dua mekanisme, yakni perdagangan emisi dan offset emisi.

 

4 dari 4 halaman

Target Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

Wakil Menteri BUMN I Pahala Mansury juga telah berkali-kali mengatakan tengah mendorong BUMN untuk mulai melakukan perdagangan karbon, kegiatan jual beli kredit karbon (carbon credit), dimana pembeli menghasilkan emisi karbon yang melebihi batas yang ditetapkan.

Kredit karbon merupakan representasi dari hak bagi sebuah perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon atau gas rumah kaca lainnya dalam proses industrinya. Satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida (CO2).

Indonesia menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri, dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030.

Sektor strategis yang menjadi prioritas utama adalah sektor kehutanan, energi dan transportasi yang telah mencakup 97 persen dari total target penurunan emisi NDC Indonesia sesuai Paris Agreement.

Pada dokumen NDC 2021, melalui long term strategy-low carbon and climate resilience (LTS – LTCCR), Indonesia juga telah berkomitmen untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) di 2060.Pahala menambahkan, ada banyak standar pemeringkatan dalam penilaian karbon.