Liputan6.com, Jakarta - Platform TikTok tengah berada di bawah banyak pengawasan saat ini. Para pemimpin dunia, termasuk Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden khawatir platform berbagi video milik China itu berbahaya bagi keamanan nasional.
Pada periode ini, perusahaan tengah berada di bawah kepemimpinan CEO Shou Zi Chew yang berusia 40 tahun dan tercatat sebagai warga Singapura. Shou Zi Chew diangkat sebagai CEO TikTok Mei tahun lalu, bersamaan dengan Vanessa Pappas yang diangkat sebagai COO.
Baca Juga
“Chew membawa pengetahuan mendalam tentang perusahaan dan industri, setelah memimpin tim yang merupakan salah satu investor awal kami, dan telah bekerja di sektor teknologi selama satu dekade,” kata Pendiri dan mantan CEO Bytedance Zhang Yiming, melansir Business Insider, Jumat (24/3/2023).
Advertisement
Beberapa pejabat pemerintah di AS dan negara lain khawatir bahwa data pengguna TikTok dapat dibagikan dengan Partai Komunis Tiongkok. Untuk sementara, Chew adalah CEO TikTok dan CFO perusahaan induknya, ByteDance.
Pemerintahan mantan Presiden Donald Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang dirancang untuk memaksa ByteDance melepaskan operasi TikTok AS, meskipun tidak pernah terjadi apa-apa. Namun Presiden Joe Biden menandatangani perintah eksekutif pada Juni 2021 yang membatalkan larangan yang diusulkan Trump pada aplikasi tersebut.
Belakangan pemerintahan Biden menuntut TikTok melepaskan bisnis Amerika-nya dari perusahaan induknya di China, atau berisiko dilarang beroperasi di AS. Sebagai tanggapan, Chew mengatakan divestasi semacam itu tidak akan menyelesaikan masalah keamanan pejabat seputar TikTok.
Dalam pengumuman TikTok pekan ini, Chew mengumumkan perusahaan telah mengumpulkan 150 juta pengguna aktif bulanan di AS dan memulai pembicaraan tentang ancaman larangan.
"Beberapa politisi sudah mulai berbicara tentang pelarangan TikTok… Sekarang ini bisa mengambil TikTok dari 150 juta dari kalian semua,” kata Chew.
Profil Singkat Shou Zi Chew
Chew memperoleh gelar sarjana ekonomi di University College London sebelum melanjutkan ke Harvard Business School untuk gelar MBA pada 2010. Ketika menjadi mahasiswa di sana, Chew bekerja untuk Facebook yang saat itu masih berstatus perusahaan rintisan (startup). Facebook go public pada pertengahan 2012.
Chew bertemu dengan istrinya yang sekarang, Vivian Kao, melalui email ketika mereka sama-sama mahasiswa di Harvard. Mereka kini telah memiliki dua anak. Chew adalah CFO Xiaomi sebelum bergabung dengan Bytedance.
Dia menjadi kepala keuangan raksasa ponsel pintar (smartphone) China, yang bersaing dengan Apple, pada 2015. Chew membantu mengamankan pembiayaan penting dan memimpin perusahaan go public pada 2018, yang akan menjadi salah satu IPO teknologi terbesar di negara itu dalam sejarah.
Dia juga menjadi presiden bisnis internasional Xiaomi pada 2019. Sebelum bergabung dengan Xiaomi, Chew juga bekerja sebagai bankir investasi di Goldman Sachs selama dua tahun.
Chew juga bekerja di perusahaan investasi DST, yang didirikan oleh investor teknologi miliarder Yuri Milner selama lima tahun. Selama berada di sana pada 2013, dia memimpin tim yang menjadi investor awal di Bytedance.
Advertisement
Parlemen AS: TikTok Merusak Kesehatan Mental Anak-Anak dan Menebar Eksploitasi Seksual
Sebelumnya, dalam sidang kongres dengan House Energy and Commerce Committee pada Kamis (23/3/2023) waktu Amerika Serikat (AS), CEO TikTok Shou Zi Chew digempur sejumlah pertanyaan tajam oleh para anggota parlemen AS.
Tak hanya itu, mereka bahkan menilai aplikasi TikTok berbahaya bagi kesehatan mental anak-anak. Juga menuduh platform ini mempromosikan konten yang mendorong gangguan makan di kalangan anak-anak, penjualan obat-obatan terlarang, dan eksploitasi seksual.
"TikTok dapat dirancang untuk meminimalkan bahaya bagi anak-anak, tetapi keputusan dibuat untuk membuat anak-anak kecanduan secara agresif demi keuntungan," kata anggota parlemen dari Demokrat, Kathy Castor, pada sidang kongres tersebut, dikutip Jumat (24/3/2023).
Anggota parlemen Demokrat, Tony Cardenas, mengatakan Chew adalah "penari yang piawai dengan kata-kata" dan menuduhnya menghindari pertanyaan sulit dengan bukti bahwa aplikasi tersebut telah merusak kesehatan mental anak-anak.
Chew membantah tudingan tersebut, dengan mengatakan bahwa perusahaan berinvestasi dalam moderasi konten dan kecerdasan buatan untuk membatasi konten semacam itu.
Lalu anggota parlemen Demokrat, Diana DeGette, mengatakan upaya TikTok untuk mencegah penyebaran informasi yang salah di platform tidak berhasil.
"Anda hanya memberi saya pernyataan umum bahwa Anda berinvestasi, bahwa Anda khawatir, bahwa Anda melakukan pekerjaan. Itu tidak cukup bagi saya. Itu tidak cukup bagi orangtua di Amerika," ujar DeGette.
Kemudian anggota parlemen AS lain, Gus Bilirakis, menunjukkan kepada panitia tentang kumpulan video pendek TikTok yang tampaknya membenarkan tindakan menyakiti diri sendiri dan bunuh diri, atau langsung mempengarungi para pengguna untuk bunuh diri.
"Teknologi Anda benar-benar menyebabkan kematian. Kita harus menyelamatkan anak-anak dari perusahaan teknologi besar seperti milik Anda, yang terus menyalahgunakan dan memanipulasi mereka untuk keuntungan Anda sendiri," klaim Bilirakis.
Chew memberi tahu Bilirakis bahwa aplikasi TikTok menangani masalah bunuh diri dan menyakiti diri "dengan sangat, sangat serius".
Upaya Keamanan Data TikTok Bernilai Rp 22,6 Triliun
Perusahaan mengatakan telah menghabiskan lebih dari US$ 1,5 miliar (sekitar Rp 22,6 triliun) untuk upaya keamanan data yang disebut sebagai "Project Texas".
Inisiatif tersebut memiliki hampir 1.500 karyawan tetap dan dikontrak dengan Oracle Corp untuk menyimpan data pengguna TikTok di AS.
Akan tetapi, kritik terus mengalir dalam sidang karena perusahaan tidak memberikan upaya baru untuk menjaga privasi pengguna.
Chew kemudian meyakinkan para anggota parlemen bahwa perusahaan tidak mempromosikan atau menghapus konten atas permintaan pemerintah China.
"Ini adalah komitmen kami kepada komite dan semua pengguna bahwa kami akan menjaga (TikTok) bebas dari manipulasi apa pun oleh pemerintah mana pun. TikTok secara ketat menyaring konten yang dapat membahayakan anak-anak," ujarnya menjelaskan.
Advertisement