Liputan6.com, Jakarta - Tren penyaluran kredit perbankan domestik diperkirakan masih tetap tumbuh di tengah tren penurunan harga komoditas.
Equity research Analyst CGS-CIMB Sekuritas Indonesia, Handy Noverdanius mengatakan, porsi kredit perbankan untuk sektor komoditas terutama batu bara memang susut seiring dengan isu lingkungan. Sehingga gejolak harga yang melanda sektor tersebut tak banyak pengaruhi penyaluran kredit secara total.
Baca Juga
"Jadi boleh dibilang penurunan harga batu bara tidak akan berdampak signifikan ataupun negatif terhadap pertumbuhan kredit perbankan. Yang lebih besar seperti plantation, CPO, itu cukup besar. Tapi menariknya, kalau kita tanya ke beberapa bank, justru dengan harga yang tidak terlalu tinggi mendorong beberapa borrower mereka untuk meminjam," kata Handy dalam Money Buzz - Perbaikan Indonesia: Santai Di Tengah Badai, Selasa (30/5/2023).
Advertisement
Dengan kata lain, Handy menjelaskan harga CPO yang relatif sehat saat ini berikan dampak bagus untuk pertumbuhan kredit di sektor tersebut. Sebelumnya, saat harga CPO sedang naik, Handy mengatakan banyak nasabah atau kreditur dari sektor tersebut yang melakukan pelunasan utang.Â
Pertumbuhan kredit perbankan mencapai 9,93 persen yoy per Maret 2022, terutama ditopang kredit investasi yang tumbuh 11,40 persen yoy. Melansir data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh 7,00 persen yoy, dengan giro dan deposito sebagai main driver pertumbuhan.
Kondisi tersebut mendukung terjaganya likuiditas perbankan, antara lain tercermin dari Rasio Alat Likuid/Non Core Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid/DPK (AL/DPK) masing-masing sebesar 128,87 persen dan 28,91 persen, jauh di atas threshold 50 persen dan 10 persen.
Selain itu, Liquidity Coverage Ratio (LCR) juga memadai, berada pada level 244,28 persen dan melampaui threshold 100 persen. Dari sisi permodalan, Capital Adequacy Ratio (CAR) tetap solid dan berada pada level 24,69 persen.
Sementara, risiko kredit membaik dengan Non Performing Loan (NPL) gross turun ke level 2,49 persen dan NPL net 0,72 persen. Selanjutnya, kredit restrukturisasi Covid-19 terus melanjutkan penurunan menjadi Rp405,42 triliun dengan jumlah debitur yang juga terus menurun menjadi 1,83 juta debitur. Â
Â
Â
Tips Berburu Saham Bank di Tengah Krisis Perbankan Amerika Serikat dan Pemilu 2024
Sebelumnya, perbankan Indonesia menjadi salah satu sektor yang menarik dicermati untuk investasi. Di tengah tren kenaikan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (the Fed) hingga krisis perbankan di negeri Paman Sam itu, bank-bank di Indonesia masih cukup resilien.
"Di Indonesia, kemungkinan untuk mengalami hal yang sama itu relatif kecil karena kalau kita lihat dari sisi asetnya, empat perbankan besar Indonesia mendominasi 60 persen total aset perbankan di dalam negeri," kata Equity research Analyst CGS-CIMB Sekuritas Indonesia, Handy Noverdanius dalamMoney Buzz- Perbankan Indonesia: Santai di Tengah Badai, Selasa (30/5/2023).
Di sisi lain, penyaluran kredit perbankan besar untuk perusahaan berbasis teknologi, seperti fintek hingga startup relatif tidak signifikan.
Â
Advertisement
Model Bisnis yang Rentan
Krisis perbankan di AS salah satunya lantaran penyaluran kredit untuk perusahaan teknologi dan startup. Di mana sektor-sektor tersebut memiliki model bisnis yang rentan.
"Selain itu, instrumen investasi surat berharga memang ada kenaikan sejak pandemi karena dana murah banyak parkir likuiditas di instrumen investasi seperti surat berharga. Tapi secara total portofolio aset masih di bawah 10 persen dan sangat aman. Perbankan besar juga banyak parkir dana di tenor yang relatif lebih pendek, 3 tahun. Sedangkan bank-bank AS investors long term di atas 4-5 tahun," ujar Handy.
Pada kondisi tersebut, Handy memiliki beberapa tips memilih saham perbankan yang berpotensi cuan. Dia menuturkan, ada sejumlah metrik yang bisa dijadikan acuan untuk menimbang saham bank yang patut dikoleksi. Misalnya, seperti kinerja keuangan termasuk  tingkat profitabilitas perbankan, return on asset (RoA) hingga return on equity (RoE).
"Lalu dibandingkan juga dengan harga valuasi saham-saham  perbankan, di mana kita biasanya memakai matriksnya itu price to book. Jadi harga sahamnya dibandingkan book value per share. Harusnya dnegan RoA dan RoE yang lebih tinggi, saham-saham bank itu bisa lebih premium," tutur Handy.
Rekomendasi Saham
Selain itu, investor juga bisa mencermati momentum atau sentimen yang sedang berlangsung, baik di luar negeri maupun di dalam negeri.
Untuk sentimen dalam negeri saat ini adalah terkait pemilihan umum (pemilu) serentak pada 2024, di mana kampanye akan berlangsung pada tahun ini. Handy mengatakan, momentum tersebut berpotensi mengerek permintaan kredit perbankan karena perputaran uang dalam bentuk dana kampanye.
"Satu lagi yang bisa dicermati juga dari momentum adanya Dana kampanye election cycle yang bakal berlangsung sebentar lagi," imbuh dia. Cari momentum momentum seperti dana displacement itu akan lebih memberikan dampak positif ke segmen di kelas bawah seperti mikro hingga ultra mikro," kata Handy.
Untuk saat ini, Handy jagokan saham Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) dan Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI). Alasannya, kedua bank ini memiliki eksposur yang lebih tinggi untuk pembiayaan atau kredit segmen menengah ke bawah, dibandingkan bank-bank besar lain.
"BRI biasanya lebih benefit selama pemilu karena segmen mereka kan mikro. Dengan adanya KUR dan Kupedes, likuiditas baik DPK maupun kredit bisa tumbuh lebih tinggi dibanding industri. Dan BNI kita suka karena valuasinya relatif masih menarik," ujar Handy.
Advertisement