Sukses

Obligasi vs Saham, Mana Lebih Menarik hingga 2024?

Mirae Asset Sekuritas Indonesia menyoroti prospek obligasi pada 2024

Liputan6.com, Jakarta - PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia melihat instrumen obligasi memiliki prospek yang cerah hingga 2024. Sebab, obligasi akan dipengaruhi oleh berbagai perkembangan sentimen data ekonomi dan lainnya.

"Secara keseluruhan, menurut kami pada 2023 dan 2024 akan sangat baik untuk obligasi. Musuh usaha fixed income adalah inflasi dan suku bunga," kata Senior Economist Mirae Asset Rully Arya Wisnubroto dalam Media Day, Kamis (8/6/2023).

Menurut ia, jika tren inflasi turun dan suku bunga sudah mencapai puncaknya, hal tersebut akan berdampak pada pasar obligasi.

"Dengan berbagai perkembangan sentimen data ekonomi dan lain-lain, akan positif untuk obligasi. Ini akan berdampak pada kinerja obligasi positif," kata dia.

Selain itu, volatilitas pasar akan nilai tukar yang bergejolak akan terjadi signifikan capital outflow, sedangkan jika Rupiah stabil akan berdampak positif bagi obligasi. 

Meski demikian, ia mengaku terdapat kekhawatiran terhadap instrumen sama. Artinya, pelaku pasar perlu hati-hati.

"Memang kalau dari saya perbedaan dengan obligasi, saham itu terpengaruh dari sisi pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi 2023 kebanyakan lebih rendah dari 2022," ujarnya.

Akan tetapi, ia menyebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia dinilai lebih baik dari negara lain di tengah adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi. 

Dengan demikian, pelaku pasar harus lebih cermat untuk memilih-memilih mana industri yang mampu bertahan lebih baik alias tangguh.

"Sektor perbankan bisa bertahan di tengah suku bunga naik turun. Bahkan, pada saat pandemi pun kinerjanya cukup baik," imbuhnya.

Alhasil, Rully optimistis terhadap prospek fixed income ke depannya. Namun, cukup selektif untuk instrumen saham.

2 dari 4 halaman

Mirae Asset Sekuritas Ramal Amerika Serikat Berpotensi Resesi pada Semester II 2023

Sebelumnya, PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia prediksi Amerika Serikat (AS) mengalami resesi pada semester II 2023. Sebab, kenaikan suku bunga tengah meningkat secara agresif.

Senior Economist Mirae Asset Sekuritas Indonesia Rully Arya Wisnubroto mengatakan, dengan kenaikan suku bunga yang sangat agresif ini ada potensi AS mengalami resesi ke depan. Dalam sejarahnya, tidak pernah mereka menaikkan suku bunga secara agresif tanpa menyebabkan resesi di masa yang akan datang.

"Soal kapan terjadi masih berubah-ubah, terutama setelah adanya pandemi. Kami melihat kemungkinan terjadinya resesi di Amerika Serikat itu cukup besar dalam dua sampai tiga kuartal ke depan, kami perkirakan di semester II," kata Rully dalam Media Day, Kamis (8/6/2023).

Dia bilang, penyebab resesi karena terdapat efek dari kenaikan suku bunga yang sudah terasa terutama sejak terjadinya krisis perbankan pada Maret lalu. Belum lagi, ada kebangkrutan beberapa bank di AS menyebabkan banker-banker di AS itu cenderung berhati-hati. 

"Standar pemberian kredit diperketat, kemudian kondisi likuiditas di sektor finansial AS cenderung ketat setelah krisis perbankan," kata dia.

Bank sentral AS (the Fed) juga melakukan quantitative tightening (pengetatan kuantitatif). Dengan adanya pengetatan ini, ia memperkirakan AS akan mengalami resesi pada semester II 2023. 

"Sehingga kami perkirakan kenaikan suku bunga di Mei kemarin itu yang terakhir kalinya. Tapi proyeksi ini bisa berubah setiap kali ada perubahan data terutama dari sisi inflasi dan ketenagakerjaan," ujar dia.

Namun, selama belum ada rilis data terbaru dari AS, Rully masih melihat kenaikan suku bunga pada Mei kemarin adalah yang terakhir kalinya dan akan di hold di level 5,25 persen.

 

3 dari 4 halaman

Perlambatan Ekonomi

Sementara itu, ia menyebut, negara-negara berkembang khususnya di Asia lebih bisa mengontrol inflasi secara lebih efektif sehingga tidak perlu menaikkan suku bunga secara berlebihan. 

"Dampaknya ada tapi tidak akan terlalu besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Ekonomi akan slow down namun probabilitas terjadi resesi sangat kecil," imbuhnya.

Menurut ia, perlambatan ekonomi terjadi karena dampak kenaikan suku bunga. Suku bunga bank sentral AS berada di kisaran 0-3 persen.

"Saat ini dengan suku bunga di level 5,25 persen, most likely pemulihan ekonomi AS akan relatif lambat. Kenaikan suku bunga di AS menurut kami sudah mencapai puncaknya di level 5,25 persen," ujarnya.

Sedangkan, beberapa negara lain seperti UK, zona Euro belum selesai menaikan suku bunga sehingga mereka relatif mendekati. 

"Indeks Jepang mengalami kenaikan cukup signifikan. Mereka bisa menurunkan inflasi tanpa harus menaikkan suku bunga," ujar dia.

 

4 dari 4 halaman

Revisi IHSG pada 2023

Sebelumnya, PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia berencana melakukan revisi proyeksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga akhir tahun ini yang awalnya di level 7.880 menjadi sekitar 7.000-7.500. 

Senior Research Analyst Mirae Asset Sekuritas Indonesia Robertus Yanuar Hardy menjelaskan, pihaknya bakal melakukan revisi proyeksi IHSG pada 2023. 

Hal itu disebabkan dengan adanya perlambatan ekonomi AS dan potensi resesi pada akhir tahun ini yang membuat volatilitas pasar cenderung ke arah menurun dalam jangka pendek. 

"Kita mungkin ada sedikit revisi nanti abis lebaran, revisi kemungkinan sedikit ke bawah, gak begitu banyak hanya menyesuaikan laporan keuangan kemarin. Masih di atas 7.000, sekitar 7.500," kata Robertus saat ditemui di Kantor Mirae Asset, dikutip Jumat (14/4/2023).

Di sisi lain, ia mengatakan, sektor teknologi pun masih belum mampu untuk mendorong pertumbuhan IHSG. Ini mengingat sektor teknologi masih dibayangi oleh sentimen suku bunga the Fed. 

Sebelumnya, PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia menilai Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) lebih baik daripada bursa global.

Senior Investment Information Mirae Asset, Martha Christina menuturkan, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi IHSG, antara lain data ekonomi domestik dan global, kebijakan moneter bank sentral, pergerakan nilai tukar rupiah, dan pergerakan harga komoditas.

 

 

Video Terkini