Liputan6.com, Jakarta - PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) berkomitmen mempertahankan posisinya sebagai salah satu manajer investasi terbesar di industri reksa dana dan pengelolaan dana secara eksklusif di Indonesia.
Hingga paruh pertama tahun ini, perusahaan mencatatkan total dana kelolaan (Asset Under Management/AUM) mencapai Rp 101,4 triliun hingga Juni 2023. Director & Chief Investment Officer, Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Ezra Nazula Ridha mengatakan, capaian itu membawa MAMI konsisten pada posisinya sebagai perusahaan pengelola investasi (manajer investasi/MI) dengan dana kelolaan terbesar di Indonesia.
Baca Juga
"AUM atau total dana kelolaan itu berada di angka Rp 101,4 triliun. Ini membuat MAMI menjadi perusahaan MI dengan AUM terbesar di Indonesia. Kami akan terus berusaha mempertahankan posisi tersebut," ujar Ezra dalam Market Update, Selasa (15/8/2023).
Advertisement
Ezra menambahkan, MAMI juga mencatatkan dana kelolaan reksa dana saham dan offshore senilai Rp 16,1 triliun pada semester I 2023. 27 tahun beroperasi di Indonesia, perusahaan saat ini mengelola 35 reksa dana, 58 kontrak pengelolaan dana dan 2 perjanjian sebagai penasihat investasi.
Pada 2023, perusahaan berhasil meraih dua penghargaan bergengsi dalam ajang 2023 Best of the Best Awards. Kedua penghargaan tersebut yaitu “Best Fund House” dan "Best Islamic Fund House" diserahkan oleh Asia Asset Management, perusahaan publikasi finansial terkemuka di Asia yang berbasis di Hong Kong.
Pada akhir 2022, MAMI memiliki total dana kelolaan sebesar Rp 100,9 triliun, di mana 45 persen atau Rp 45,7 triliun dikelola dalam 33 produk reksa dana (termasuk tujuh reksa dana syariah) dan 55 persen atau Rp 55,3 triliun dikelola dalam 59 Kontrak Pengelolaan Dana (KPD). MAMI memiliki jalur distribusi yang lengkap, yaitu Institutional Sales, Partnership Distribution, Investment Wealth Managers, dan digital.
Manulife Aset Sebut Ekonomi Indonesia Tangguh Hadapi Risiko Resesi AS, Emiten Ini Berpotensi Untung
Sebelumnya, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia menilai sepanjang tahun ini pasar dibayangi oleh beberapa faktor seperti ketidakpastian arah suku bunga the Fed, kejutan dari jatuhnya beberapa perbankan di AS, dan kekhawatiran resesi ekonomi.
Akan tetapi, positifnya, the Fed diperkirakan sudah mencapai puncak suku bunganya pada rapat Mei lalu sehingga mengurangi faktor ketidakpastian bagi pasar.
Namun dalam jangka pendek masih terdapat ketidakpastian terkait kondisi perbankan regional AS dan pelemahan ekonomi lebih lanjut yang dapat menyebabkan volatilitas di pasar.
Lantas, bagaimana dampak resesi ekonomi terhadap pasar saham?
Senior Portfolio Manager Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Samuel Kesuma mengatakan, resesi ekonomi biasanya disebabkan oleh kejadian tidak terduga seperti perang, lonjakan harga komoditas, gagalnya sistem finansial, atau pandemi yang menyebabkan tekanan negatif bagi ekonomi dan pasar finansial.
Namun berbeda dengan episode resesi sebelumnya yang cenderung mengejutkan, kali ini pasar secara bertahap sudah memperhitungkan terjadinya resesi terlihat dari pelemahan indeks S&P 500 yang sudah turun -19 persen pada 2022.
Harapannya adalah dengan pasar yang sudah memperkirakan kondisi resesi dari tahun lalu, maka risiko pelemahan pasar lebih lanjut di tahun ini dapat lebih terbatas.
"Faktor lain yang menjadi dukungan bagi pasar adalah harapan bahwa resesi yang terjadi adalah resesi ringan. Sektor tenaga kerja AS yang resilien dan excess saving masyarakat AS dari periode pandemi lalu dapat menjadi bantalan yang menopang tingkat konsumsi. Riset JPMorgan mengindikasikan masih terdapat excess saving USD 900 miliar di masyarakat AS, dari stimulus dan tabungan yang meningkat ketika pandemi," kata Samuel dalam keterangan resminya, ditulis Kamis (18/5/2023).
Advertisement
Kondisi Berbeda di Asia
Di sisi lain, ia menyebut, secara historis Asia memang dapat terdampak pelemahan ekonomi di Amerika, baik dari sisi perdagangan yang melemah maupun dari sisi arus dana di pasar finansial.
Namun kali ini ia melihat kondisi yang berbeda di Asia, di mana ekspektasi pertumbuhan ekonomi Asia diperkirakan tetap resilien. Pembukaan ekonomi pasca lockdown Covid-19 menjadi faktor yang mendukung ekonomi domestik di kawasan Asia.
Bahkan, baru-baru ini IMF merevisi naik proyeksi ekonomi Asia menjadi 4,6 persen 2023 (sebelumnya 4,3 persen) didorong pemulihan ekonomi China yang lebih baik dari ekspektasi dan ekonomi India yang resilien.
Daya tarik Asia juga didukung oleh tren pelemahan USD seiring dengan ekspektasi the Fed sudah mendekati siklus puncak suku bunga dan ekspektasi pelemahan ekonomi di kawasan negara maju, yang menjadikan kawasan Asia relatif lebih menarik.
Sepanjang tahun ini arus dana asing ke pasar saham Asia tetap positif, mengindikasikan pandangan investor yang konstruktif terhadap Asia.