Liputan6.com, Jakarta - El Nino dan polusi udara dinilai sebagai fenomena yang bakal memengaruhi ekonomi Indonesia. Lantas, apa saja dampak kedua fenomena tersebut bagi ekonomi Indonesia?
Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro menyebut El Nino bisa memengaruhi produksi pangan Tanah Air.Â
Baca Juga
"Di sisi lain, permintaan sedang mengalami rebound pascapandemi. Ini akan memberi tekanan (pada sektor pangan). Rata-rata akan berpengaruh ke biaya input petani," kata Andry dalam Mandiri Economic Outlook, Selasa (22/8/2023).
Advertisement
Dia bilang, jika melihat sepanjang 2015-2016 itu terdapat kebijakan impor pemerintah yang lebih responsif untuk mengantisipasi dampak El Nino dan La nina.Â
"Pemerintah melakukan impor beras seperti yang tahun 2023 ini sudah ada estimasinya dua juta ton, tumbuh 365 persen YoY," kata dia.
Berdasarkan studi literatur, ia mengungkapkan, setiap kenaikan suhu satu derajat celcius itu akan menurunkan produksi beras sebesar 5,7 persen, gandum minus 5 persen dan jagung minus 7,4 persen. Alhasil, jika El Nino terjadi akan menyebabkan produksi beras dalam negeri menurun tiga sampai dengan enam persen pada 2023.
Namun, ia melihat dampak El Nino tidak begitu besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Bagaimana kemudian impactnya kepada indikator makro terutama kepada inflasi dan juga PDB relatif kecil terutama kalau misalnya tidak memberikan dampak besar ke inflasi. Kalau ini menyebabkan inflasi bergerak naik tentu akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat. Sehingga pengaruh ke pertumbuhan ekonomi baru akan terasa," kata dia.Â
Â
ASN Jakarta WFH, Bagaimana Dampak ke Pertumbuhan Ekonomi?
Dia menuturkan, sejauh ini pihaknya mencermati dampak El nino masih moderat. Bahkan, belum memberikan dampak terhadap perhitungan PDB.
"Kami melihat PDB masih berada di kisaran 5,3 persen di akhir tahun ini," kata dia.
Sementara itu, terkait fenomena polusi udara, Head of Mandiri Institute Teguh Yudo Wicaksono menilai kebijakan Work From Home (WFH) dalam rangka mengurangi polusi diyakini tidak begitu berdampak besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ini mengingat kebijakan tersebut tidak dilakukan secara masif seperti saat pandemi Covid-19.
Bahkan, sejauh ini kebijakan tersebut hanya diterapkan di DKI Jakarta dan terbatas hanya untuk Aparatur Sipil Negara (ASN).Â
"Jadi WFH tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya, sehingga dampak ke PDB mungkin akan terbatas," kata Teguh.
Advertisement
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Bakal Tumbuh 5,04 Persen pada 2023
Sebelumnya, perekonomian Indonesia mencatatkan pertumbuhan 5,17 persen di kuartal II 2023 dengan dorongan dari berlanjutnya pertumbuhan di konsumsi rumah tangga, investasi serta belanja pemerintah.Â
Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan, konsumsi yang kembali tumbuh di atas 5 persen ditopang oleh seasonal factors antara lain Hari Raya Idul Fitri, masa libur sekolah dan tahun ajaran baru. Realisasi pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) dan gaji ke 13 juga mendukung pencapaian pertumbuhan tersebut.Â
Selain itu, pada semester II, Pemilu dapat memberikan efek positif bagi pertumbuhan konsumsi Indonesia. Alhasil, ia meyakini dengan kinerja sepanjang semester I tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan dapat mencapai target Bank Mandiri di level 5,04 persen pada 2023.
Terlebih, pada semester II tahun ini bakal lebih banyak peluang. Sebab, pandemi telah berubah menjadi endemi sehingga mobilitas akan kembali normal.Â
"Banyak opportunity tentu saja adalah pandemi berubah endemi, mobility sangat kembali back to normal seperti yang kita lihat saat ini transportasi kembali ke pre pandemi," kata Andry dalam Bank Mandiri Economic Outlook, Selasa (22/8/2023).
Meski demikian, ia menyebut, tingkat inflasi merupakan game changer yang mendukung pertumbuhan dan stabilitas sektor keuangan. Inflasi semakin terkendali meskipun tantangan el nino dapat meningkatkan potensi gangguan supply pangan. Hingga Juli, inflasi tercatat sebesar 3,08 persen yoy dan telah kembali dalam target Bank Indonesia di kisaran 2 persen - 4 persen.
Â
Tingkat Inflasi
"Nowcasting kami menunjukkan tingkat inflasi Indonesia dapat berada pada retang 3 persen-3,2 persen di akhir tahun 2023 (lebih baik dibandingkan proyeksi awal kami di 3,6 persen) dengan strategi pengelolaan pasokan pangan yang baik," kata dia.
Neraca perdagangan Indonesia, meskipun terus turun, masih mencatat surplus. Selama tujuh bulan pertama pada 2023, surplus neraca perdagangan tercatat sebesar USD 21,2 miliar, menurun dibandingkan surplus pada periode yang sama tahun lalu sebesar USD 29,1 miliar.Â
Faktor penentunya ada pada perkembangan harga komoditas terutama Batubara dan CPO (Sawit) yang masih jauh di atas periode pre-pandemi. Dengan kinerja neraca perdagangan tersebut, Bank Mandiri perkirakan Neraca Transaksi Berjalan (NTB) atau Current Account Balance akan kembali mencatat defisit 0,65 persen dari PDB 2023.
Â
Advertisement
Hal yang Perlu Diwaspadai
Tak hanya itu, aliran modal asing kembali masuk ke dalam pasar obligasi Indonesia seiring optimisme fundamental ekonomi Indonesia yang masih sangat baik. Selama semester I tercatat nett buy investor asing di pasar obligasi sebesar Rp 84 triliun.Â
"Kami percaya investor asing masih akan kembali banyak masuk ke Indonesia pada kuartal IV ketika suku bunga acuan AS (Fed Fund Rate) telah mencapai puncaknya di September," ujar dia.
Saat ini, kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) mencapai 15,6 persen dari total, lebih tinggi dibandingkan posisi terendahnya di sekitar 14 persen. Ia melihat potensi yield SBN akan dapat kembali berada di kisaran 6,1 persen -6,3 persen pada 2023 dengan potensi foreign capital inflows tersebut.
Namun, perlu diwaspadai tantangan ekonomi global terutama terkait prospek perekonomian Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. IMF menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi AS akan melambat ke 1,8 persen pada 2023, sementara Tiongkok akan tumbuh 5,2 persen pada 2023, dan melambat ke 4,5 persen pada 2024.
Â