Liputan6.com, Jakarta - Minat investor global yang menurun akan mendorong lebih banyak dana keluar dari China. Hal ini setelah saham China alami arus keluar bulanan terbesar pada Agustus, menurut berbagai data dan perkiraan.
Dikutip dari laman SCMP.com, ditulis Senin (18/9/2023), kombinasi pandemi COVID-19, perlambatan pertumbuhan ekonomi, ketidakpastian peraturan dan ketegangan hubungan internasional menyebabkan penurunan arus masuk investasi asing langsung (FDI) ke China, menurut laporan the Economist Intelligence Unit (EIU) pada Kamis, 14 September 2023.
Baca Juga
Kewajiban investasi langsung, ukuran investasi asing langsung ke China telah merosot menjadi hanya USD 4,9 miliar pada kuartal II, menurut the State Administration of Foreign Exchange pada bulan lalu. Kewajiban investasi langsung itu susut 87 persen dibandingkan tahun lalu.
Advertisement
“Secara keseluruhan, porsi aliran masuk FDI China di negara-negara berkembang akan turun menjadi kurang 30 persen pada 2027 dibandingkan dengan kisaran sebelumnya 40-50 persen,” ujar EIU.
Selain itu, aliran FDI agregat ke negara-negara Asia Tenggara dipimpin oleh Indonesia dan Vietnam diperkirakan melampaui China pada 2024.
Sementara itu, investor asing juga menarik sekitar USD 15,5 miliar dari portofolio pasar negara berkembang China pada Agustus 2023 yang merupakan arus keluar bulanan terbesar sejak September 2022, menurut Institute of International Finance (IIF) pada Rabu pekan ini didorong oleh arus keluar besar dari saham China.
Arus Keluar dari Saham China Terbesar dalam Sejarah
Saham China alami arus keluar dana investor asing sekitar USD 15 miliar atau sekitar Rp 230,57 triliun (asumsi kurs Rp 15.371 per dolar Amerika Serikat) pada Agustus 2023. Dana investor asing yang keluar dari bursa saham China ini merupakan terbesar dalam sejarah bursa saham China.
Keluarnya arus dana asing tersebut seiring sentimen negatif atas tantangan ekonomi China. Hal ini di tengah skeptimisme terhadap langkah-langkah untuk membendung perlambatan ekonomi, demikian disampaikan perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat IIF.
Pada Juli 2023, bursa saham China mencatat total arus masuk sebesar USD 7,7 miliar atau sekitar Rp 118,31 triliun, berdasarkan data awal IIF.
Obligasi atau surat utang China juga mencatat arus keluar sebesar USD 5,1 miliar atau sekitar Rp 78,35 triliun pada Agustus 2023. Pada Juli 2023, arus dana keluar mencapai USD 10,2 miliar atau sekitar Rp 156,79 miliar.
Ekonomi China Melambat Bakal Jadi Sentimen Negatif Saham AS
Sebelumnya, ekonomi China sedang masalah. Hal itu menjadi sentimen negatif untuk saham Amerika Serikat (AS) dan berpotensi terhadap portofolio investor.
Dikutip dari CNN, Jumat (18/8/2023), menurut Biro Statistik China, pengeluaran konsumen China, produksi pabrik dan investasi jangka panjang antara lain properti, mesin dan barang lainnya melambat pada Juli 2023 dibandingkan tahun lalu.
Pengangguran kaum muda di ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut berulang kali mencapai rekor tertinggi. Awal pekan ini China memutuskan menangguhkan rilis data bulanan pengangguran kaum muda tersebut.
Ketegangan antara Amerika Serikat dan China, sementara itu telah meningkat ketika dua ekonomi terbesar di dunia bentrok atas berbagai masalah mulai dari kebijakan perdagangan dan teknologi hingga invasi Rusia ke Ukraina.
Pekan lalu, Presiden AS Joe Biden mengumumkan perintah eksekutif yang membatasi investasi AS di industri teknologi canggih di China. Perintah itu mendorong pengelola dana atau fund managers khawatir bagaimana harus investasi di China.
Di sisi lain, komite kongres mengumumkan awal bulan ini sedang menyelidiki BlackRock, manager aset terbesar di dunia dan MSCI, salah satu penyedia dana indeks terbesar untuk menentukan apakah mereka investasi di Perusahaan China yang masuk daftar hitam oleh pemerintah AS untuk keamanan dan masalah hak asasi manusia (HAM).
Advertisement
Mengapa Hal Itu Penting?
Strategist Data Analytics Firm Exante, Alex Etra menuturkan, selama hampir dua dekade terakhir pertumbuhan ekonomi China telah menjadi pendorong utama ekonomi global. Ini berarti, jika ekonomi China melambat berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi global.
“Ketika pertumbuhan ekonomi global melambat, saham AS cenderung negatif. Dan beberapa di antaranya berkaitan dengan paparan langsung penjualan Perusahaan AS di China dan dengan China sebagai konsumen utama komoditas,”ujar dia.
Ia menyebutkan, bahkan Perusahaan yang tidak menjual langsung ke China pun terpengaruh oleh apa yang terjadi. ExxonMobil mungkin tidak terlalu banyak berkaitan bisnis dengan China. Namun, jika pertumbuhan ekonomi China melambat, itu berarti harga minyak turun.
Perusahaan AS yang Terkena Dampak
Perusahaan berbasis di AS yang punya bisnis di China akan merugi jika ekonomi di sana terus menurun. Perusahaan antara lain Apple, Intel, Ford dan Tesla memiliki manufaktur di China. Sementara itu, Starbucks dan Nike mengandalkan konsumen China.
Awal 2023, Bank of America menyusun daftar Perusahaan S&P 500 dengan eksposur tertinggi ke China. Daftar teratas adalah Las Vegas Sands (LVS). Perusahaan kasino memperoleh 68 persen dari penjualannya di China. Harga saham Las Vegas Sands turun hampir 10 persen selama 30 hari terakhir.
Selain itu, Qualcomm (QCOM), produsen semikonduktor, memiliki eksposure 67 persen ke China. Saham Qualcomm mencatat penurunan beruntun terpanjang dalam empat tahun pada Rabu, 16 Agustus 2023 dan turun hampir 11 persen selama periode 30 hari terakhir.
Selain itu, Tesla, Intel, Nvidia (NVDA), Wynn Resorts (WYNN), dan MGM Resorts (MGM) juga termasuk di antara 25 perusahaan S&P 500 yang terbanyak memiliki eksposure ke China.
Di sisi lain, private equity AS dan investasi modal ventura di China mencapai level terendah dalam delapan tahun lalu dan terusturun, menurut data dari PitchBook.
Hedge fund antara lain Scion Asset Management milik Michael Burry, Moore Capital Management, Coatue, D1 Capital, dan Tiger Global juga memangkas eksposur ke Perusahaan China pada kuartal II 2023, berdasarkan pengajuan Securities and Exchange Commission (SEC).
Advertisement