Liputan6.com, Jakarta - Microsoft selesaikan akuisisi video game publisher Activision Blizzard senilai USD 69 miliar atau sekitar Rp 1.083 triliun (asumsi kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran 15.701).
Hal itu berdasarkan pengajuan peraturan perusahaan pada Jumat, 13 Oktober 2023. Kesepakatan tersebut merupakan terbesar yang dicatat Microsoft dalam 48 tahun.
Baca Juga
Penyelesaian akuisisi itu juga terjadi setelah perusahaan tersebut meredakan kekhawatiran mengenai persaingan dari regulator Inggris dan Eropa serta memperoleh keputusan yang menguntungkan dari hakim distrik di Amerika Serikat. Demikian mengutip dari laman CNBC, ditulis Minggu (15/10/2023).
Advertisement
The UK Competition and Markets Authority memberikan persetujuan kesepakatan itu pada Jumat pagi sehingga membuka jalan untuk rampungkan akuisisi. Kesepakatan yang diumumkan pada Januari 2022, memberi portofolio Microsoft waralaba video game yang besar dan kuat termasuk Call of Duty, Crash Bandicoot, Diablo, Overwatch, StarCraft, Tony Hawk Pro Skater and Warcraft.
Pengembang game ini menghasilkan pendapatan USD 7,5 miliar pada tahun fiskal terbarunya, sebagian kecil dari penjualan yang diperoleh Microsoft sebesar USD 212 miliar.
“Hari ini kami mulai berupaya menghadirkan franchise Activision, Blizzard dan franchise King ke Game Pass dan platform lainnya. Kami akan berbagai lebih banyak tentang kapan Anda dapat bermain dalam beberapa bulan mendatang,” tulis CEO Microsoft Gaming Phil Spencer.
CEO Activision Blizzard Bobby Kotick akan tetap menjabat sebagai CEO hingga akhir tahun ini.
CEO Microsoft Satya Nadella yang menjabat pada 2014 bertujuan diversifikasi bisnis perusahaan di luar bidang inti seperti sistem operasi dan perangkat lunak produktivitas. Activision telah menjadi mtira Microsoft sekaligus pesaing. Ini adalah salah satu dari sedikit perusahaan besar yang merilis game populer yang biaya produksinya dapat mencapai ratusan juta dolar AS.
Penundaan Akuisisi
Ketika mengumumkan kesepakatan itu pada Januari 2022, Microsoft mengatakan akan selesaiakan transaksi pada akhir Juni 2023. Pada Juli 2023, kedua perusahaan sepakat untuk memperpanjang batas waktu hingga 18 Oktober 2023.
Komisi Perdagangan Federal di Amerika Serikat, Komisi Eropa dan the UK Competition and Markets Authority mengajukan keberatan terhadap transaksi tersebut.
Microsoft membuat konsesi yang menenangkan regulator Eropa. Perseroan setuju memberikan lisensi gratis kepada konsumen di zona Ekonomi Eropa untuk melakukan streaming game Activision blizzard bersama lisensi gratis kepada penyedia streaming sehingga gamer Eropa dapat memainkan game itu melalui cloud.
Di sisi lain Microsoft menandatangani perjanjian dengan rival konsol Nintendo dan Sony menjanjikan akses ke game Call of Duty selama 10 tahun. Microsoft membuat perjanjian serupa dengan penyedia cloud game termasuk Boosteroid, Nvidia, Nware dan Ubitus.
Pada Juli, FTC meminta pengadilan distrik federal San Francisco untuk memberikan perintah awal menghentikan Microsoft dan Activision menutup kesepakatan mereka sebelum menerima persetujuan penuh.
Advertisement
Aspek Baru
Namun, setelah lima hari sidang, hakim memihak kedua perusahaan. Badan tersebut membawa kasus ini ke Pengadilan Banding AS yang menolak mosi hentikan sementara penyempurnaan kesepakatan.
Pada Agustus, Microsoft menuturkan, dengan asumsi kesepakatan selesai, penerbit game Ubisoft akan menerima hak streaming cloud untuk game Activision selama 15 tahun.
FTC menuturkan, pihaknya masih memiliki kekhawatiran. “Kami tetap fokus pada proses banding federal meskipun Microsoft dan Activision telah menyelesaikan kesepakatan mereka sebelum sidang banding yang dijadwalkan pada Desember,” ujar Juru Bicara FTC Victoria Graham.
Ia menambahkan, perjanjian baru Microsoft dan Activision dengan Ubisoft menghadirkan aspek baru dalam merger yang akan berdampak pada konsumen Amerika Serikat yang akan dinilai oleh FTC sebagai bagian dari proses administrasi yang sedang berlangsung. “FTC terus meyakini kesepakatan ini merupakan ancaman terhadap persaingan usaha,” kata dia.
Microsoft Minta Bantuan Samsung untuk Kalahkan Dominasi Google dan Apple
Sebelumnya diberitakan, Beberapa eksekutif Microsoft dan Apple telah dipanggil untuk bersaksi dalam persidangan antimonopoli Departemen Kehakiman (DoJ) yang sedang berlangsung terhadap Google. Pemerintah AS menuduh Google menyalahgunakan monopoli pencariannya untuk melemahkan persaingan.
MengutipGadgets Now, Minggu (1/10/2023), wakil presiden Microsoft Jonathan Tinter baru-baru ini mengatakan kepada pengadilan bahwa perusahaan mencoba meminta bantuan dari Samsung dalam perjuangannya melawan Apple dan Google.
Namun sayangnya, perusahaan belum mendapatkan respons positif dari Samsung.
Menurut laporan di Bloomberg, Microsoft mencoba membujuk Samsung Electronics untuk menggunakan mesin pencari Bing sebagai default pada ponsel cerdasnya.
“Bahkan jika secara ekonomi lebih unggul dalam bekerja sama dengan Microsoft, mereka tidak akan meninggalkan Google,” kata Tinter tentang Samsung.
Tinter mengatakan bahwa selama bertahun-tahun dia mendesak para eksekutif Samsung untuk mengizinkan Microsoft mengajukan penawaran untuk pencarian default di ponselnya, dengan mengacu pada contoh Apple.
Microsoft pada dasarnya ingin Samsung menggantikan Google dengan Bing sebagai mesin pencari default di ponselnya.
"Meskipun kami tidak menang, kami membantu Apple mendapatkan lebih banyak uang dan merugikan Google,” kata Tinter. Namun para eksekutif Samsung mengatakan bahwa itu tidak sepadan.
Kemudian pada Desember 2019, dalam email yang ditunjukkan di pengadilan, Tinter mendesak CEO Microsoft Satya Nadella untuk berhenti memaksa presiden Samsung Dong-Jin Koh untuk mengubah default pencarian.
“Saya mendapatkan masukan yang cukup jujur dari tim Samsung bahwa DJ (Dong-Jin Koh) telah dengan jelas mendengar keinginan Anda untuk melakukan sesuatu di sini. Namun, mereka tidak ingin mengambil langkah besar karena kemitraan dengan Google,” ujar Tinter dalam emailnya.
Advertisement