Liputan6.com, Jakarta - Bursa Efek Indonesia (BEI) menyebut kenaikan suku bunga domestik maupun global bakal memberikan dampak terhadap instrumen investasi seperti saham. Ini mengingat, minat investor berpotensi beralih terhadap instrumen lain yang lebih menguntungkan.
Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik menilai kenaikan suku bunga yang terjadi di ranah domestik hingga global ini menjadi angin segar bagi obligasi pemerintah. Sehingga, secara otomatis minat masyarakat terhadap saham akan menurun.
Baca Juga
"Kalau kita melihat suku bunga yang naik terus di domestik maupun di global kemudian mengakibatkan obligasi pemerintah naik itu otomatis minat terhadap instrumen pada saham turun masyarakat memilih investasi di pasar modal lain seperti obligasi," kata Jeffrey saat ditemui di BEI, Kamis (26/10/2023).
Advertisement
Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencermati keputusan BI yang kembali mengerek suku bunga acuan atau BI Rate ke level 6 persen akan memberikan dampak terhadap minat investor untuk melakukan investasi ke pasar modal Indonesia.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi menuturkan, kenaikan suku bunga acuan BI tersebut berdampak terhadap minat investor untuk berinvestasi ke pasar modal Indonesia.
"Tentunya ada sedikit koreksi ya, per 23 Oktober, indeks mengalami koreksi tercatat 6.741 atau koreksi sebesar 1,6 persen year to date (ytd)," kata Inarno dalam Opening Ceremony Capital Market Summit and Expo (CMSE) 2023.
Dengan demikian, ia menyarankan agar para investor memperkuat pemahaman terkait ekonomi global yang dapat berdampak terhadap kinerja perusahaan dan harga saham.
Selain itu, OJK juga terus memantau kondisi perekonomian dan pasar modal Indonesia. Jika diperlukan, otoritas akan mengambil langkah-langkah strategis untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan investor hingga 19 Oktober 2023 telah mencapai 11,83 juta investor atau SID. Angka itu meningkat 4 kali lipat dalam lima tahun terakhir, mayoritas masih didominasi milenial dan generasi Z (Gen Z) di bawah 30 tahun dengan persentase sebesar 57,4 persen. Sedangkan, hingga saat ini penghimpunan pasar melebihi Rp 200 triliun.
Menyibak Prospek Pasar Obligasi di Indonesia
Sebelumnya diberitakan, PT Batavia Prosperindo Aset Manajemen menilai volatilitas di pasar obligasi ke depannya masih tinggi. Ini mengingat, kebijakan suku bunga bank sentral AS dan Bank Indonesia tidak bisa turun dalam waktu yang cepat.
“Kondisi globalnya inflasi tinggi, the Fed turunkan suku bunga enggak cepet amat, walaupun di Indonesia inflasi oke, suku bunga enggak bisa turun terlalu cepat juga. Sehingga pasar obligasi ke depannya volatilitasnya masih tinggi,” kata CEO Batavia Prosperindo Aset Manajemen Lilis Setiadi dalam konferensi pers, Rabu (4/10/2023).
Meski demikian, ia menyebut, BI mampu dan akan berkomitmen untuk melakukan intervensi di pasar, mata uang, pasar obligasi, meski tidak terlalu agresif.
“Kita lihat volatilitas jangka pendek ini masih ada di obligasi, dari sisi supply risk, supply obligasi engga jor-jor an banyak, pemerintah enggak keluarkan terlalu banyak jadi enggak kebanjiran itu bisa menjaga yield karena volatilitas global yang pengaruhinya,” kata dia.
Advertisement
Ada Peluang
Di sisi lain, Lilis juga mencermati masih ada peluang agar investor mendapatkan imbal hasil atau keuntungan dari investasi obligasi. Hal itu akan tercermin dari tren suku bunga yang ada. Jika suku bunga turun maka harga obligasi ini akan bagus.
“Kami lihat ada ruang bagi investor untuk tetap mendapatkan return yang baik cuma mesti pilih tenor yag mana, obligasi itu mudahnya suku bunga turun harga obligasi naik. Ke depannya entah di bulan kapan inflasi di AS turun pasti the Fed turunkan suku bunga, Bi juga, sehingga obligasi harganya akan semarak lagi kalau itu terjadi,” kata dia.
Menurut ia, apabila tren suku bunga turun terjadi, maka obligasi tenor panjang ini bakal menjadi yang paling diuntungkan. Sedangkan, untuk obligasi jangka pendek akan bergerak fluktuatif alias naik turun.
Namun, bagi investor yang ingin melakukan trading obligasi, Lilis menyarankan untuk memilih obligasi tenor menengah 7-12 tahun.
Investasi Obligasi Tenor Pendek, Masih Menarik?
Sebelumnya diberitakan, saat ini, sejumlah orang mulai memahami pentingnya memiliki portofolio investasi. Hal itu dilakukan sebagai salah satu langkah agar kondisi keuangannya tetap sehat.
Meski demikian, para investor tetap saja perlu memperhatikan beberapa hal sebelum menentukan investasi yang akan dipilih. Misalnya, memilih instrumen investasi yang sesuai dengan profil risiko masing-masing.
CEO PT Trimegah Asset Management Antony Dirga menjelaskan untuk investasi perlu disesuaikan dengan profil risiko. Misalnya, bagi investor dengan profil risiko konservatif disarankan untuk memilih obligasi yang memiliki tenor pendek.
"Kalau mau berinvestasi obligasi terutama bagi investor yang konservatif ya sebaiknya memilih obligasi yang tenor pendek,” ujar dia saat ditemui di Jakarta, Selasa (3/10/2023).
Menurut ia, obligasi korporasi memiliki yield (imbal hasil) yang lebih tinggi daripada obligasi pemerintah. Namun, obligasi pemerintah ada juga yang memiliki imbal hasil tinggi maupun rendah.
"Saya lihat investor tinggal pilah pilih saja, kalau memang tertarik untuk yield yang lebih tinggi lebih baik memilih obligasi korporasi tapi lebih baik yang bertenor pendek. Kalau pemerintah pun saya rasa juga banyak mengeluarkan yang risk free jadi tentu saja dengan kebutuhan masing-masing saja,” kata dia.
Dengan demikian, ia lebih memilih obligasi tenor pendek. Hal itu sejalan dengan strategi yang diterapkan oleh Trimegah Asset Management. Sebab, penerbitan obligasi korporasi cenderung memiliki tenor pendek dibandingkan dengan pemerintah.
"Kalau pemerintah ada yang 10 tahun, 15 tahun, kalau obligasi korporasi memang kebanyakan 1,3,5 dan maksimal 7 tahun. Jadi, otomatis reksa dana obligasi kami yang mengelola, jadi kebanyakan tenornya yang pendek. Makanya saya bilang reksa dana obligasi cenderung reksa dana yang berbasis korporasi,” tandasnya.
Advertisement