Liputan6.com, Jakarta - Emiten sektor properti pada 2024 diyakini masih akan tumbuh positif meski terbatas. Ini mengingat, masyarakat masih menantikan hasil dari pemilihan umum (pemilu).
Research Analyst Henan Putihrai Sekuritas Jono Syafei menuturkan, pertumbuhan emiten properti pada tahun depan tidak akan setinggi 2022-2023.
Baca Juga
"Selain itu juga memang masyarakat menantikan pemilu yang dapat mempengaruhi kebijakan pada industri properti juga, sehingga mungkin akan mempengaruhi daya beli," kata Jono saat dihubungi Liputan6.com, ditulis Kamis (14/12/2023).
Advertisement
Ia melanjutkan, katalis positif masih dari insentif pajak terutama untuk rumah di bawah Rp 2 miliar yang melakukan serah terima sampai Juni 2024. Meski demikian, masih ada katalis negatif dari suku bunga yang sudah lebih tinggi dibandingkan tahun lalu.
Dengan demikian, Jono menyarankan saham properti yang sudah terdiskon, dengan produk yang beragam dan area terdiversifikasi, dan memiliki pendapatan berulang yang kuat untuk dapat dipertimbangkan bagi investor. Untuk saham, Jono merekomendasikan beli saham SMRA dengan target fundamental Rp 820 per saham.
Sementara itu, Analis Kiwoom Sekuritas Abdul Azis menilai prospek emiten properti masih memiliki potensi kenaikan. Ini mengingat adanya kebijakan PPN.
Selain itu, estimasi penurunan suku bunga pada tahun depan bisa menjadi katalis positif untuk emiten properti.
"Kami merekomendasikan beli untuk SMRA dengan target Rp 650 per saham," kata Abdul.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual saham. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.
Menakar Prospek Sektor Properti hingga Awal 2024, Cerah atau Lesu?
Sebelumnya diberitakan, sektor properti diramal masih akan lesu pada awal 2024. Ini mengingat suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) masih tinggi di level 6 persen.
Analis NH Korindo Sekuritas Indonesia Axell Ebenhaezer mengatakan, suku bunga BI bakal memberikan pengaruh negatif terhadap sektor properti. Sebab, masyarakat menjadi berhati-hati dalam mengambil kredit untuk membeli properti.
"Alhasil konsumen akan lebih enggan untuk mengajukan pinjaman kredit untuk beli properti,” ujar dia dalam risetnya, ditulis Sabtu (11/11/2023).
Dia melanjutkan, ketidakpastian ekonomi yang dibawa oleh pemilihan umum (pemilu) akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan membuat fasilitator kredit memperketat persyaratan mereka.
Di sisi lain, kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang selama ini terlihat berusaha mendukung belanja masyarakat agar target pertumbuhan 5 persen tercapai. Hal itu dilakukan melalui pemberian insentif untuk sektor properti dan lainnya.
Akan tetapi, hal tersebut mungkin cukup terancam eksistensinya apabila penggantinya tidak sejalan dengan Jokowi.
Selain itu, terdapat faktor lain yang perlu diperhatikan, seperti status ekonomi Amerika Serikat (AS) dan suku bunga the Fed. Meski begitu, saat ini sudah ada tanda-tanda penurunan suku bunga yang akan diturunkan pada tahun depan.
"Saat ini sudah ada tanda-tanda soft landing mulai tercapai, jadi ada kemungkinan suku bunga diturunkan di awal tahun depan, dan mungkin sektor properti bisa mulai bangkit di kuartal II dan III,” kata dia.
Dengan demikian, sektor properti diyakini bisa kembali bangkit pada kuartal II dan III 2024.
Advertisement
Menelisik Tuah Pemilu untuk Sektor Properti
Sebelumnya diberitakan, gelaran pemilihan umum (pemilu) serentak di Indonesia yang berlangsung tahun depan menjadi sentimen untuk beberapa sektor. Bukan rahasia, jika sektor konsumer menjadi yang paling panen dari pemilu.
Sektor lain yang juga bakal terimbas sentimen pemilu adalah properti. Investment Analyst Ashmore Asset Management Indonesia, Della Agatha Linggar menjelaskan, sektor ini mulai resilien didukung permintaan dari konsumen end user. Yakni konsumen yang membeli properti atau hunian untuk ditempati sendiri.
"Kalau Pemilu orang-orang kan lebih hati-hati untuk investasi. Tapi karena market properti kita sendiri sekarang sudah 60 persen end-user, mereka sendiri yang akan pakai rumah, menurut saya itu masih akan lebih sustain karena mereka sudah tahu bahwa ini sebuah kebutuhan," kata Della dalam Money Buzz, Selasa (27/6/2023).
Sementara untuk konsumen yang memiliki orientasi untuk investasi, kemungkinan besar memilih wait and see siapa yang akan menjadi pemimpin selanjutnya dan kebijakan apa yang akan diusung.
Sentimen Suku Bunga
Di sisi lain, suku bunga saat ini sudah relatif rendah, sehingga menjadi daya tarik untuk mempertimbangkan KPR. Secara garis besar, Della menilai sektor properti masih menarik pada sisa paruh kedua tahun ini. Sehingga menurut dia,developer perlu memasang siasat untuk menjaring konsumen dari kalangan end user dan home upgrader.
"Jadi bagaimana developer bisa mengcounter atau menyediakan demand sesuai dengan affordability first home buyer dan home upgrader. Sehingga kemungkinan seasonability ini masih akan berlanjut di semester II 2023," imbuh dia.
Sentimen Suku Bunga
Dari sisi sentimen suku bunga, Della mencatat suku bunga bank sentral saat ini secara historikal sudah berada pada posisi terendah. Sehingga mestinya dapat menjadi pertimbangan bagi yang ingin memiliki hunian dengan sistem cicil atau KPR. Rendahnya suku bunga juga menjadi berkah bagi perusahaan untuk melakukan deleveraging.
Di mana saat leverage tinggi namun suku bunga rendah, maka earning perusahaan bisa lebih baik. Sebab, usai property boom tahun 2012-2015, banyak perusahaan dan developer mencari pendanaan untuk melakukan akuisisi lahan baru atau land banking.
Advertisement