Liputan6.com, Jakarta - Peluang pertumbuhan saham emiten rokok dinilai masih akan terbatas ke depan. Ini mengingat adanya komitmen Pemerintah untuk menaikkan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dengan rerata 10% untuk mengendalikan konsumsi rokok secara berkelanjutan.
Head Customer Literation and Education Kiwoom Sekuritas Oktavianus Audi melihat ruang pertumbuhan saham emiten rokok masih akan terbatas. Hal ini sejalan dengan komitmen Pemerintah untuk menaikkan CHT rerata 10% dalam rangka mengendalikan konsumsi rokok secara berkelanjutan.
Baca Juga
"Kenaikan ini terlihat akan menjadi penekan kembali daya beli rokok pada 2024, karena jika ditotal sejak 2012 tarif cukai telah mengalami kenaikan sebesar 117,69% sampai dengan 2023, per GoodStats," kata Audi kepada Liputan6.com, Minggu (24/12/2023).
Advertisement
Ia melanjutkan, pihaknya melihat kinerja emiten rokok akan tumbuh meski terjadi kenaikan CHT 10% oleh Pemerintah. Dengan demikian, ia memproyeksikan kenaikan laba bersih per saham pada 2024 untuk HMSP ditargetkan naik 21% secara tahunan (year on year/YoY) menjadi Rp 79,48 per lembar dan GGRM ditargetkan naik 7,66% YoY menjadi Rp 3.211 per lembar saham.
Di samping itu, ia menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan stabil di atas 5% masih akan menjadi modal penopang daya beli yang kuat. Namun, ia juga melihat kenaikan CHT mendorong kenaikan harga rokok.
Misalnya, sampai dengan periode sembilan bulan pertama 2023 menunjukkan konsumsi rokok di Indonesia turun 3,9% YoY menjadi 77,9 miliar batang. Alhasil, hal tersebut berpotensi memperlambat pertumbuhan pendapatan emiten rokok.
"Kami saat ini melihat menariknya emiten rokok hanya karena adanya dorongan dividen yang dibagikan, seperti terakhir GGRM yang memberikan dividen dengan yield 5,27% dan HMSP sebesar 5,5 yield dividen," kata dia.
Dibayangi Daya Beli Masyarakat
Meski demikian, komitmen Pemerintah dengan menaikkan CHT ini dikhawatirkan akan menggerus daya beli rokok serta memperlambat laju pendapatannya.
Sementara itu, Pengamat Pasar Modal Lanjar Nafi mengatakan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menetapkan kenaikan tarif CHT sebesar 10% untuk rokok tradisional dan 15% untuk rokok elektrik pada 2024.
Kenaikan ini diperkirakan berdampak pada kenaikan harga rokok eceran mulai 1 Januari 2024. Dengan begitu, ia memperkirakan tantangannya terbilang lumayan untuk menjaga kinerja bisnis emiten rokok dalam hal menghasilkan keuntungan atau profit.
"Pertumbuhan kinerja emiten rokok juga masih terkait erat dengan daya beli masyarakat, yang hingga saat ini masih relatif stabil atau memiliki permintaan yang kuat namun mungkin sedikit melemah apabila kenaikan harga rokok terjadi yang disebabkan kenaikan tarif CHT," kata Lanjar.
Akan tetapi, ia melihat masih ada beberapa peluang untuk emiten rokok ini. Misalnya, peningkatan konsumsi rokok menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2024. Peningkatan aktivitas kampanye dan perhatian masyarakat pada periode pemilihan umum dapat menjadi peluang untuk peningkatan penjualan rokok.
Advertisement
Momen Pemilu
Kemudian, kategori produk seperti sigaret kretek tangan (SKT) dan rokok elektrik masih menunjukkan pertumbuhan positif. Perusahaan rokok yang memiliki produk dalam kategori ini dapat memanfaatkan pertumbuhan ini untuk meningkatkan pangsa pasar.
"Momentum pemilihan umum dapat dijadikan peluang untuk meningkatkan strategi pemasaran dan distribusi produk rokok. Perusahaan dapat mengambil keuntungan dari perhatian masyarakat yang lebih besar selama periode pemilu," ujar dia.
Ia menegaskan, dengan adanya peningkatan pengawasan terhadap rokok ilegal, perusahaan legal dapat melihat ini sebagai peluang untuk meningkatkan pangsa pasar mereka dengan menekan peredaran rokok ilegal.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual saham. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.
Kinerja IHSG pada 18-22 Desember 2023
Sebelumnya diberitakan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melanjutkan penguatan selama sepekan tepatnya pada 18-22 Desember 2023. Analis menilai, IHSG dipengaruhi sentimen eksternal dan internal selama sepekan.
Mengutip data Bursa Efek Indonesia (BEI) ditulis Sabtu (23/12/2023), IHSG naik 0,65 persen menjadi 7.235,51 pada 18-22 Desember 2023. Pekan lalu, IHSG menguat 0,44 persen ke posisi 7.190,98.
Kenaikan IHSG juga diikuti oleh kapitalisasi pasar bursa. Kapitalisasi pasar bursa tercatat menguat 0,97 persen menjadi Rp 11.650 triliun dari pekan lalu Rp 11.540 triliun.
Rata-rata frekuensi transaksi harian saham selama sepekan merosot 13,60 persen menjadi 1.094.283 kali transaksi dari 1.266.561 kali transaksi pada pekan lalu. Demikian juga rata-rata nilai transaksi harian saham yang lesu selama sepekan. Rata-rata nilai transaksi harian saham terpangkas 15,76 persen menjadi Rp 12,63 triliun dari Rp 14,99 triliun pada pekan lalu.
Rata-rata volume transaksi harian saham merosot 15,90 persen selama sepekan menjadi 25,19 miliar saham dari 29,96 miliar saham pada pekan lalu.
Investor asing mencatatkan aksi beli saham senilai Rp 1,44 triliun selama sepekan. Sepanjang 2023, investor asing membukukan nilai jual bersih sebesar Rp 9,06 triliun.
Advertisement
Kata Analis
Pengamat pasar modal Desmond Wira menuturkan, penguatan IHSG dipengaruhi kenaikan pasar saham global dan Bank Indonesia (BI) pertahankan bunga acuan 6 persen.
Sementara itu, Senior Investment Information Mirae Asset Nafan Aji Gusta menuturkan, IHSG melesat didorong katalis positif dan eksternal. Dari eksternal, IHSG mendapatkan tenaga dari sentimen positif potensi penerapan soft landing policy oleh bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed).
“Dari dalam negeri, apresiasi dari pelaku pasar terkait dengan kebijakan Bank Indonesia dalam meneruskan komitmen menjaga tingkat kestabilan moneter dan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia,” ujar Nafan saat dihubungi Liputan6.com.
Nafan menambahkan, pelaku pasar merespons positif langkah BI mempertahankan suku bunga acuan 6 persen sambil mengamati kebijakan the Fed terutama penerapan soft landing. “BI terapkan kebijakan preventif dan forward looking. Soft landing akan diterapkan Bank Indonesia ke depan,” kata dia.
Untuk pekan depan, Nafan prediksi, pasar saham akan sepi karena ada libur Natal. Sentimen the Fed juga akan relatif mereda.