Sukses

Harga Nikel Merosot, Bagaimana Prospek Saham Nikel?

Analis mengungkapkan sejumlah faktor yang pengaruhi harga nikel.Di sisi lain, sektor kendaraan listrik dinilai masih ada prospek.

Liputan6.com, Jakarta - Harga nikel merosot pada awal 2024. Harga nikel berjangka di London Metal Exchange (LME) pada Senin, 22 Januari 2024 ditutup turun 0,18 persen menjadi USD 16.007 per ton.

Anjloknya harga nikel diklaim turut dipengaruhi oleh lithium ferro phosphate (LFP) sebagai alternatif bahan baku baterai kendaraan listrik. LFP saat ini tengah hangat diperbincangkan sebagai komponen yang lebih murah dan mudah dibanding nikel.

Head of Research Team & Strategist Mirae Asset Sekuritas, Robertus Hardy mengatakan, selain ditemukannya LFP sebagai alternatif bahan baku baterai kendaraan listrik, nikel saat ini juga kelebihan persediaan atau oversupply. Sehingga untuk beberapa waktu ke depan situasi ini masih menekan harga nikel.

"Oversupply nikel masih akan terjadi tahun ini. Kecenderungannya, kalau komoditas terjadi oversupply tentu harganya masih tertekan. Jadi menurut kita harga nikel tidak akan kembali ke level tertinggi seperti di 2022," kata Robertus dalam Mirae Asset Media Day, Rabu (24/1/2024).

Di sisi lain, Robertus mengatakan adopsi kendaraan listrik belum secepat yang direncanakan. Utamanya untuk negara dengan populasi besar seperti Indonesia, dinilai relatif lambat dalam perkembangan ekosistem kendaraan listrik. Ke depan, Robertus menilai masih ada potensi pertumbuhan sektor ini seiring dengan sumber daya dan potensi ekspor yang tinggi dan hasilkan devisa.

Namun, di sisi lain, jika sumber daya yang ada ini tidak dikelola dengan baik maka menimbulkan kelebihan persediaan. Sebagai gambaran, untuk sektor CPO ada Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) yang mengatur persediaan CPO beredar.

Sementara untuk nikel belum ada organisasi serupa. Sehingga harga, persediaan, dan permintaan sepenuhnya ditentukan oleh mekanisme pasar.

 

 

2 dari 4 halaman

Sentimen yang Pengaruhi Pergerakan Harga

"Di nikel enggak ada (yang seperti OPEC), sehingga ditentukan mekanisme pasar dan ambisi beberapa negara seperti Indonesia untuk bisa terus meningkatkan produksi nikel, ini berdampak cenderung negatif. Jadi outlook kita masih netral termasuk di ANTM sama INCO," ujar Robertus.

Robertus mengatakan, saham PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (ANTM) dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO) memiliki dividend yield yang menarik. Selain itu, yang perlu dicermati seperti aksi korporasi yang terhambat seperti divestasi oleh INCO dan skandal  rekayasa jual beli emas yang menimpa ANTM, dan sentimen suku bunga.

"Perusahaan komoditas kalau harga komoditas turun, produksinya naik. sehingga skala ekonominya masih terjaga...Asumsi suku bunga The Fed maupun Bank Indonesia (BI) belum bisa turun lebih cepat di semester I, profitabilitas (perusahaan) masih squeeze," ujar Robertus.

 

3 dari 4 halaman

Harga Nikel Kian Merosot, Ini Biang Keroknya

Sebelumnya diberitakan, harga nikel kian mengalami kemerosotan pada awal 2024 ini. Harga nikel berjangka di London Metal Exchange (LME) pada Senin (22/1/2024) ditutup turun 0,18 persen menjadi USD 16.007 per ton.

Anjloknya harga nikel diklaim turut dipengaruhi oleh lithium ferrophosphate (LFP) sebagai alternatif bahan baku kendaraan listrik. LFP sendiri saat ini tengah hangat diperbincangkan sebagai komponen yang lebih murah dan mudah dibanding nikel.

"Iya, (harga nikel terdampak LFP) selama ada pembanding. Jadi kalau hanya satu komoditi begitu permintaan tinggi, maka supply rendah, harga naik," ujar Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto saat ditemui di Pullman Jakarta Indonesia Thamrin CBD, Selasa (23/1/2024).

"Begitu ada pesaing, maka orang akan melihat pesaingnya, sehingga demand berkurang. Ketika demand berkurang maka harga turun. Itu mengenai supply demand aja," kata Djoko

Harga Nikel Turun

Menurut dia, harga nikel turun mengikuti hukum alam ketika ada komoditas pesaingnya yang lebih murah dan terbukti sudah bisa dipakai, dalam hal ini LFP.

"Kalau kita hanya ada satu alternatif, maka nanti kalau tiba-tiba enggak ada nikelnya, maka nanti ya harga semakin tinggi, terus susah. Nanti keberlanjutan baterai gimana?" ungkapnya.

Oleh karenanya, Djoko tak tutup mata jika teknologi ke depan akan terus berkembang. Para pelaku industri kendaraan listrik pun akan terus mencari teknologi yang bisa menjadi alternatif, dan tentunya lebih hemat biaya. "Karena research and development terus berkembang. Begitu ada yang lebih murah teknologinya, juga lebih maju, terus berkembang teknologi itu. Jadi ini ada alternatif saingan dari nikel," tuturnya.

 

4 dari 4 halaman

Nikel Diklaim Lebih Efektif Jadi Bahan Baterai Kendaraan Listrik daripada LFP

Sebelumnya diberitakan, perdebatan soal lithium ferrophosphate (LFP) dan nikel sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik tengah menghangat. Masing-masing diklaim punya kelebihan, dimana LFP secara biaya lebih murah. Sedangkan nikel dinilai lebih punya daya tahan tinggi.

Untuk beberapa aspek, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves, Jodi Mahardi menganggap baterai mobil listrik berbasis nikel masih lebih efisien ketimbang LFP.

Khususnya pada tingkat kepadatan energi, dimana baterai listrik dengan komponen nikel punya daya lebih besar namun secara ukuran lebih kecil dari LFP.

"Yang saya tahu lithium phosphate itu energy density-nya tetap engga bisa iniin (unggulin) nickel based lah. Dan itu baterainya nanti akan membutuhkan baterai ukuran besar. Jadi enggak seefisien yang nickel based," ujarnya di Pullman Jakarta Indonesia Thamrin CBD, Selasa (23/1/2024).

Sudah Digunakan di China

Menurut dia, EV battery berbahan dasar nikel masih banyak dikembangkan di dunia. Meskipun pabrikan mobil listrik China saat ini menggunakan LFP, termasuk Tesla dengan Tesla mobil listrik Model 3 yang diproduksi di pabrik Shanghai.

"Tesla itu kan menggunakan nickel based juga, yang di Amerika. Yang di China mungkin menggunakan LFP, itu kan mungkin di city (penggunaan dalam kota) aja yang distance-nya enggak jauh," ungkapnya.

Saat ditanya apakah Indonesia akan ikut-ikutan mengembangkan industri LFP, Jodi lebih memilih untuk membesarkan nikel yang sudah jadi kekayaan alam Nusantara.

"Kita sih pinginnya mengembangkan yang nickel based, karena kita yang punya nikelnya," pungkas Jodi.

Â