Liputan6.com, Jakarta - DBS Macroeconomic Research Team menilai Indonesia hadapi risiko pasokan obligasi lebih rendah pada 2024.
DBS menyebutkan Indonesia hadapi risiko pasokan obligasi lebih rendah pada 2024 didorong sejumlah hal. Pertama, realisasi anggaran lebih rendah telah menghasilkan penurunan dalam penggunaan pembiayaan tunai yang memungkinkan pemerintah untuk mengurangi pinjaman seperti yang terjadi dalam akhir dua tahun terakhir.
"Dengan demikian, total pembiayaan fiskal turun 40 persen secara tahunan pada 2023 menjadi Rp 360 triliun dibandingkan dengan 2022,” demikian dari laporan DBS Macroeconomics Research Team seperti dikutip dari keterangan resmi, ditulis Minggu (11/2/2024).
Advertisement
Kedua, alokasi pembiayaan tunai (SAL) dipatok sebesar Rp 51 triliun pada 2024 meski DBS Macroeconomics Team menduga kas temporer tambahan kemungkinan akan naik setidaknya dua kali lipat pada akhir tahun.
Kemudian, pembiayaan bruto dipatok pada Rp 1.266 triliun dan neto Rp 666 triliun, dengan keduanya kemungkinan akan lebih rendah berdasarkan atas revisi perkiraan defisit DBS Macroeconomic Research Team yakni -1,8 persen dari produk domestik bruto (PDB) 2024.
“Terakhir, pasar juga memperkirakan pembiayaan nonutang dan program pinjaman lebih tinggi, yang akan membantu mengurangi total penerbitan obligasi,” tulis DBS.
DBS Macroeconomic Research memandang rencana pemerintah untuk menghimpun dana sebanyak Rp 240 triliun pada kuartal I 2024 atau Rp 36 triliun per minggu, lebih tinggi dari kuartal IV 2023, sebagai langkah untuk melakukan pinjaman dini.
Pada pertengahan Januari 2024, pemerintah telah menerbitkan 7% dari target pembiayaan obligasi 2024. Indonesia juga telah menghimpun USD 2,05 miliar bulan ini melalui penerbitan obligasi dolar (5 tahun, 10 tahun dan 30 tahun) dalam tiga tahap pada awal tahun.
Menurunkan Gejolak Obligasi Rupiah
Obligasi tersebut diterbitkan menyusul penghimpunan dana sebesar USD 2 miliar melalui sukuk dolar AS/obligasi syariah pada November. Obligasi dalam mata uang asing ini juga membantu mendukung posisi neraca pembayaran, terlepas dari saldo kas rupiah, yang cukup besar.
Pengeluaran diperkirakan tidak akan mencapai target, terutama dengan pemilu mendominasi narasi tahun ini, yang juga akan menurunkan total kebutuhan pembiayaan.
"Secara keseluruhan, dinamika ini akan menurunkan gejolak pasar obligasi rupiah, tepat pada saat pelaku pasar masih fokus pada pemilihan waktu dan skala penurunan suku bunga AS tahun ini,” tulis DBS.
Ekonom Bank DBS tetap memiliki pandangan positif terhadap ruang pendapatan tetap rupiah, dan memperkirakan penurunan suku bunga jangka pendek dan jangka panjang pada akhir 2024.
Advertisement
Menyibak Prospek Obligasi RI di Tengah Pemilu
Sebelumnya diberitakan, prospek obligasi Indonesia disebut masih menarik di tengah sentimen pemilihan umum (pemilu) dan suku bunga The Fed. Head of Retail Marketing Syailendra Capital, Embun Victoria menjelaskan, prospek cerah obligasi tahun ini didasarkan pada gelaran pemilu sebelumnya yang secara historis justru membawa pasar lebih bergairah.
"Jadi menurut data yang ada, secara historis, lima pemilu terakhir itu pada h-9 bulan hingga h+6 bulan pemilu itu justru IHSG terbang," kata dia dalam Indonesia Investment Education: Arah Market 2024 bersama Syailendra Capital, Sabtu (3/2/2024).
Berdasarkan estimasi UBS, Embun menjelaskan terdapat potensi perputaran dana sekitar Rp 170 triliun dihitung dari lima macam pemilu yang akan dilangsungkan. Hal ini akan berpengaruh kepada pertumbuhan angka konsumsi di Indonesia yang biasanya memang mengalami peningkatan pada dua kuartal sebelum pemilu berlangsung.
Dari sisi aliran dana asing, selama kuartal III 2023 investor asing melakukan aksi jual bersih sekitar Rp 50 triliun, namun di kuartal IV 2023 asing kembali melakukan aksi beli bersih sekitar Rp 30 triliun di tengah menariknya real yield pada INDOGB.
Aliran Dana Asing
"Beberapa negara mengalami kenaikan yield belakangan ini, namun angka inflasinya juga naik. Sehingga memberikan real yield yang tidak besar jika dibandingkan dengan Indonesia," jelas Embun.
Kepemilikan asing atas INDOGB per Oktober 2023 tercatat sebesar RP 836 triliun. Sedangkan real yield dari 10Y govt saat ini sebesar 3,8 persen. Real yield itu lebih tinggi dibandingkan beberapa negara lain seperti Thailand dengan real yield bond 3,2 persen, Malaysia 2 persen, Indoa 1,8 persen, dan US 1,1 persen.
"Ketika kondisi trade balance dan Rupiah kuat, yield Indonesia tidak banyak terpengaruh kenaikan USD. Namun, di kuartal III 2023 mulai ada pelemahan trade balance yang diikuti oleh pelemahan Rupiah. Hal ini membuat yield obligasi pemerintah mengalami kenaikan pada kuartal III," tutur Embun.
Lebih lanjut, tingginya suku bunga saat ini memberikan peluang bagi investor untuk memanfaatkan tingginya kupon yang ditawarkan oleh obligasi korporasi. Kupon obligasi saat ini di kisaran 6,75 persen untuk AAA dan 10,50 persen untuk BBB.
Advertisement