Liputan6.com, Jakarta Bursa Efek Indonesia (BEI) optimis jasa pengguna bursa karbon akan bertambah, seiring inisiatif nol emisi atau net zero emission. Hingga akhir tahun, Bursa menargetkan total pengguna jasa bursa karbon mencapai 96 entitas.
Direktur Pengembangan BEI, Jeffrey Hendrik mengungkapkan, terdapat 46 pengguna jasa bursa karbon pada akhir 2023. Angka itu telah naik dari 15 pengguna pada saat diluncurkan pada September 2023 lalu.
Baca Juga
"Target tahun ini kita akan menambah 50 dari akhir tahun lalu 46. Jadi kita harapkan akhir tahun 2024 ini kita paling tidak punya 96 pengguna jasa," kata Jeffrey kepada wartawan di Gedung Bursa, Senin (19/2/2024).
Advertisement
Sehubungan dengan target penambahan itu, Bursa akan terus melakukan kegiatan diskusi dan sosialisasi kepada ekosistem Bursa. Adapun ekosistem yang menurut Bursa paling dekat adalah para emiten atau perusahaan tercatat. i
"tu yang akan kami ajak diskusi untuk berpartisipasi memanfaatkan keberadaan bursa karbon ini untuk mendukung strategi mereka ke arah net zero. Kami harapkan setiap perusahaan tercatat atau emiten juga mulai menyusun roadmap net zero," kata Jeffrey.
Dia menambahkan, investor khususnya investor asing saat ini tidak hanya memperhatikan faktor performa finansial dalam keputusan investasi mereka. Tetapi faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan (Environmental, Social, and Governance/ESG), itu juga menjadi perhatian yang sangat penting dari para investor.
"Oleh karena itu mulai saat ini kami menyampaikan kepada para perusahaan tercatat atau emiten bahwa investor sudah memperhatikan faktor-faktor itu. Saya yakin banyak emiten kita juga sudah punya roadmap ke arah situ dan bisa memanfaatkan keberadaan bursa karbon untuk mencapainya," tutup Jeffrey.
Strategi Investasi Hadapi Siklus Ekonomi yang Dinamis
Sebelumnya, Syailendra Capital menilai investor dapat mengkombinasikan strategi investasi rutin (DCA/dollar cost averaging) dan lump-sum sesuai pasar. Kombinasi strategi investasi ini untuk hadapi siklus ekonomi yang kerap berganti dalam 10 tahun terakhir.
Siklus ekonomi yang dinamis tersebut berdampak terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan berpengaruh ke reksa dana saham.
Dalam Syailendra Market Insight 16 Februari 2024, dikutip Senin (19/2/2024), dalam 10 tahun terakhir, musim ekonomi berganti-ganti dengan signifikan. Dari 2013 dan 2019, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan yang moderat dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) rata-rata 5 persen.
Sepanjang periode itu banyak event-event global yang sangat mempengaruhi pasar saham seperti krisis ekonomi Eropa 2005, perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang dimulai 2018 lalu diikuti dengan krisis ekonomi global akibat COVID-19 pada 2020.
Kemudian pemulihan mulai terjadi sejak 2021 hingga sekarang. Dalam laporan itu disebutkan pasar saham mengalami pergerakan yang sangat volatile dalam 10 tahun terakhir. Hal ini membuat kinerja reksa dana saham secara jangka panjang menjadi kurang baik.
“Namun, jika investor dapat mengkombinasikan strategi investasi secara rutin dan lump-sump sesuai dengan kondisi pasar diharapkan kinerja investasi akan menjadi lebih baik,” demikian disebutkan dalam laporan Syailendra Capital.
Syailendra menilai sangat penting bagi investor untuk memiliki prospek pasar ke depan sebelum menentukan strategi investasi apa yang ingin diterapkan.
Syailendra menambahkan, strategi investasi secara dollar cost averaging memang cukup ampuh dalam memitigasi risiko volatilitas pasar ke depan.
“Sementara itu, strategi investasi secara lump-sum juga penting untuk dilakukan khususnya ketika investor memiliki pandangan pasar akan bullish ke depannya,” demikian dikutip dari Syailendra.
Advertisement
Tiga Skenario
Periode
During Berish Market (Maret 2019-Maret 2020)
Pada musim ekonomi resesi, pasar saham mengalami penurunan yang signifikan seiring dengan ekspektasi penurunan laba perusahaan. Jika investor melakukan investasi secara lump-sump pada reksa dana saham, penurunannya akan lebih banyak dibandingkan dengan investor yang menerapkan strategi dollar cost averaging.
U Shape Recovery (Maret 2019-Maret 2020)
Pada musim ekonomi yang mengalami transisi dari perlambatan, resesi, lalu menuju recovery, risiko investasi pada reksa dana saham menjadi lebih tinggi.
Jika investor melakukan investasi secara lump sump pada reksa dana saham, returnnya akan lebih sedikit dibandingkan dengan investor yang menerapkan strategi dollar cost averaging.
Bullish Period (Maret 2020-Maret 2021)
Pada masa perbaikan ekonomi yang signifikan, investor yang berinvestasi secara lum-sum lebih diuntungkan dibandingkan investasi secara berkala (DCA).
Bullish period terjadi pada Maret 2020-Maret 2021 di mana angka pertumbuhan ekonomi sempat mengalami level terendah pada level -5,32 persen pada kuartal II 2020 dan mengalami pemulihan secara signifikan setahun setelahnya dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi yang mencapai level 7,07 persen pada kuartal II 2021.
Syailendra menyebutkan, jika dilihat dari tiga macam skenario pergerakan pasar saham yakni pergerakan bullish, bearish dan u shape recovery, ternyata strategi investasi secara dollar cost averaging memiliki keunggulan dibandingkan strategi investasi secara lump-sump, karena memberikan kinerja yang lebih baik pada dua skenario yakni bearish dan u shape.
“Sedangkan strategi lump-sump hanya unggul jika pasar saham mengalami pergerakan yang bullish saja. Sehingga penting bagi investor untuk menerapkan strategi investasi kombinasi lump-sump dan dollar cost averaging,”