Liputan6.com, Jakarta - Posisi short di bursa saham China menyusut sepertiga pada Februari ke level terendah dibandingkan lebih dari tiga tahun terakhir. Hal ini mencerminkan langkah-langkah yang diambil oleh para regulator untuk mengekang spekulasi dan meningkatkan kepercayaan investor.
Seperti dikutip dari CNBC, Rabu (6/3/2024), indeks saham blue chip China,yakni indeks CSI 300 melonjak hampir 14% dari posisi terendah dalam lima tahun yang dicapai bulan lalu karena tekanan jual mereda di tengah upaya stabilisasi pemerintah, meskipun pertumbuhan ekonomi masih rentan.
Baca Juga
Menurut data China Securities Finance Corp, sebuah perusahaan negara yang menyediakan layanan pembiayaan margin di pasar, saldo saham yang dipinjam investor untuk menjual posisi short merosot menjadi 43,5 miliar yuan (USD 6,04 miliar atau sekitar Rp 95,12 triliun, asumsi kurs dolar Amerika Serikat pada rupiah di kisaran 15.748) pada akhir Februari, dua pertiga dari level pada akhir Januari dan terendah sejak Juli 2020.
Advertisement
Namun, data tersebut tidak menangkap posisi short lainnya melalui derivatif atau saham berjangka.
Sebagai salah satu langkah untuk menghidupkan kembali pasar, otoritas sekuritas China bulan lalu melarang pialang untuk meminjamkan saham kepada para penjual short. Selain itu, para investor dilarang melakukan short selling saham yang dibeli pada hari yang sama.
Komisi Regulasi Sekuritas China (CSRC) mengatakan kebijakan-kebijakannya ditujukan untuk menciptakan lapangan permainan yang adil di pasar di mana investor ritel merupakan bagian terbesar dari perdagangan.
Pialang-pialang seperti CITIC Securities, GF Securities, dan China Securities telah mengikuti saran regulator dan mengatakan bahwa mereka akan membatasi aktivitas short-selling.
Reaksi Pelaku Pasar China
Manajer umum Zhejiang DeepWin Asset Management Co, Wei Mingsan, mengatakan pembatasan tersebut membuat para manajer investasi tidak dapat melakukan 'T+0' yaitu strategi perdagangan intraday.
Para pengelola dana telah mengecam langkah tersebut.
Manajer hedge fund atau dana lindung nilai di Water Wisdom Asset Management, Yuan Yuwei, mengatakan bahwa pembatasan ini semakin menyulitkan untuk memperdagangkan apa yang disebut strategi ekuitas long-short, di mana reksadana berusaha membeli saham yang berkinerja baik dan menjual saham-saham yang berkinerja buruk.
"Baik posisi beli maupun jual bagus untuk investasi nilai. Tanpa short-selling, pasar bisa rentan terhadap volatilitas yang lebih besar," kata Yuan, dengan alasan regulator harus mengejar para manipulator pasar, bukan short seller.
Perdebatan ini menunjukkan bahwa pejabat China berjalan di antara efisiensi dan keadilan karena mereka memperketat pengawasan terhadap short-selling, perdagangan dengan leverage, dan perdagangan dengan frekuensi tinggi.
"Kewaspadaan terhadap peraturan ini masuk akal dalam konteks menjaga kestabilan pasar," kata wakil ketua AIMA cabang Asia-Pasifik, Kher Sheng Lee. AIMA adalah sebuah kelompok lobi yang mewakili para manajer investasi di lebih dari 60 negara.
"Namun, sangat penting untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara regulasi dan pasar bebas."
Adapun short selling merupakan aksi menjual sekuritas yang tidak dimiliki penjualnya. Posisi short selling itu berdurasi pendek antara siklus beli dan jual yang cepat dibandingkan margin yang berdurasi panjang, demikian dikutip dari berbagai sumber.
Advertisement
Bursa Saham China Catat Kinerja Buruk Sejak 2016
Sebelumnya diberitakan, bursa saham China alami masa sulit pada 2023 dan koreksi yang terjadi berlanjut dalam beberapa minggu pertama 2024. Hal ini setelah China memupuskan harapan akan berbuat lebih banyak mendukung ekonomi yang sedang sulit.
Dikutip dari CNN, Selasa (23/1/2024), indeks Hang Seng di Hong Kong turun 2,3 persen pada perdagangan Senin, 22 Januari 2024 hingga ditutup ke level terendah sejak Oktober 2022. Indeks Hang Seng tersebut merosot lebih dari 12 sepanjang Januari, hampir sama dengan penurunan pada 2023.
Indeks Shanghai anjlok 2,7 persen, penurunan harian terbesar sejak April 2022. Indeks Shenzhen yang merupakan tolok ukur teknologi alami kinerja terburuk dalam hampir dua tahun dengan terbenam 3,5 persen.
Indeks telah merosot masing-masing 4,8 persen dan 7,7 persen pada hari perdagangan pertama 2024. Ini adalah awal tahun terburuk bagi saham China sejak 2016, ketika investor melepaskan kepemilikannya menyusul jatuhnya pasar pada 2015.
Gelembung muncul ketika perekonomian menunjukkan tanda-tanda ketegangan dan harga saham jauh melampaui keuntungan.
Dalam beberapa bulan terakhir, krisis real estate, pertumbuhan paling lambat di luar pandemi COVID-19 dalam beberapa dekade, dan tindakan keras terhadap beberapa bisnis telah melemahkan kepercayaan investor.
Chief Asian Foreign Exchange Strategist Mizuho Bank, Ken Cheung menuturkan, investor asing terus mengurangi eksposur risikonya ke China dan memiliki ekspektasi bearish terhadap kondisi bisnis di negara tersebut.
“Pemerintah China belum menerapkan langkah-langkah efektif untuk menyelesaikan gejolak properti dan mendorong pemulihan ekonomi,” tulis Ken Cheung.
Investor kecewa pada Senin, 22 Januari 2024 setelah bank sentral China memutuskan mempertahankan suku bunga pinjaman. Pemangkasan suku bunga akan menurunkan biaya pinjaman bagi masyarakat dan dunia usaha yang mengambil pinjaman atau membayar bunga. Oleh karena itu membantu merangsang kegiatan ekonomi.
Berlawanan dengan Bursa Saham Global
Koreksi pasar yang besar pada 2024 terjadi setelah kinerja buruk tahun lalu, saat indeks CSI 300 yang terdiri dari 300 saham utama yang terdaftar di Shanghai dan Shenzhen turun lebih dari 11 persen.
Sebaliknya indeks acuan S&P 500 di Amerika Serikat melonjak 24 persen pada 2023. Sedangkan indeks di Eropa tumbuh hampir 13 persen. Indeks Nikkei 225 Jepang melesat 28 persen tahun lalu dan masih menguat. Pada Januari 2024, indeks Nikkei mencatat kenaikan hampir 10 persen sepanjang Januari 2024.
Data demografi yang dirilis Rabu pekan lalu mengonfirmasi populasi China semakin tua dan menyusut tidak membantu meredakan kekhawatiran investor.
Mereka juga gelisah karena pidato yang disampaikan oleh Perdana Menteri China Li Qiang pekan lalu di Forum Ekonomi Dunia tidak menyebutkan langkah-langkah stimulus baru pemerintah untuk membantu memulihkan ekonomi negara yang sedang lesu.
Analis ANZ Research, Brian Martin & Daniel Hynes menyebutkan dalam risetnya pada Jumat, 19 Januari 2024 kalau pidato Li telah “memupuskan” harapan akan langkah-langkah dukungan lebih lanjut.
“(Dia) mengumandangkan kemampuan negara-negara untuk mencapai target pertumbuhan 5 persen tanpa membanjiri ekonomi dengan stimulus besar-besaran,” tulis analis tersebut.
Advertisement