Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah emiten produsen minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) mencatat penurunan pendapatan dan laba pada 2023 seiring harga CPO yang menurun.
Mengutip laporan keuangan keuangan yang disampaikan ke Bursa Efek Indonesia (BEI), ditulis Senin (11/3/2024), PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) meraih pendapatan Rp 20,75 triliun pada 2023, turun 4,96 persen dari Rp 21,83 triliun. Laba bersih AALI juga terpangkas 38,85 persen menjadi Rp 1,06 triliun dari periode sama tahun sebelumnya Rp 1,73 triliun.
Baca Juga
Penurunan pendapatan dan laba ini juga dialami PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT). Pendapatan Austindo Nusantara Jaya turun 12,1 persen menjadi USD 236,5 juta pada 2023 dari periode 2022 sebesar USD 269 juta. Demikian juga laba bersih anjlok 87,9 persen menjadi USD 2,62 juta pada 2023 dari periode sama tahun sebelumnya USD 21,72 juta.
Advertisement
Begitu pula kinerja keuangan PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) pada 2023. Perseroan mencatatkan pendapatan Rp 16 triliun pada 2023, terpangkas 10,06 persen dari periode 2022 sebesar Rp 17,79 triliun. Sementara itu, laba bersih Salim Ivomas Pratama merosot 38 persen dari Rp 1,19 triliun pada 2022 menjadi Rp 736,41 miliar.
Sementara itu, PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) cetak pendapatan Rp 4,19 triliun pada 2023, turun 9 persen dari periode sama tahun sebelumnya Rp 4,58 triliun. Demikian juga laba bersih susut 26 persen menjadi Rp 762 miliar pada 2023 dari 2022 sebesar Rp 1,03 triliun.
Selain itu, PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) meraih pendapatan Rp 9,49 triliun pada 2023. Pendapatan Perseroan turun tipis 1,4 persen dari periode sama tahun sebelumnya Rp 9,63 triliun. Sedangkan laba bersih terpangkas 30,4 persen menjadi Rp 839,80 miliar pada 2023 dari periode 2022 sebesar Rp 1,2 triliun.
PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG) meraih pendapatan Rp 8,32 triliun pada 2023. Pendapatan Perseroan turun 10,91 persen dari periode 2022 sebesar Rp 9,34 triliun. Sedangkan laba terpangkas 46 persen menjadi Rp 1,6 triliun pada 2023 dari periode sama tahun sebelumnya Rp 2,9 triliun.
Di sisi lain, di antara emiten CPO, PT Eagle High Plantations Tbk (BWPT) mencatat pertumbuhan laba signifikan, sedangkan pendapatan merosot. Perseroan mencatat pendapatan susut 8 persen menjadi Rp 4,2 triliun pada 2023 dari 2022 sebesar Rp 4,57 triliun. Sedangkan laba melonjak 912,8 persen menjadi Rp 177 miliar pada 2023 dari periode sama tahun sebelumnya Rp 17,47 miliar.
Kata Analis
Pengamat pasar modal Wahyu Tribowo Laksono menuturkan, harga CPO cenderung koreksi konsolidasi pada 2023 setelah melonjak pada 2022. Harga CPO meningkat hingga mencapai rekor harga tertinggi pada 2022 menguji 5.000-7.000 Ringgit Malaysia (RM) per ton. Wahyu mengatakan, harga CPO kemudian melambat pada 2023 hingga 20 persen di bawah tingkat harga rata-rata yang tercatat pada tahun sebelumnya.
"Sebelum 2022, harga CPO berkisar antara MYR 2.000 hingga di bawah MYR 5.000 per ton. Harga CPO dan minyak nabati lainnya meningkat pada 2022 akibat invasi Rusia ke Ukraina pada Februari yang memicu kekhawatiran pasokan minyak bunga matahari dari Laut Hitam,” kata Wahyu saat dihubungi Liputan6.com.
Ia menambahkan, hal ini segera disusul dengan larangan ekspor minyak sawit oleh Indonesia antara Maret dan Mei yang akibatkan hilangya sekitar 2 juta ton minyak sawit dari ekspor global. Sedangkan Argentina, eksportir minyak kedelai terbesar di dunia mengalami cuaca seperti kekeringan, yang akibatkan hilangnya jutaan hasil produksi kedelai dan akibatnya ketersediaan pasokan minyak kedelai.
Hal senada dikatakan Head of Investment Reswara Gian Investa Kiswoyo Adi Joe. Ia menuturkan, faktor cuaca dan air turut pengaruhi kinerja keuangan emiten CPO. Namun, Kiswoyo menuturkan, emiten produsen CPO yang mampu menekan biaya produksi dan memiliki usia pohon sawit muda yang masih banyak masih mendapatkan keuntungan.
“CPO juga tergantung dari harga jagung dan kedelai. Kalau harga jagung dan kedelai turun, harga CPO turun,” kata Kiswoyo saat dihubungi Liputan6.com.
Advertisement
Prospek 2024
Lalu bagaimana prospek emiten CPO dan sahamnya pada 2024?
Wahyu menuturkan, seiring membaiknya komoditas energi terutama minyak dan batu bara, CPO terkorelasi naik juga didukung Ramadan dan Idul Fitri. “Harga CPO sepanjang Februari mengalami kenaikan sebesar 1,41 persen. Secara keseluruhan, dari awal tahun ini hingga saat ini, harga CPO mengalami kenaikan 4,29 persen,” kata Wahyu.
Ia menambahkan, seperti juga minyak, konsolidasi masih jadi tema utama, sehingga kenaikan akan cenderung rentan koreksi meski pelemahan terbatas.
Selain itu, komoditas CPO juga hadapi sentimen negatif seperti supply jangka pendek dengan kondisi pasar minyak nabati yang mengalami kelebihan pasokan terutama bersaing dengan minyak kedelai dari negara produsen besar yakni Brazil, Amerika Serikat dan Argentina.
Wahyu melihat, CPO tetap akan menarik dan punya potensi jangka panjang. Hal ini seiring, menurut dia, permintaan minyak sawit melebihi pemakaian tradisionalnya. Wahyu menunjukkan dari data United States Department of Agriculture (USDA) prediksi konsumsi minyak sawit pada 2023-2024 akan tumbuh sebesar 4,76 persen menjadi 78,06 juta ton.
Namun, pada saat yang sama, menurut dia, produksi minyak sawit alami stagnasi dalam beberapa tahun terakhir, di mana dua produsen minyak sawit terbesar di dunia yakni Indonesia dan Malaysia mengalami tingkat hasil panen lebih rendah dan pertumbuhan negatif pada area penanaman kelapa sawit sehingga membatasi pertumbuhan pasokan global karena dua negara tetap bertanggung jawab atas produksi minyak sawit, sekitar 85 persen pasokan minyak sawit dunia.
“Pergeseran fundamental penawaran dan permintaan, ditambah dengan volatilitas ekstrem yang disebabkan oleh perubahan geopolitik, fenomena cuaca dan perubahan kebijakan pemeintah juga telah menyebabkan fluktuasi harga minyak sawit yang parah selama beberapa tahun terakhir,” kata dia.
Rekomendasi Saham
Wahyu melihat, emiten CPO masih potensial seiring kenaikan harga komoditas seperti energi. “Rebound pada umumnya khususnya energi yakni minyak dan gas bumi. CPO pun wajar rebound. Ada faktor seasonal seperti hari raya di India, China dan negara muslim termasuk Ramadan dan Idul Fitri. Jadi wajar CPO menguat,” kata dia.
Selain itu, harga minyak dunia masih bertahan setelah sempat dekait USD 80 per barel. “Jadi CPO terkait palm oil biodiesel berkorelasi naik,” ujar Wahyu.
Wahyu menilai, emiten CPO masih ada harapan selain kenaikan harga komoditas juga didukung sentimen global. Hal ini ditunjukkan dari dolar Amerika Serikat yang melemah didukung rencana pelonggaran kebijakan moneter the Federal Reserve dan aset di pasar keuangan yang melesat.
“Walaupun ancaman resesi AS dan pelambatan ekonomi China masih menghantui, ekonomi global dan China masih baik,” tutur Wahyu.
Wahyu menuturkan, harapan kinerja keuangan emiten CPO bisa lebih baik dari 2023.
Advertisement
Strategi Saham
Sedangkan Kiswoyo menuturkan, kinerja keuangan emiten CPO dipengaruhi harga komoditas yakni jagung dan kedelai pada 2024. Ditambah kinerja operasional emiten CPO.
Untuk pilihan saham emiten CPO untuk dicermati pelaku pasar, Wahyu memilih saham BWPT. Selain itu, Wahyu juga memilih saham ANJT, PT Bakrie Sumatera Plantatons Tbk (UNSP), PT Jhonlin Agro Raya Tbk (JARR), TAPG, AALI dan LSIP.
“Saat harga turun, jika valuasi bagus dan didukung potensi kinerja, strategi buy on weakness,” kata dia.
Sementara itu, Kiswoyo merekomendasikan untuk melihat saham emiten CPO yang memiliki rasio price book value (PBV) di bawah 1 dan rajin membagikan dividen. "CPO termasuk sektor siklikal sama kayak properti. Pilih yang memiliki PBV di bawah satu dan rutin bagi dividen,” kata dia.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual saham. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.