Sukses

Laba Triputra Agro Persada Terpangkas 46,05% di 2023

PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG) telah mengumumkan kinerja perseroan untuk tahun buku 2023 yang berakhir pada 31 Desember 2023.

Liputan6.com, Jakarta PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG) telah mengumumkan kinerja perseroan untuk tahun buku 2023 yang berakhir pada 31 Desember 2023. Pada periode tersebut, perseroan membukukan pendapatan dari kontrak dengan pelanggan senilai Rp 8,33 triliun. Pendapatan itu turun 10.91 persen dari pendapatan pada 2022 yang tercatat sebesar RP 9,35 triliun.

Sementara pendapatan dari kontrak dengan pelanggan turun, beban pokok penjualan pada 2023 naik menjadi Rp 6,1 triliun. Adapun pada 2022, beban pokok penjualan tercatat sebesar Rp 5,63 triliun. Alhasil, laba kotor perseroan pada 2023 terpangkas menjadi Rp 2,22 triliun dari Rp 3,72 triliun pada 2022.

Melansir laporan keuangan perseroan dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa (12/3/2024), pada 2023 perseroan membukukan kerugian atas perubahan nilai wajar aset biologis senilai Rp 19,72 miliar. lalu beban penjualan dan pemasaran Rp 305,15 miliar, beban umum dan administrasi Rp 569,88 miliar, pendapatan operasi lainnya RP 122,1 miliar, dan beban operasi lainnya Rp 71,92 miliar.

Bersamaan dengan itu, perseroan membukukan biaya keuangan Rp 152,92 miliar, pendapatan keuangan Rp 77,99 miliar, dan bagian laba dari ventura bersama Rp 643,29 miliar.

Setelah dikurangi beban pajak penghasilan, perseroan membukukan laba tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp 1,61 triliun. Laba tahun buku 2023 itu turun 46,05 persen dari laba pada 2022 yang tercatat sebesar Rp 2,98 triliun.

Dari sisi aset perseroan sampai dengan akhir Desember 2023 tercatat sebesar Rp 13,87 triliun, turun dari RP 14,53 triliun pada 2022. Liabilitas pada 2023 turun menjadi Rp 2,53 triliun dari RP 4,11 triliun pada 2022.

Sementara ekuitas sampai dengan akhir 2023 naik menjadi RP 11,34 triliun dari Rp 10,41 triliun pada 2022.

2 dari 4 halaman

Melihat Kinerja Keuangan Emiten CPO pada 2023: AALI hingga BWPT

Sebelumnya, sejumlah emiten produsen minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) mencatat penurunan pendapatan dan laba pada 2023 seiring harga CPO yang menurun.

Mengutip laporan keuangan keuangan yang disampaikan ke Bursa Efek Indonesia (BEI), ditulis Senin (11/3/2024), PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) meraih pendapatan Rp 20,75 triliun pada 2023, turun 4,96 persen dari Rp 21,83 triliun. Laba bersih AALI juga terpangkas 38,85 persen menjadi Rp 1,06 triliun dari periode sama tahun sebelumnya Rp 1,73 triliun.

Penurunan pendapatan dan laba ini juga dialami PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT). Pendapatan Austindo Nusantara Jaya turun 12,1 persen menjadi USD 236,5 juta pada 2023 dari periode 2022 sebesar USD 269 juta. Demikian juga laba bersih anjlok 87,9 persen menjadi USD 2,62 juta pada 2023 dari periode sama tahun sebelumnya USD 21,72 juta.

Begitu pula kinerja keuangan PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) pada 2023. Perseroan mencatatkan pendapatan Rp 16 triliun pada 2023, terpangkas 10,06 persen dari periode 2022 sebesar Rp 17,79 triliun. Sementara itu, laba bersih Salim Ivomas Pratama merosot 38 persen dari Rp 1,19 triliun pada 2022 menjadi Rp 736,41 miliar.

Sementara itu, PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) cetak pendapatan Rp 4,19 triliun pada 2023, turun 9 persen dari periode sama tahun sebelumnya Rp 4,58 triliun. Demikian juga laba bersih susut 26 persen menjadi Rp 762 miliar pada 2023 dari 2022 sebesar Rp 1,03 triliun.

Selain itu, PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) meraih pendapatan Rp 9,49 triliun pada 2023. Pendapatan Perseroan turun tipis 1,4 persen dari periode sama tahun sebelumnya Rp 9,63 triliun. Sedangkan laba bersih terpangkas 30,4 persen menjadi Rp 839,80 miliar pada 2023 dari periode 2022 sebesar Rp 1,2 triliun.

PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG) meraih pendapatan Rp 8,32 triliun pada 2023. Pendapatan Perseroan turun 10,91 persen dari periode 2022 sebesar Rp 9,34 triliun. Sedangkan laba terpangkas 46 persen menjadi Rp 1,6 triliun pada 2023 dari periode sama tahun sebelumnya Rp 2,9 triliun.

Di sisi lain, di antara emiten CPO,  PT Eagle High Plantations Tbk (BWPT) mencatat pertumbuhan laba signifikan, sedangkan pendapatan merosot. Perseroan mencatat pendapatan susut 8 persen menjadi Rp 4,2 triliun pada 2023 dari 2022 sebesar Rp 4,57 triliun. Sedangkan laba melonjak 912,8 persen menjadi Rp 177 miliar pada 2023 dari periode sama tahun sebelumnya Rp 17,47 miliar.

3 dari 4 halaman

Kata Analis

Pengamat pasar modal Wahyu Tribowo Laksono menuturkan, harga CPO cenderung koreksi konsolidasi pada 2023 setelah melonjak pada 2022. Harga CPO meningkat hingga mencapai rekor harga tertinggi pada 2022 menguji 5.000-7.000 Ringgit Malaysia (RM) per ton. Wahyu mengatakan, harga CPO kemudian melambat pada 2023 hingga 20 persen di bawah tingkat harga rata-rata yang tercatat pada tahun sebelumnya.

"Sebelum 2022, harga CPO berkisar antara MYR 2.000 hingga di bawah MYR 5.000 per ton. Harga CPO dan minyak nabati lainnya meningkat pada 2022 akibat invasi Rusia ke Ukraina pada Februari yang memicu kekhawatiran pasokan minyak bunga matahari dari Laut Hitam,” kata Wahyu saat dihubungi Liputan6.com.

Ia menambahkan, hal ini segera disusul dengan larangan ekspor minyak sawit oleh Indonesia antara Maret dan Mei yang akibatkan hilangya sekitar 2 juta ton minyak sawit dari ekspor global. Sedangkan Argentina, eksportir minyak kedelai terbesar di dunia mengalami cuaca seperti kekeringan, yang akibatkan hilangnya jutaan hasil produksi kedelai dan akibatnya ketersediaan pasokan minyak kedelai.

Hal senada dikatakan Head of Investment Reswara Gian Investa Kiswoyo Adi Joe. Ia menuturkan, faktor cuaca dan air turut pengaruhi kinerja keuangan emiten CPO. Namun, Kiswoyo menuturkan, emiten produsen CPO yang mampu menekan biaya produksi dan memiliki usia pohon sawit muda yang masih banyak masih mendapatkan keuntungan.

“CPO juga tergantung dari harga jagung dan kedelai. Kalau harga jagung dan kedelai turun, harga CPO turun,” kata Kiswoyo saat dihubungi Liputan6.com.

 

4 dari 4 halaman

Prospek 2024

Lalu bagaimana prospek emiten CPO dan sahamnya pada 2024?

Wahyu menuturkan, seiring membaiknya komoditas energi terutama minyak dan batu bara, CPO terkorelasi naik juga didukung Ramadan dan Idul Fitri. “Harga CPO sepanjang Februari mengalami kenaikan sebesar 1,41 persen. Secara keseluruhan, dari awal tahun ini hingga saat ini, harga CPO mengalami kenaikan 4,29 persen,” kata Wahyu.

Ia menambahkan, seperti juga minyak, konsolidasi masih jadi tema utama, sehingga kenaikan akan cenderung rentan koreksi meski pelemahan terbatas.

Selain itu, komoditas CPO juga hadapi sentimen negatif  seperti supply jangka pendek dengan kondisi pasar minyak nabati yang mengalami kelebihan pasokan terutama bersaing dengan minyak kedelai dari negara produsen besar yakni Brazil, Amerika Serikat dan Argentina.

Wahyu melihat, CPO tetap akan menarik dan punya potensi jangka panjang. Hal ini seiring, menurut dia, permintaan minyak sawit melebihi pemakaian tradisionalnya. Wahyu menunjukkan dari data United States Department of Agriculture (USDA) prediksi konsumsi minyak sawit pada 2023-2024 akan tumbuh sebesar 4,76 persen menjadi 78,06 juta ton.

Namun, pada saat yang sama, menurut dia, produksi minyak sawit alami stagnasi dalam beberapa tahun terakhir, di mana dua produsen minyak sawit terbesar di dunia yakni Indonesia dan Malaysia mengalami tingkat hasil panen lebih rendah dan pertumbuhan negatif pada area penanaman kelapa sawit sehingga membatasi pertumbuhan pasokan global karena dua negara tetap bertanggung jawab atas produksi minyak sawit, sekitar 85 persen pasokan minyak sawit dunia.

“Pergeseran fundamental penawaran dan permintaan, ditambah dengan volatilitas ekstrem yang disebabkan oleh perubahan geopolitik, fenomena cuaca dan perubahan kebijakan pemeintah juga telah menyebabkan fluktuasi harga minyak sawit yang parah selama beberapa tahun terakhir,” kata dia.

Video Terkini