Liputan6.com, Jakarta - Bursa saham China dan Hong Kong alami aksi jual sehingga kapitalisasi pasar USD 4,8 triliun atau sekitar Rp 76,42 triliun (asumsi dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran 15.921) sejak 2021. Hal itu melebihi valuasi pasar saham India.
Dikutip dari CNBC, Rabu (33/4/2024), statistik ini bukan pertanda baik bagi China dan Hong Kong terutama ketika the National Stock Exchange (NSE) India hanya tumbuh pada periode yang sama.
Baca Juga
NSE melampaui bursa efek Hong Kong dan kliring untuk menjadi yang terbesar keempat di dunia pada Januari, menurut data dari the World Federation of Exchange atau Federasi Bursa Dunia dan senilai USD 4,63 triliun sehingga menjadikannya yang terbesar ketiga di Asia.
Advertisement
Hal ini menunjukkan seberapa besar daya tarik yang diperoleh saham-saham India dalam beberapa tahun terakhir, berbeda dengan penurunan yang terjadi di China dan Hong Kong.
Indeks CSI 300 di China telah merosot selama tiga tahun berturut-turut. Indeks CSI 300 ditutup merosot 11,4 persen pada tahun lalu. Indeks Hang Seng di Hong Kong turun 13,8 persen, dan catat penurunan keempat berturut-turut. Dua indeks tersebut alami indeks dengan kinerja terbawah di antara indeks-indeks utama Asia Pasifik pada 2023.
Kekhawatiran China Melanda Pasar Hong Kong
Sektor properti China telah menjadi sumber utama kekhawatiran investor yang berdampak ke Hong Kong. Saham real estate China termasuk grup Evergrande dan Country Garden tercatat di bursa saham Hong Kong.
China tetapkan pertumbuhan ekonomi 5 persen pada 2024, tetapi analis skeptis negara dengan ekonomi terbesar kedua ini dapat mencapainya.
Pekan lalu, S&P Global Ratings mengatakan,pertumbuhan ekonomi China 4,6 persen pada 2024, melambat dari posisi 2023 sebesar 5,2 persen.
“Perkiraan kami memperhitungkan berlanjutnya pelemahan properti dan dukungan kebijakan makro yang terbatas. Deflasi tetap menjadi risiko jika konsumsi tetap lemah dan pemerintah merespons dengan merangsang investasi manufaktur lebih lanjut,” ujar Ekonom Asia-Pasifik di S&P Global Ratings, Louis Kuijs.
India Jadi Favorit
Mantan CEO Bursa Efek Hong Kong Nicolas Aguzin menuturkan, tanpa kepercayaan dari China, suku bunga tinggi dan geopolitik berdampak terhadap valuasi dan pencatatan saham baru yang rendah di bursa efek.
India Jadi Favorit bagi Investor
Bursa saham India reli di tengah optimisme yang lebih luas terhadap pertumbuhan negara tersebut. Indeks nifty 50 menguat selama delapan tahun berturut-turut, mencatatkan keuntungan 20 persen pada 2023.
Penelitian dari HSBC juga menunjukkan National Stock Exchange di India telah melampaui Bursa Efek Shanghai menjadi yang terbesar kedua secara global dalam hal volume transaksi bulanan. Namun, masih tertinggal dibandingkan Bursa Efek Shenzhen yang menempati posisi teratas.
Berdasarkan riset EY India, bursa saham India juga mencatat penawaran umum perdana atau initial public offering (IPO) terbanyak pada 2023. Hal ini terjadi meski kondisi IPO masih lemah, terutama di Asia. India mencatat 220 IPO pada tahun lalu dengan raihan dana USD 6,9 miliar menurut EY. Itu merupakan lonjakan aktivitas transaksi 48 persen dibandingkan 2022.
“Sementara bursa saham China telah melambat secara signifikan, India telah muncul sebagai pemain yang menonjol,” ujar Pemimpin EY Global IPO, George Chan.
Advertisement
Bursa Saham China Catat Kinerja Buruk Sejak 2016
Sebelumnya diberitakan, Bursa saham China alami masa sulit pada 2023 dan koreksi yang terjadi berlanjut dalam beberapa minggu pertama 2024. Hal ini setelah China memupuskan harapan akan berbuat lebih banyak mendukung ekonomi yang sedang sulit.
Dikutip dari CNN, Selasa (23/1/2024), indeks Hang Seng di Hong Kong turun 2,3 persen pada perdagangan Senin, 22 Januari 2024 hingga ditutup ke level terendah sejak Oktober 2022. Indeks Hang Seng tersebut merosot lebih dari 12 sepanjang Januari, hampir sama dengan penurunan pada 2023.
Indeks Shanghai anjlok 2,7 persen, penurunan harian terbesar sejak April 2022. Indeks Shenzhen yang merupakan tolok ukur teknologi alami kinerja terburuk dalam hampir dua tahun dengan terbenam 3,5 persen.
Indeks telah merosot masing-masing 4,8 persen dan 7,7 persen pada hari perdagangan pertama 2024. Ini adalah awal tahun terburuk bagi saham China sejak 2016, ketika investor melepaskan kepemilikannya menyusul jatuhnya pasar pada 2015.
Gelembung muncul ketika perekonomian menunjukkan tanda-tanda ketegangan dan harga saham jauh melampaui keuntungan.
Dalam beberapa bulan terakhir, krisis real estate, pertumbuhan paling lambat di luar pandemi COVID-19 dalam beberapa dekade, dan tindakan keras terhadap beberapa bisnis telah melemahkan kepercayaan investor.
Chief Asian Foreign Exchange Strategist Mizuho Bank, Ken Cheung menuturkan, investor asing terus mengurangi eksposur risikonya ke China dan memiliki ekspektasi bearish terhadap kondisi bisnis di negara tersebut.
“Pemerintah China belum menerapkan langkah-langkah efektif untuk menyelesaikan gejolak properti dan mendorong pemulihan ekonomi,” tulis Ken Cheung.
Investor kecewa pada Senin, 22 Januari 2024 setelah bank sentral China memutuskan mempertahankan suku bunga pinjaman. Pemangkasan suku bunga akan menurunkan biaya pinjaman bagi masyarakat dan dunia usaha yang mengambil pinjaman atau membayar bunga. Oleh karena itu membantu merangsang kegiatan ekonomi.
Berlawanan dengan Bursa Saham Global
Koreksi pasar yang besar pada 2024 terjadi setelah kinerja buruk tahun lalu, saat indeks CSI 300 yang terdiri dari 300 saham utama yang terdaftar di Shanghai dan Shenzhen turun lebih dari 11 persen.
Sebaliknya indeks acuan S&P 500 di Amerika Serikat melonjak 24 persen pada 2023. Sedangkan indeks di Eropa tumbuh hampir 13 persen. Indeks Nikkei 225 Jepang melesat 28 persen tahun lalu dan masih menguat. Pada Januari 2024, indeks Nikkei mencatat kenaikan hampir 10 persen sepanjang Januari 2024.
Data demografi yang dirilis Rabu pekan lalu mengonfirmasi populasi China semakin tua dan menyusut tidak membantu meredakan kekhawatiran investor.
Mereka juga gelisah karena pidato yang disampaikan oleh Perdana Menteri China Li Qiang pekan lalu di Forum Ekonomi Dunia tidak menyebutkan langkah-langkah stimulus baru pemerintah untuk membantu memulihkan ekonomi negara yang sedang lesu.
Analis ANZ Research, Brian Martin & Daniel Hynes menyebutkan dalam risetnya pada Jumat, 19 Januari 2024 kalau pidato Li telah “memupuskan” harapan akan langkah-langkah dukungan lebih lanjut.
“(Dia) mengumandangkan kemampuan negara-negara untuk mencapai target pertumbuhan 5 persen tanpa membanjiri ekonomi dengan stimulus besar-besaran,” tulis analis tersebut.
Advertisement