Liputan6.com, Jakarta Nilai tukar (kurs) rupiah pada awal perdagangan Rabu pagi tergelincir 76 poin atau 0,47 persen menjadi 16.252 per USD dari sebelumnya rupiah berada di 16.176 per USD. Secara umum, pelemahan rupiah berimbas pada sektor yang berbasis impor
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mencermati, hampir sebagian besar sektor rugi dengan melemahnya rupiah yang bebarengan dengan jatuhnya harga sejumlah komoditas. Contohnya, harga batu bara yang anjlok 27% year on year, kemudian nikel anjlok 27,6% yoy.
Baca Juga
"Barang elektronik dan otomotif juga terimbas negatif dari melemahnya kurs," kata Bhima kepada Liputan6.com, Rabu (17/4/2024).
Advertisement
Sementara, komoditas yang diuntungkan adalah CPO atau minyak kelapa sawit karena harga nya melonjak di pasar internasional dalam satu tahun terakhir, disusul karet alam.
Harga Minyak Duni Melonjak
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan, ketika harga minyak dunia melonjak, ancaman inflasi global yang tinggi kembali membayangi perekonomian global. Negara-negara pengimpor minyak seperti Indonesia dapat mengalami peningkatan tekanan inflasi impor.
"Dengan melemahnya ekonomi global dan normalisasi harga komoditas, yang berdampak negatif pada kinerja ekspor, surplus neraca perdagangan Indonesia dapat dengan cepat berubah menjadi defisit, sehingga memicu pelebaran defisit transaksi berjalan dan memberikan tekanan pada nilai tukar rupiah," jelas Josua.
Â
Selanjutnya
Ekonom Indo Premier Sekuritas Luthfi Ridho dalam risetnya menjelaskan depresiasi rupiah sebagian besar disebabkan oleh arus keluar obligasi.
"Kami yakin sumber utama depresiasi berasal dari arus keluar pasar obligasi sebesar USD 2,2 miliar pada pertengahan April 2024. Kami melihat arus keluar dipicu oleh perpindahan ke aset-aset yang lebih aman dan selisih imbal hasil yang lebih rendah," urainya.
Pada pertengahan April 2024, selisih antara imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia dan AS bertenor 10 tahun berada pada angka 220bp, lebih rendah dibandingkan selisih sebesar 250bp pada akhir bulan Maret atau sebesar 270bp pada awal tahun. Kenaikan tajam imbal hasil UST 10 tahun juga dipengaruhi oleh ketegangan geopolitik karena pemerintah AS mungkin memerlukan lebih banyak pembiayaan anggaran.
"Meningkatnya ketegangan geopolitik dalam waktu dekat dapat mengakibatkan arus keluar yang berkepanjangan, menurut pandangan kami," kata Luthfi dalam risetnya.
Â
Advertisement
Prediksi Rupiah
Atas kondisi ini, Indo Premier Sekuritas merevisi ekspektasi Rupiah menjadi rata-rata tahunan 15.500 per USD dari sebelumnya 15.100 per USD.
Secara keseluruhan, Luthfi yakin situasi cadangan devisa cukup untuk menciptakan stabilitas karena masih lebih tinggi sebesar 16% dibandingkan rasio kecukupan IMF pada bulan Maret 19% lebih tinggi pada bulan Februari.
"Namun, jika ketegangan geopolitik lebih lama dari perkiraan, menurut pandangan kami, penyesuaian suku bunga BI tidak dapat dihindari. Simulasi kami menunjukkan kenaikan minimal 50bp untuk membawa Rupiah ke level 15.000 per USD," jelas Luthfi.
Â