Liputan6.com, Jakarta Bursa saham Asia-Pasifik anjlok pada hari Rabu, dipimpin oleh Nikkei 225 Jepang setelah saham teknologi AS dijual dan data ekonomi AS yang lemah memicu kekhawatiran resesi.
Dikutip dari CNBC, Rabu (4/9/2024), Nikkei 225 Jepang turun 3,06%, memimpin kerugian di Asia. Sementara Topix secara luas turun 2,42%.
Baca Juga
Di Korea Selatan, Kospi kehilangan 2,59% pada pembukaannya, demikian pula dengan saham berkapitalisasi kecil Kosdaq yang mengalami kerugian 3,05%.
Advertisement
Indeks S&P/ASX 200 Australia turun 1,37%. Sedangkan indeks Hang Seng Hong Kong berada pada level 17.487, lebih rendah dibandingkan penutupan terakhir HSI pada level 17.651,49.
Di AS, pembuat chip Nvidia kehilangan lebih dari 9% dalam perdagangan reguler, menyeret rekan-rekannya lainnya, seperti Intel , AMD , dan Marvell .
VanEck Semiconductor ETF (SMH), indeks yang melacak saham semikonduktor, turun 7,5%, hari terburuk sejak Maret 2020.
Secara terpisah, indeks manufaktur ISM untuk bulan Agustus mencapai 47,2% untuk bulan tersebut, naik 0,4 poin persentase dari bulan Juli, tetapi di bawah 47,9% yang diharapkan dari Dow Jones.
Pengukur tersebut mengukur persentase perusahaan yang melaporkan ekspansi, jadi apa pun di bawah 50% menunjukkan kontraksi.
IHSG Anjlok 1% Usai Cetak Rekor
Sebelumnya, laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berbalik arah ke zona merah pada penutupan perdagangan Selasa (3/9/2024). Koreksi IHSG terjadi di tengah mayoritas sektor saham yang tertekan dan sektor saham teknologi pimpin penurunan.
Mengutip data RTI, IHSG anjlok 1,01 persen ke posisi 7.616,52. Indeks LQ45 tergelincir 0,85 persen ke posisi 942,28.Seluruh indeks saham acuan tertekan. Pada perdagangan Selasa pekan ini, IHSG berada di level tertinggi 7.726,66 dan level terendah 7.598,46.
Sebanyak 364 saham melemah sehingga menekan IHSG. 227 saham menguat dan 203 saham diam di tempat. Total frekuensi perdagangan 1.080.268 kali dengan volume perdagangan sebesar 22 miliar saham. Nilai transaksi harian saham Rp 10,6 triliun. Posisi dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran 15.520.
Pada perdagangan Selasa pekan ini, saham KRAS anjlok 1,64 persen ke posisi Rp 120 per saham. Harga saham KRAS dibuka naik satu poin ke posisi Rp 123 per saham. Harga saham KRAS berada di level tertinggi Rp 125 dan terendah Rp 118 per saham. Total frekuensi perdagangan 1.062 kali dengan volume perdagangan 157.275 saham. Nilai transaksi Rp 1,9 miliar.
Saham SMBR terpangkas 1,5 persen ke posisi Rp 262 per saham. Harga saham SMBR dibuka stagnan di posisi Rp 266 per saham. Harga saham SMBR berada di level tertinggi Rp 270 dan level terendah Rp 260 per saham. Total frekuensi perdagangan 483 kali dengan volume perdagangan 32.139 saham. Nilai transaksi Rp 844,5 juta.
Selain itu, saham PPRE anjlok 2,38 persen ke posisi Rp 82 per saham. Harga saham PPRE dibuka naik satu poin ke posisi Rp 85 per saham. Harga saham PPRE berada di level tertinggi Rp 85 dan level terendah Rp 81 per saham. Total frekuensi perdagangan 618 kali dengan volume perdagangan 618 saham. Nilai transaksi Rp 608,1 juta.
Advertisement
Apa Saja Sentimen IHSG?
Mengutip Antara, dalam kajian tim riset PT Pilarmas Investindo Sekuritas menyebutkan, sentimen eksternal dan internal menekan pergerakan IHSG.
Dari mancanegara, bursa regional Asia cenderung melemah, pasar tampaknya menantikan rilis data Amerika Serikat (AS) sehubungan dengan data manufaktur yang akan dirilis Selasa, 3 September 2024 waktu setempat, dan data laporan ekonomi pada akhir pekan ini terkait data penggajian nonpertanian.
"Pasar berpandangan data-data tersebut akan kembali menjadi bahan pertimbangan The Fed sehubungan dengan pemangkasan suku bunga acuannya,” demikian seperti dikutip dari Antara.
Sentimen lainnya yaitu pasar menantikan arah kebijakan pemerintah China untuk memberikan stimulus di tengah perlambatan ekonomi mereka yang dilatarbelakangi oleh tanda-tanda baru masalah ekonomi di China. Berdasarkan data dari National Bureau of Statistics China pada Sabtu pekan kemarin, menunjukkan aktivitas pabrik China mengalami kontraksi selama empat bulan berturut-turut pada Agustus 2024 di level 49,1 dari bulan sebelumnya 49,4.
"Hal tersebut sebagai sinyal terbaru ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut mungkin kesulitan untuk memenuhi target pertumbuhan ekonomi tahun ini, sehingga pasar berharap adanya urgensi stimulus pemerintah China di tengah situasi ancaman aktivitas ekonomi yang masih lemah, sehingga akan berdampak terhadap perlambatan ekonomi mereka,” demikian seperti dikutip.