Sukses

IPO Operator Kereta Tokyo Metro di Jepang Bakal Terbesar dalam 6 Tahun

Tokyo Metro, salah satu dari dua operator kereta bawah tanah di Tokyo, akan meraup 349 miliar yen atau sekitar Rp 36,99 triliun dari IPO.

Liputan6.com, Jakarta - Salah satu operator kereta bawah tanah di Tokyo, Jepang yakni Tokyo Metro akan menjadi salah satu penawaran umum saham perdana atau initial public offering (IPO) terbesar di Jepang dalam enam tahun.

Mengutip Channel News Asia, Senin (7/10/2024), Tokyo Metro menawarkan harga saham IPO di kisaran 1.100-1.200 yen per saham, dibandingkan estimasi awal 1.100 yen. Pada kisaran tertinggi, Tokyo Metro, salah satu dari dua operator kereta bawah tanah di Tokyo, akan meraup 349 miliar yen atau sekitar Rp 36,99 triliun (asumsi kurs yen 106 terhadap rupiah) (USD 3,25 miliar).

Harga IPO terakhir untuk operator kereta bawah tanah yang dimiliki oleh pemerintah Tokyo dan nasional akan diputuskan pada 15 Oktober sebelum pencatatan di Bursa Efek Tokyo pada 23 Oktober 2024.

Tokyo Metro dimulai pada 1920 dengan berdirinya perusahaan kereta api bawah tanah. Tujuh tahun kemudian, perusahaan ini membuka jalur kereta bawah tanah pertama di Jepang antara lain distrik Asakusa dan Ueno di Tokyo.

Di sisi lain, IPO Jepang, Rigaku, pembuat alat uji sinar X yang didukung oleh perusahaan Carylye Group berencana mencatatkan sahamnya pada Oktober 2024.

Di sisi lain, produsen chip yang didukung Bain Capital Kioxia telah membatalkan rencananya untuk IPO pada Oktober 2024, Reuters melaporkan bulan lalu.

Adapun pasar saham Jepang alami koreksi pada awal Agustus yang dipicu oleh kenaikan suku bunga yang mengejutkan dan kekhawatiran resesi Amerika Serikat sebelum kembali menguat. Indeks acuan naik sekitar 18 persen sepanjang 2024.

 

2 dari 3 halaman

BlackRock Peringatkan Yen Melemah Bakal Berdampak ke Saham di Jepang, Kok Bisa?

Sebelumnya, BlackRock memperingatkan melemahnya yen membuat investor asing menjauh dari saham Jepang. Nikkei 225 Stock Average telah melonjak 14% tahun ini, mengungguli rekan-rekan globalnya. 

Namun, bagi investor berbasis dolar Amerika Serikat, keuntungannya menyusut menjadi sedikit di atas 3% setelah yen jatuh ke level terendah dalam 34 tahun terhadap dolar AS. Angka tersebut jauh di bawah kenaikan S&P 500 sebesar 9,5% dan imbal hasil Indeks Hang Seng berbasis dolar sebesar 11%.

Kepala investasi aktif Jepang di BlackRock Inc, Yue Bamba mengatakan, berinvestasi dalam saham Jepang menjadi lebih sulit jika mata uangnya terus melemah.

"Ketika Anda berbicara dengan investor global tentang Jepang, FX pasti menjadi perhatian utama semua orang,” kata Bamba dikutip dari Yahoo Finance, Senin (13/5/2024). 

Pelemahan yen telah meningkatkan keuntungan bagi eksportir, yang secara tradisional menjadi pendorong bagi saham-saham Jepang. Namun, Nikkei 225 telah turun lebih dari 6% dari rekor tertingginya di tengah kekhawatiran mata uang tersebut menjadi beban bagi belanja konsumen domestik dan biaya impor perusahaan.

Kinerja yen di masa depan lebih bergantung pada tindakan Federal Reserve AS dibandingkan Bank of Japan, menurut Bamba. Yen mungkin secara bertahap melemah hingga kisaran 170 terhadap dolar jika The Fed tidak menurunkan suku bunganya. Alternatifnya, level 130 hingga 135 “sepenuhnya bisa dibayangkan” jika ada penurunan suku bunga.

Pemerintah Jepang kemungkinan telah melakukan intervensi setidaknya dua kali di pasar dalam beberapa minggu terakhir untuk menopang penurunan yen. 

"Pihak berwenang di Tokyo mungkin akan melanjutkan upaya mereka untuk mendukung mata uang tersebut karena pelemahan yen yang berkepanjangan karena hal ini tidak baik bagi negara atau biaya hidup,” pungkas Bamba.

 

3 dari 3 halaman

Pasar Saham Jepang Cetak Rekor Tertinggi dalam Sejarah, Tapi Kok Resesi?

Sebelumnya, perlambatan ekonomi dan resesi Jepang dinilai tidak memberikan dampak negatif terhadap pasar modal di Indonesia karena indeks Nikkei 225 sedang berada dalam posisi yang tinggi. Hal tersebut diungkapkan Pengamat pasar modal Teguh Hidayat.

“Pasar modalnya di sana Nikkei itu justru sekarang lagi dalam posisi salah satu yang tertinggi sepanjang sejarah. Jadi, harusnya tidak ada dampak negatif terhadap pasar modal kita,” ujar Teguh Hidayat dikutip dari Antara, Minggu (18/2/2024).

Menurutnya, melihat indeks pasar saham tersebut yang kini melebihi angka 38.000 dan hampir mencetak rekor tertinggi sepanjang masa, tidak sedang terjadi resesi di Jepang.

Namun, ia mengakui bahwa ada perlambatan ekonomi di Negeri Sakura itu, dilihat dari pertumbuhan ekonominya yang minus 3,3 persen yoy pada triwulan III serta minus 0,4 pada triwulan IV tahun lalu.

Selain itu, Teguh menuturkan bahwa pertumbuhan PDB Jepang juga turun dari 1,7 persen di 2022 menjadi 1 persen di 2023.

“Tapi, angka pertumbuhan segitu untuk sebuah negara maju terhitung masih cukup tinggi,” ucapnya.

Indeks Nikkei 225 ditutup naik sebesar 329,30 poin, atau sekitar 0,86 persen, menjadi 38.487,24 pada  Jumat lalu.

Indeks tersebut menguat ke tingkat tertinggi dalam 34 tahun terakhir berkat sentimen positif terhadap Wall Street karena adanya optimisme pemangkasan suku bunga The Fed dalam waktu dekat.

 

Video Terkini