Liputan6.com, Jakarta - Bursa Saham Asia Pasifik Bergerak beragam di awal pekan ini. Pelaku pasar tengah menilai pengumuman suku bunga acuan pinjaman China. Selain itu, pelaku pasar saham juga tengah fokus pada pemilihan umum Jepang di akhir minggu ini.
Bank sentral China memangkas LPR satu dan lima tahun sebesar 25 basis poin menjadi masing-masing 3,1% dan 3,6%.
Baca Juga
Hal ini telah ditunjukkan oleh Gubernur Bank Rakyat China Pan Gongsheng pada hari Jumat.
Advertisement
Mengutip CNBC, Senin (21/10/2024), Indeks acuan Jepang Nikkei 225 sedikit turun, sementara indeks Topix secara umum turun 0,11%.
Indeks Kospi Korea Selatan naik 0,22% dan indeks saham berkapitalisasi kecil, Kosdaq, turun tipis.
Indeks S&P/ASX 200 Australia memulai hari dengan kenaikan 0,64%.
Indeks berjangka untuk indeks Hang Seng Hong Kong berada pada level 20.782, menunjukkan pembukaan yang lebih lemah dibandingkan dengan penutupan HSI di level 20.804,11.
Wall Street
Di AS, baik S&P 500 maupun Dow Jones Industrial Average melonjak ke rekor tertinggi pada hari Jumat, mengukuhkan kenaikan selama enam minggu berturut-turut.
Indeks acuan pasar umum naik 0,40% dan ditutup pada level 5.864,67, sementara indeks Dow naik 36,86 poin, atau 0,09%, dan berakhir pada level 43.275,91.
Nasdaq Composite, yang dipimpin oleh lonjakan pasca laba di Netflix, mengakhiri hari dengan kenaikan 0,63% pada level 18.489,55.
Meneropong Prospek IHSG Usai Pelantikan Prabowo-Gibran
Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpeluang menguat pada perdagangan Senin, 21 Oktober 2024. Hal ini didukung seiring pelaku pasar menyambut positif pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka pada Minggu, 20 Oktober 2024.
Tak hanya itu, pelaku pasar juga akan menyambut positif jika Sri Mulyani Indrawati kembali didapuk sebagai Menteri Keuangan. Demikian dikutip dari Antara, Senin, (21/10/2024).
"Rupiah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan pasar obligasi terlihat menguat. IHSG berpeluang menguat dengan support di level 7.600 sampai level 7.521 dan resistance di level 7.800 sampai level 7.950," tutur Hans Kwee kepada ANTARA di Jakarta, Minggu.
Sementara itu, Senior Market Analyst Mirae Aset Sekuritas Indonesia, Nafan Aji menuturkan,pergerakan IHSG telah berhasil rebound secara teknikal. "Pergerakan IHSG selama berada upchanell, sehingga berpotensi uptren terbuka lebar. Hal ini ditopang dari sentimen domestik dan global," kata dia.
Dari domestik, menurut Nafan, IHSG ditopang stabilitas politik dan keamanan yang terjamin sehingga ciptakan situasi kondusif investasi untuk investor. Sehingga jamin stabilitas pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.
Setelah pelantikan presiden dan wakil presiden, Nafan menilai, pelaku pasar akan melihat kebijakan politik Prabowo Subianto sehingga beri sentimen positif untuk realisasikan pertumbuhan ekonomi kesinambungan ke depan. “Kita lihat 100 hari Prabowo-Gibran dan pelantikan menteri,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com.
Sedangkan dari sentimen global, Nafan menilai pergerakan bursa saham masih dipengaruhi proyeksi kebijakan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) pada November 2024. "Menurut saya ini tentunya bisa beri dampak positif bagi peningkatan kepercayaan investor global. Kalau sentimen penurunan suku bunga acuan kuat ke depan ini berikan katalis positif bagi liquidity global,” kata dia.
Advertisement
Sentimen Lainnya
Sementara itu, Hans Kwee mengatakan, dari sentimen global, ada sejumlah sentimen yang akan pengaruhi sikap pelaku pasar keuangan. Hal itu antara lain data ekonomi Amerika Serikat (AS), kebijakan European Central Bank (ECB), stimulus China, serta ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah. Dari AS, Ia mengatakan, data penjualan ritel dan klaim pengangguran AS lebih baik dibandingkan perkiraan.
"Data ekonomi AS yang lebih baik ini mendorong probabilitas pemotongan 25 basis poin (bps) pada pertemuan awal November 2024 meningkat," kata Hans.
Hans menambahkan, peluang pemotongan 44 bps sampai akhir tahun memiliki arti, kemungkinan November 2024 menjadi pemotongan terakhir pada 2024, yang juga didukung potensi kemenangan Donald Trump pada Pemilihan Umum (Pemilu) AS pada November 2024.
"Kebijakan Trump lebih agresif, mulai dari pemangkasan pajak, pelanggaran regulasi keuangan dan bisnis, perang tarif. Semua kebijakan ini mendorong inflasi lebih tinggi dan berimbas pada naiknya Yield obligasi serta dolar yang kuat," ujar Hans Kwee.