Sukses

Menanti Hasil Pemilu AS, Investor Harus Apa?

Perdagangan pekan ini diwarnai oleh sejumlah sentimen global, salah satunya adalah pemilu di Amerika Serikat (AS).

Liputan6.com, Jakarta Perdagangan pekan ini diwarnai oleh sejumlah sentimen global, salah satunya adalah pemilu di Amerika Serikat (AS). Umumnya, para investor bersikap waspada karena kebijakan ekonomi Kamala Harris dan Donald Trump yang kontras dapat berdampak signifikan terhadap pasar keuangan.

Pengamat Pasar Modal, Desmond Wira, mencermati bahwa Trump diperkirakan lebih unggul dibanding Kamala Harris dalam polling terakhir. Jika pemilu AS dimenangkan oleh Trump, dengan posisinya yang lebih kuat pada kepentingan dalam negeri, kemungkinan besar USD akan menguat dan rupiah melemah.

"Jika USD menguat, akibatnya rupiah melemah. Selain itu, Trump mungkin akan merespons lebih keras langkah Indonesia bergabung dengan BRICS. Jadi, menurut saya, pasar saham IHSG akan lebih banyak menerima sentimen negatif," kata Desmond kepada Liputan6.com, Selasa (5/11/2024).

Sementara itu, jika pemilu AS dimenangkan oleh Kamala Harris, sentimen negatif akan berkurang, meski tetap ada kecenderungan negatif.

Ekonomi AS Masih Melemah

Di sisi lain, ekonomi dalam negeri masih cenderung melemah. GDP Indonesia diperkirakan tumbuh sebesar 5,00% yoy pada kuartal III 2024, lebih rendah dibandingkan 5,05% pada kuartal II 2024.

"Jadi, tetap ada potensi pasar saham IHSG cenderung melemah. Strategi bagi investor disarankan untuk wait and see perkembangan pasar saham selanjutnya," tambah Desmond.

 

2 dari 2 halaman

Kamala Harris Bawa Sentimen Positif

Sementara itu, Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), Imam Gunadi, berpendapat bahwa pasar, baik domestik maupun global, lebih condong ke Kamala Harris.

Harris diperkirakan akan mengadopsi pendekatan yang lebih multilateral dalam hubungan internasional, termasuk perjanjian perdagangan yang lebih kooperatif. Ini dapat membantu mengurangi ketegangan global dan memperkuat hubungan dagang dengan negara lain.

“Sedangkan Trump dikenal dengan pendekatan proteksionis, terutama melalui tarif tinggi pada produk Tiongkok. Hal ini dapat memicu perang dagang yang berkepanjangan dan pada akhirnya memperlambat laju ekonomi,” jelas Imam.