Sukses

Saham CUAN Merangkak ke Zona Hijau Usai Caplok Perusahaan Tambang Baru

Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN) dan anak usahanya, PT Kreasi Jaya Persada, menandatangani perjanjian untuk mengakuisisi 100% saham beberapa perusahaan tambang, Antara lain, PT Borneo Berkat Kutai beserta anak usahanya, PT Intan Bumi Persada, dari PT Berkat Bumi Barito dan Herry Hermawanto.

Liputan6.com, Jakarta Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN) dan anak usahanya, PT Kreasi Jaya Persada, menandatangani perjanjian untuk mengakuisisi 100% saham beberapa perusahaan tambang, Antara lain, PT Borneo Berkat Kutai beserta anak usahanya, PT Intan Bumi Persada, dari PT Berkat Bumi Barito dan Herry Hermawanto.

Sayangnya, total nilai transaksi tidak diumumkan. PT Intan Bumi Persada sendiri merupakan pemegang izin usaha pertambangan batu bara di Kalimantan Tengah. Setelah transaksi ini, CUAN menjadi pemilik atas 100% saham secara langsung di PT Borneo Berkat Kutai dan secara tidak langsung di PT Intan Bumi Persada.

"Transaksi ini sejalan dengan rencana pengembangan usaha Perseroan, yang secara umum bertujuan untuk menambah aset Perseroan, memperluas usaha Perseroan, serta meningkatkan kapasitas produksi Batu bara Perseroan melalui anak- anak usahanya sehingga dapat memberikan nilai lebih kepada para pemangku kepentingan Perseroan di masa mendatang," ungkap Sekretaris Perusahaan Petrindo Jaya Kreasi Tbk, Robertus Maylando Siahaya dalam keterbukaan informasi Bursa, Sabtu (9/11/2024).

Menyusul aksi tersebut, saham CUAN naik 6,87 persen ke posisi 7.000 pada penutupan Jumat, 8 November 2024. CUAN dibuka pada posisi 6.600 dan bergerak di zona hijau pada rentang 6.660-7.475.

Melansir data RTI, frekuensi perdagangan saham CUAn tercatat sebanyak 4.821 kali. Volume saham yang ditransaksikan yakni 6,05 juta lembar senilai Rp 43,18 miliar. Dalam sepekan, CUAN turun 5,41 persen dan turun 47,86 persen YTD. Namun jika ditarik dalam satu tahun terakhir, CUAN naik 145,61 persen.

2 dari 3 halaman

Tersengat Penurunan Suku Bunga dan Kebijakan Trump, Saham-Saham Ini Bisa Diperhatikan

Sebelumnya, Federal Reserve (The Fed) kembali mengumumkan pemangkasan suku bunga 25 basis poin atau 0,25% jadi 4,5-4,75%. Meskipun keputusan tersebut sesuai dengan prediksi pasar, namun penurunan suku bunga akan berdampak positif ke pasar saham dalam negeri. Termasuk emiten yang sensitif suku bunga, seperti perbankan.

Pemangkasan suku bunga AS yang diikuti penurunan imbal hasil (yield) Obligasi Pemerintah Amerika Serikat dan merosotnya indeks dolar telah mengerek rupiah naik jadi Rp 15.500.

Tim Analis Bareksa memprediksi pasar modal RI berpeluang rebound hari ini, karena aksi jual sepekan terakhir berpeluang mencapai level jenuh. Utamanya di saham-saham bank jumbo (big banks) yang kompak melemah pada Kamis (7/11) seiring Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang memerah akibat sentimen kemenangan Trump.

"IHSG turun 1,9% ke posisi 7.243,86 pada Kamis, seiring indeks LQ45 yang berisikan saham-saham unggulan merosot 1,6%. Saham bank jumbo yang memiliki bobot besar di IHSG juga memerah," mengutip laman Bareksa, Jumat (8/11/2024).

Mempertimbangkan kombinasi sentimen kemenangan Donald Trump dan pemangkasan suku bunga AS, Tim Analis Bareksa menyarankan agar investor tetap mencermati saham big banks, karena kinerja fundamentalnya hingga kuartal III 2014 tergolong baik. Karena itu, jika ada penurunan akibat sentimen jangka pendek, justru bisa dipertimbangkan untuk beli bertahap di harga bawah.

"Saham big banks tetap direkomendasikan beli dengan target harga masing-masing BBRI 6.200, BBCA 11.600, BMRI 8.250 dan BBNI 6.700," ulas Tim Riset Bareksa.

 

3 dari 3 halaman

Hasil Rapat FOMC

Dalam pengumuman hasil rapat FOMC, Jerome Powell menyatakan pada kesempatan bahwa perekonomian AS saat ini dalam kondisi yang cukup baik. Tingkat pengangguran AS tetap berada pada level yang sehat yaitu 4,1% per Oktober 2024. Ekspektasi inflasi jangka panjang di AS tetap terjaga dengan baik.

"The Fed tidak memberikan arahan apa pun tentang arah suku bunga di masa mendatang, tetapi kami yakin masih ada potensi untuk penurunan FFR lebih lanjut," kata Chief Economist & Head of Research Mirae Asset Sekuritas Rully Arya Wisnubroto dalam risetnya.

Menurut Rully, The Fed akan tetap bergantung pada data dan terus memantau data ekonomi bulanan yang akan datang. Menurut dia, risiko utama ke depannya adalah potensi kenaikan inflasi dan ekspektasi inflasi yang tinggi karena kebijakan Trump dalam mengenakan tarif dan janjinya untuk mendeportasi sejumlah besar imigran ilegal, yang dapat mengurangi ruang bagi The Fed untuk memangkas suku bunga pada tahun 2025.