Liputan6.com, Jakarta PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSMR) tengah melakukan penguatan struktur permodalan. Salah satu yang dilakukan perseroan adalah divestasi Tol Transjawa senilai Rp 12,82 triliun. Langkah ini bertujuan untuk memperkuat stabilitas keuangan dan struktur modal Jasa Marga dalam jangka pendek dan jangka panjang.
“JSMR melakukan divestasi Jalan Tol Transjawa (JTT) senilai Rp 12,82 triliun, yang memperbaiki struktur permodalan dengan rasio liabilitas terhadap modal turun menjadi 1,71x. Fokus investasi akan lebih selektif pada proyek-proyek dengan margin lebih baik, terutama di Pulau Jawa,” ulas Analis NH Korindo Sekuritas Indonesia, Richard Jonathan Halim, Sabtu (9/11/2024).
Baca Juga
Dari sisi kinerjanya, pendapatan usaha per September 2024 tercatat Rp 13,86 triliun, tumbuh 25,93% YoY, disertai dengan pertumbuhan pendapatan Tol di kuartal III 2024 sebesar Rp4,3 triliun (+19% YoY).
Advertisement
Meskipun ada pertumbuhan pada top-line, laba usaha turun 24,7% YoY pada September 2024 menjadi Rp 6,76 triliun, dan laba bersih turun 44,8% YoY menjadi Rp 3,3 triliun akibat non-cash gain besar dari aksi korporasi pada September 2024. Core profit perusahaan mencapai Rp 2,60 triliun atau naik 39,52% YoY, menunjukkan kinerja yang solid.
Kenaikan Tarif Tol dan Dampaknya
Peningkatan total volume transaksi di jalan tol secara keseluruhan meningkat pada periode sembilan bulan tahun ini sebesar 968.9 juta kendaraan atau naik 1,2% YoY. Kenaikan tarif Tol Jakarta-Cikampek sebesar 35% pada Maret 2024 berhasil mendongkrak pendapatan, meskipun volume kendaraan turun 0,6% YoY pada September 2024.
Kenaikan tarif lainnya, seperti Tol Jakarta-Tangerang yang naik 6,82% pada Oktober 2024, diharapkan mendukung pendapatan lebih lanjut di kuartal IV 2024. Atas kondisi tersebut, NH Korindo Sekuritas Indonesia mempertahankan rekomendasi BUY dengan Target Price Rp 6.450. Target harga mencerminkan rasio EV/EBITDA 8.5x pada 24F dengan potensi kenaikan 36,94%.
“Target ini didukung dengan proyeksi peningkatan pendapatan dan efisiensi biaya melalui divestasi. Risiko yang perlu diperhatikan berupa perubahan kebijakan regulasi, kenaikan beban bunga, dan ketidakstabilan ekonomi makro,” tulis Richard.
Tersengat Penurunan Suku Bunga dan Kebijakan Trump, Saham-Saham Ini Bisa Diperhatikan
Sebelumnya, Federal Reserve (The Fed) kembali mengumumkan pemangkasan suku bunga 25 basis poin atau 0,25% jadi 4,5-4,75%. Meskipun keputusan tersebut sesuai dengan prediksi pasar, namun penurunan suku bunga akan berdampak positif ke pasar saham dalam negeri. Termasuk emiten yang sensitif suku bunga, seperti perbankan.
Pemangkasan suku bunga AS yang diikuti penurunan imbal hasil (yield) Obligasi Pemerintah Amerika Serikat dan merosotnya indeks dolar telah mengerek rupiah naik jadi Rp 15.500.
Tim Analis Bareksa memprediksi pasar modal RI berpeluang rebound hari ini, karena aksi jual sepekan terakhir berpeluang mencapai level jenuh. Utamanya di saham-saham bank jumbo (big banks) yang kompak melemah pada Kamis (7/11) seiring Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang memerah akibat sentimen kemenangan Trump.
"IHSG turun 1,9% ke posisi 7.243,86 pada Kamis, seiring indeks LQ45 yang berisikan saham-saham unggulan merosot 1,6%. Saham bank jumbo yang memiliki bobot besar di IHSG juga memerah," mengutip laman Bareksa, Jumat (8/11/2024).
Mempertimbangkan kombinasi sentimen kemenangan Donald Trump dan pemangkasan suku bunga AS, Tim Analis Bareksa menyarankan agar investor tetap mencermati saham big banks, karena kinerja fundamentalnya hingga kuartal III 2014 tergolong baik. Karena itu, jika ada penurunan akibat sentimen jangka pendek, justru bisa dipertimbangkan untuk beli bertahap di harga bawah.
"Saham big banks tetap direkomendasikan beli dengan target harga masing-masing BBRI 6.200, BBCA 11.600, BMRI 8.250 dan BBNI 6.700," ulas Tim Riset Bareksa.
Advertisement
Hasil Rapat FOMC
Dalam pengumuman hasil rapat FOMC, Jerome Powell menyatakan pada kesempatan bahwa perekonomian AS saat ini dalam kondisi yang cukup baik. Tingkat pengangguran AS tetap berada pada level yang sehat yaitu 4,1% per Oktober 2024. Ekspektasi inflasi jangka panjang di AS tetap terjaga dengan baik.
"The Fed tidak memberikan arahan apa pun tentang arah suku bunga di masa mendatang, tetapi kami yakin masih ada potensi untuk penurunan FFR lebih lanjut," kata Chief Economist & Head of Research Mirae Asset Sekuritas Rully Arya Wisnubroto dalam risetnya.
Menurut Rully, The Fed akan tetap bergantung pada data dan terus memantau data ekonomi bulanan yang akan datang. Menurut dia, risiko utama ke depannya adalah potensi kenaikan inflasi dan ekspektasi inflasi yang tinggi karena kebijakan Trump dalam mengenakan tarif dan janjinya untuk mendeportasi sejumlah besar imigran ilegal, yang dapat mengurangi ruang bagi The Fed untuk memangkas suku bunga pada tahun 2025.