Sukses

The Fed Bakal Hati-Hati Pangkas Suku Bunga, Bagaimana Langkah BI?

Data ekonomi Amerika Serikat (AS) pekan lalu mendorong peluang the Fed memangkas suku bunga berkurang.

Liputan6.com, Jakarta - Pada pekan lalu, lebih banyak data ekonomi Amerika Serikat (AS) yang terungkap setelah keputusan bank sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed) memangkas suku bunga. Data ekonomi itu termasuk inflasi dan pasar tenaga kerja.

Mengutip riset PT Ashmore Asset Management Indonesia, Senin (18/11/2024), harga produsen dan konsumen sedikit meningkat. Selain itu, data klaim pengangguran awal juga sedikit naik dibandingkan pekan lalu, tetapi lebih baik dari yang diharapkan.

Di sisi lain, pidato Ketua The Fed Jerome Powell juga menunjukkan pandangan dan pendiriannya mengenai ekonomi dan suku bunga ke depan. The Fed meski tetap berkomitmen pada targetnya untuk menurunkan inflasi hingga 2 persen. Data inflasi pekan lalu menimbulkan kekhawatiran di pasar. Tercatat inflasi AS 2,4 persen pada Oktober 2024 dan inflasi inti 3,3 persen.

Ketua the Fed Jerome Powell memandang pertumbuhan ekonomi AS tetap kuat dan tidak perlu terburu-buru memangkas suku bunga.

“Dengan demikian, pasar telah menilai kembali kemungkinan pemangkasan suku bunga pada Desember. Data terbaru menunjukkan ekspektasi yang moderat dengan hanya sekitar 65 persen kemungkinan pemangkasan suku bunga dibandingkan dengan ekspektasi pada akhir Oktober sekitar 80 persen untuk pemangkasan suku bunga pada Desember,” demikian seperti dikutip.

Namun, Powell tetap yakin mengenai inflasi, dan fokus tetap pada pasar tenaga kerja. Sikap the Fed bergerak ke arah lebih netral karena pelonggaran masih menjadi lintasan utama untuk suku bunga.

 

 

 

2 dari 3 halaman

Dolar AS Menguat

“Dalam jangka pendek, kami telah melihat beberapa volatilitas dengan penguatan indeks dolar AS serta kenaikan imbal hasil obligasi AS. Di mana indeks dolar AS telah menguat 107 pekan lalu dan imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun dan 2 tahun telah masing-masing naik 4,42 persen dan 4,32 persen,” demikian seperti dikutip.

Ashmore menilai, hal ini bersifat sementara karena akan terjadi perubahan signifikan dalam lingkungan politik di AS dengan masa jabatan kedua Presiden Donald Trump.

Berdasarkan data historis, Ashmore melihat indeks dolar AS melemah dalam tahun pertama masa jabatan terakhirnya pada 2017 dari 102 menjadi 89. Hal ini seiring Donald Trump lebih suka dolar AS yang melemah untuk mendukung perusahaan domestik.

Sementara itu, dari domestik, jika suku bunga the Fed akan bergerak sesuai dengan harapan terbaru, mungkin ada beberapa risiko pemangkasan suku bunga oleh Bank Indonesia pada pertemuan pekan depan. Pasar berharap suku bunga stabil tetap 6 persen.

 

3 dari 3 halaman

Diversifikasi Investasi

Rupiah dan imbal hasil obligasi Indonesia alami beberapa volatilitas baru-baru ini. Indeks dolar AS telah menguat, dan rupiah melemah. Namun, rupiah mampu bertahan.

Sementara itu, meski imbal hasil obligasi telah meningkat sejalan dengan pergerakan imbal hasil global, jarak antara imbal hasil obligasi Indonesia dan AS terus menurun sejak September 2024. Imbal hasil obligasi AS naik sekitar 65 basis poin (bps), sedangkan imbal hasil obligasi Indonesia naik sekitar 45 bps.

"Kami melihat Bank Indonesia tetap memiliki alat yang diperlukan untuk mengatasi volatilitas dalam mata uang dan imbal hasil, dan yakin bank sentral dapat terus stabilkan ekonomi,”

Ashmore rekomendasikan diversifikasi dan memanfaatkan peluang untuk investasi di tengah kekhawatiran pasar seiring valuasi tetap murah.

Video Terkini