Sukses

Waspada Saham Gorengan dan Herd Mentality saat Investor Ritel Membludak

Dulu, pasar modal didominasi oleh investor institusi seperti reksa dana dan perusahaan asuransi. Kini, investor ritel, terutama dari kalangan milenial dan Gen Z, menunjukkan pertumbuhan signifikan.

Liputan6.com, Jakarta Investor ritel acap terjebak dalam fenomena “herd mentality” di mana banyak pihak membeli saham yang sedang ramai diperbincangkan, tanpa mempertimbangkan fundamental perusahaan. Kondisi demikian juga populer dikenal dengan istilah fear of missing out (FOMO).

Dulu, pasar modal didominasi oleh investor institusi seperti reksa dana dan perusahaan asuransi. Kini, investor ritel, terutama dari kalangan milenial dan Gen Z, menunjukkan pertumbuhan signifikan.

Berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), jumlah investor di pasar modal Indonesia mencapai 14,35 juta SID. Di mana 99,69 persen di antaranya merupakan investor individu atau ritel. Kelompok inilah yang rentan terjebak saham gorengan hingga menyebabkan portofolio investasi turun.

Dalam dunia investasi, tidak selalu tiap strategi menghasilkan cuan. Ada beberapa kondisi yang menyebabkan portofolio investasi turun, seperti 'nyangkut' di saham tertentu. Biasanya, investor yang mengalami saham nyangkut ini karena ikut -ikutan membeli saham gorengan, atau saham yang tiba-tiba naik signifikan.

Head of Investment Information Mirae Asset, Martha Christina tidak merekomendasikan investor khususnya pemula untuk membeli saham gorengan.

Sebab, investasi sebaiknya dilakukan dalam horizon waktu yang lama dan memilih saham yang memiliki prospek positif untuk jangka panjang.

Belajar Strategi

Untuk itu, Martha mengatakan investor perlu mempelajari strategi memilih saham agar tak terjebak saham gorengan. Pertama, investor bisa mencermati sektornya, mana yang memiliki prospek bagus untuk jangka panjang. Kemudian pilih saham dengan kinerja paling baik di sektor tersebut.

"Jadi selalu melihat sektornya. Pilih saham nomor 1 atau nomor 2 di sektornya, artinya pemain besar. Jadi kalau misalnya ngangkut itu ya balik lagi, ini sektornya masih bisa prospek atau enggak, lihat juga laporan keuangannya, kinerjanya seperti apa," kata Martha dikutip Kamis (5/12/2024).

Selain itu, bisa juga dicermati pergerakan saham lain yang masih satu sektor. Jika pergerakannya cenderung sama, artinya sektor tersebut memang sedang kurang bagus. Namun jika prospek jangka panjangnya masih ada pertumbuhan, Martha mengatakan investor bisa melakukan strategi average down atau beli secara bertahap saat harga turun.

Martha menjelaskan, ciri-ciri saham gorengan yang paling kentara adalah fluktuasi tinggi. Bersamaan dengan itu, frekuensi perdagangannya juga tinggi. Harga turun atau naik signifikan dalam waktu singkat, sementara tak ada berita atau kabar berkaitan dengan perusahaan. Untuk menghindari saham gorengan, Martha mengatakan investor harus disiplin.

"Jadi ketika misalnya kita berinvestasi, harus tetap dipantau sahamnya. Karena industri atau dunia sekarang itu tidak seperti dulu. Perusahaan sekarang industrinya bergerak sangat dinamis. Dalam 1-2 tahun kita tidak tahu industri mana yang tiba-tiba booming, kemudian tiba-tiba jatuh. Jadi ada baiknya selalu dipantau untuk investor," jelas Martha.

 

2 dari 2 halaman

Pasang Stop Loss

Kemudian, Martha juga menyarankan investor untuk pasang stop loss. Jadi kalau pilihan investasi sudah turun lebih dari 20%, ada baiknya dievaluasi ulang. "Jadi supaya membatasi kerugian kita di, paling tidak ya di 20%, karena kalau satu saham turun sudah lebih dari 20%, kita patut mempertanyakan ini ada apa," kata dia.

Direktur Pengembangan Bursa, Jeffrey Hendrik menegaskan investasi bukan sarana memupuk kekayaan secara instan. Untuk itu, dia meminta investor pemula atau yang berencana menjadi investor pasar modal untuk terlebih dahulu melakukan analisa.

"Menjadi investor saham itu bukan berarti Anda akan menjadi kaya dalam waktu yang singkat. Tidak ada cerita seperti itu. Artinya investor harus melakukan pekerjaan rumah (PR) sebagai investor, yaitu belajar," kata Jeffrey dalam pemberitaan sebelumnya.

Pernyataan Jeffrey merujuk pada fenomena investor pemula yang ngotot jadi day trader atau investor jangka pendek. Bukan tidak boleh, namun Jeffrey menegaskan investor harus mengetahui dan menguasai kompetensi untuk menjadi investor jangka panjang maupun investor jangka pendek.

"Pastikan Anda punya skill untuk menjadi seorang day trader. Skill yang dibutuhkan oleh seorang investor jangka panjang yang sangat memperhatikan fundamental itu berbeda dengan skill yang harus dimiliki oleh seorang investor yang memilih menjadi day trader. Itu harus dipahami oleh investor sebelum memutuskan apakah menjadi investor jangka panjang atau menjadi seorang day trader, pilihan itu bebas untuk dipilih," imbuh Jeffrey.

Video Terkini