Liputan6.com, Jakarta - Minat investasi di pasar modal terus tumbuh, terbukti dari tren peningkatan jumlah investor. Namun kondisi tersebut dibarengi dengan fenomena fear of missing out (FOMO). FOMO merupakan kondisi psikologis di mana seseorang takut melewatkan peluang yang dirasa menguntungkan.
Di pasar modal, fenomena ini kerap muncul ketika harga saham tertentu melonjak secara signifikan dalam waktu singkat, biasanya akibat euforia di media sosial atau rumor pasar.
Baca Juga
Alih-alih cuan, FOMO kerap menjerumuskan investor baru ke liang kerugian. Setelah harga saham gorengan dipompa (pump), pelaku manipulasi melakukan aksi jual besar-besaran (dump) untuk ambil untung, sehingga harga saham jatuh tajam.
Advertisement
Banyak investor ritel yang terlambat keluar dan akhirnya merugi. Kerugian bisa membuat investor ritel kehilangan kepercayaan diri dan bahkan trauma terhadap pasar modal. Ditambah, ketidaktahuan tentang apa yang menyebabkan kerugian sering membuat investor mengulangi kesalahan yang sama. Untuk menghindari kerugian akibat FOMO, ada beberapa langkah yang bisa diperhatikan.
Pertama, pelajari fundamental saham. Jangan hanya mengandalkan rumor atau rekomendasi influencer. Analisis laporan keuangan, kinerja perusahaan, dan prospeknya. Waspadai lonjakan harga tak wajar.
Jika harga saham naik drastis tanpa berita positif dari perusahaan, berhati-hatilah. Penting diingat, gunakan uang dengan bijak. jangan menggunakan seluruh dana untuk saham berisiko tinggi. Diversifikasi portofolio sangat penting. Hindari keputusan investasi berdasarkan emosi atau euforia pasar.
Tak kalah penting, edukasi diri sendiri dengan mengikuti pelatihan atau webinar tentang investasi, termasuk bagaimana mengenali saham gorengan. Jadi, alih-alih terbawa arus, selalu ingat prinsip investasi: “Do your own research” dan investasikan dengan bijak.
Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia, Jeffrey Hendrik menyebutkan, ada sejumlah catatan bagi calon investor atau investor pemula yang baru terjun di pasar modal. Pertama, Jeffrey menekankan pentingnya belajar. Sebab, menurut dia, tidak ada cara instan untuk menjadi sukses di pasar modal.
Melakukan Analisis
"Investor pemula harus belajar dan mengerjakan tugasnya sebagai investor. Yaitu melakukan analisis. Mengamati dan mengikuti perkembangan dari perusahaan yang dia miliki. Karena sebagai investor saham, mereka adalah pemilik perusahaan," kata Jeffrey dalam sesi edukasi wartawan pasar modal.
Beberapa investor pemula mungkin akan merasa bingung untuk memutuskan instrumen apa yang akan dipilih. Pun saat mereka memilih pasar saham kemungkinan juga akan galau memilih saham apa yang berpotensi beri cuan paling banyak. Pada kondisi ini, Jeffrey menegaskan agar investor membeli saham perusahaan yang mereka ketahui, alih-alih hanya ikut arus atau tren.
"Pastikan membeli perusahaan-perusahaan yang dipahami. Tidak ikut-ikut atau tadi istilahnya itu FOMO (fear of missing out). Jadi tidak ikut-ikutan. Lakukan tugas sebagai seorang investor yaitu melakukan analisis," imbuh Jeffrey.
Advertisement
Langkah BEI
Sebelumnya, Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) di kalangan investor ritel terus menjadi perhatian dalam dunia pasar modal. Khawatir ketinggalan untung besar, banyak investor ritel tergiur membeli saham yang sedang ramai diperbincangkan. Namun alih-alih meraih cuan, tidak sedikit yang akhirnya terjebak dalam permainan saham gorengan dan mengalami kerugian besar.
Jumlah investor pasar modal naik signifikan bersamaan dengan pandemi Covid-19 yang berlangsung sekitar 2020-2022 lalu. Sebagai perbandingan, jumlah investor pasar modal pada 2019 hanya sebanyak 2,48 juta SID.
Pada akhir 2020, angka investor naik menjadi 3,88 SID, dan mencapai 7,5 juta ISD pada akhir 2021. Angka itu terus tumbuh, berdasarkan data Bursa, jumlah investor di pasar modal Indonesia mencapai 14,5 juta SID.
"Saat ini jumlah investor pasar modal kita 14,5 juta investor. 6,2 juta di antaranya adalah investor saham. Investor pasar modal sepanjang tahun 2024 ini bertambah 2,4 juta dan investor saham bertambah 1 juta investor," kata Direktur Pengembangan BEI, Jeffrey Hendrik kepada Liputan6.com, Kamis (5/12/2024).
FOMO sendiri merupakan kondisi psikologis di mana seseorang takut melewatkan peluang yang dirasa menguntungkan. Di pasar modal, fenomena ini kerap muncul ketika harga saham tertentu melonjak secara signifikan dalam waktu singkat, biasanya akibat euforia di media sosial atau rumor pasar.
Sementara saham gorengan adalah saham dengan kapitalisasi pasar kecil dan likuiditas rendah, tetapi harganya tiba-tiba melonjak drastis akibat manipulasi pasar. Biasanya, saham gorengan banyak dibahas di media sosial atau grup diskusi.
Tingkatkan Edukasi dan Regulasi
Untuk melindungi investor ritel dari risiko berlebihan, pemerintah dan otoritas pasar modal telah meningkatkan edukasi dan regulasi. BEI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) rutin mengadakan webinar, kelas online, dan kampanye seperti Yuk Nabung Saham.
"BEI bekerjasama dengan lebih dari 900 Perguruan Tinggi di Indonesia melalui Galeri Investasi, melakukan edukasi dan sosialisasi pasar modal kepada anak muda dan masyarakat agar masyarakat bisa ikut menikmati potensi pertumbuhan pasar modal Indonesia yang terus tumbuh," ungkap Jeffrey.
Kampanye "Aku Investor Saham" memberikan kebanggan kepada anak muda dan menyampaikan pesan inklusif kalau setiap orang bisa jadi investor. "Sepanjang tahun 2024 ini sudah lebih dari 20.000 kegiatan edukasi dilakukan," ungkap Jeffrey.
Advertisement
Influencers Incubator
Sejak 2019, Bursa Efek Indonesia (BEI) rupanya telah memiliki program influencers incubator. BEI menilai peran pesohor ini mampu menjadi salah satu corong edukasi mengenai pasar modal kepada khalayak.
Mulanya, BEI hanya menggandengan selebriti yang acap munucl di televisi. Namun, seiring dengan perkembangannya, influencer tersebut mencakup selebriti instagram (selebgram) hingga youtuber. Dalam program ini, BEI terlebih dahulu memberikan edukasi kepada influencer sebelum disebarluaskan dan diterima oleh followers atau pengikut.
"Untuk influencer incubator saat ini kami banyak update dan diskusi produk baru seperti single stock future (SSF)," kata Jeffrey.
Diakui Jeffrey, Bursa tidak bisa memantau satu per satu aktivitas influencer saham. Bursa saat ini juga tidak bisa menindak influencer nakal yang rugikan investor pengikutnya. Namun bukan berarti tak ada upaya untuk meminimalisir kerugian. BEI juga secara rutin memberikan sosialisasi dan edukasi langsung kepada publik.
Tahun lalu saja, tidak kurang dari 13 ribu kegiatan yang menjangkau lebih dari 5 juta orang dilakukan oleh BEI bersama dengan para stakeholders.
"Jadi Bursa tidak punya kewenangan untuk menindak, untuk menangkap dan lain-lain. Kewenangan itu ada di OJK. Tetapi yang pasti adalah publik harus tahu kalau pihak-pihak yang melakukan pengelolaan dana publik haruslah pihak-pihak yang punya izin," tandas Jeffry.