Liputan6.com, Jakarta - PT Pan Brothers Tbk (PBRX) mendapat persetujuan homologasi dari para krediturnya untuk merestrukturisasi utang. Pan Brothers beserta dua anak usahanya yaitu PT Eco Smart Garmen dan PT Prima Sejati Sejahtera resmi terbebas dari penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang sebelumnya diajukan oleh PT Indo Bharat Rayon, medio Mei lalu.
Melansir keterbukaan informasi, Selasa (24/12/2024), perseroan menyebut persetujuan tersebut ditetapkan usai perseroan dengan para kreditur menggelar rapat pada 18 Desember 2024. Adapun putusan homologasi dibacakan pada rapat konsultatif 23 Desember 2024.
Putusan tersebut menghukum Pan Brothers dan anak usahanya untuk mematuhi perjanjian homologasi dan membayar biaya perkara dalam proses PKPU senilai Rp 8,09 juta.
Advertisement
Utang yang menjadi penyelesaian yaitu obligasi senilai USD 171,1 juta yang jatuh tempo pada Desember 2025 serta fasilitas sindikasi sebesar USD 138,4 juta. Restrukturisasi utang tersebut memangkas utang dari yang semula sekitar USD 395 juta menjadi hanya sebesar USD 140 juta, dengan berbagai skema restrukturisasi bersama kreditur.
Perseroan juga mengungkapkan kegiatan usaha dan operasional perseroan akan tetap berjalan normal. Perseroan juga berkomitmen untuk menjaga kelangsungan operasional dan memberikan pelayanan optimal bagi pemangku kepentingan.
PPN Naik jadi 12%, Industri Tekstil Ketar-Ketir
Sebelumnya, Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI) memprotes rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen. Kenaikan ini lantaran sepenuhnya dibebankan pada konsumen akhir.
"Dalam hitungan kami, ketika PPN dikenakan 11 persen, maka sebenarnya PPN yang terbeban pada konsumen akhir itu sebesar 19,8 persen, karena rantai nilai tekstil itu panjang dimana setiap pembayaran pajak yang dikeluarkan oleh setiap subsektor akan dibebankan pada harga barang. Jika PPN dinaikan menjadi 12 persen maka beban konsumen akhir menjadi 21,6 persen dari harga barang sebenarnya," kata Direktur Eksekutif YKTI, Ardiman Pribadi, Senin (25/11/2024).
Ardiman menilai di tengah kondisi daya beli masyarakat yang sedang menurun, dikhawatirkan kenaikan PPN ini akan berimbas pada turunnya konsumsi tekstil masyarakat, sehingga tujuan pemerintah untuk menerima pemasukan yang lebih besar justru menjadi kontra produktif karena turunnya konsumsi tekstil masyarakat akan mengakibatkan turunnya penjualan industri tekstil. Oleh karena itu, YKTI menyarankan agar Kementerian Keuangan (Kemenkeu) fokus memberantas impor ilegal.
"Kalau kita hitung dari data selisih perdagangan TPT di trade map, dalam 5 tahun terakhir diperkirakan penerimaan negara hilang Rp46 triliun karena gap perdagangannya capai USD7,2 milir atau sekitar Rp106 triliun nilai barang yang tidak bayar Bea Masuk, PPN dan PPh” jelas Ardiman.
Menurut dia, asal impor ilegal diberantas, penerimaan negara dari TPT akan naik Rp9 triliun pertahun tanpa harus menaikan PPN.
Di sisi lain, pemberantasan importasi ilegal juga akan menggairahkan kembali bisnis produksi TPT ditanah air sehingga pabrik-pabrik tekstil akan meningkatkan utilisasi produksinya, kembali beroperasi dan menyerap tenaga kerja hingga mempekerjakan tambahan karyawan.
"Masyarakat yang bekerja dan berpenghasilan secara otomatis akan meningkatkan daya beli dan konsumsi, nah disini baru pemerintah akan mendapatkan imbasnya di PPN," ujar dia.
Advertisement
Tarif PPN 2025 Naik Jadi 12%, Indef Beri Catatan
Sebelumnya, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memberikan sejumlah catatan kepada pemerintah. Menyusul kebijakan menaikan tarif pajak pertambahan nilai alias PPN 2025 menjadi 12 persen.
Direktur Eksekutif INDEF Esther Sri Astuti menilai, untuk sementara kenaikan tarif PPN 2025 belum akan berdampak positif. Khususnya terkait potensi penerimaan negara, imbas tingkat daya beli masyarakat yang berpotensi terganggu.
"Kemungkinan tax revenue tidak tercapai karena daya beli melemah. Jika tercapai pun juga akan menurunkan volume penjualan, akan membuat produksi berkurang, dan akhirnya produsen akan melakukan efisiensi," ujarnya kepada Liputan6.com, Minggu (24/11/2024).
INDEF memperkirakan, kenaikan 1 persen dari 11 persen menjadi PPN 12 persen berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi 0,02 persen. Disebabkan kenaikan PPN akan meningkatkan biaya produksi dan konsumsi. Sehingga akan memperlemah daya beli, sehingga utilisasi dan penjualan pun melemah.
"Akibatnya penyerapan tenaga kerja menurun dan pendapatan pun akan menurun. Yang berakibat menurunkan konsumsi dan menghambat pemulihan ekonomi, serta pada akhirnya pendapatan negara akan menurun," ungkapnya.
Kenaikan PPN
Secara umum, Esther menyimpulkan kenaikan PPN (single tarif) akan menyebabkan semakin menurunnya daya saing industri, karena biaya produksi meningkat. "Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan skema multi tarif," imbuhnya.
Selanjutnya, secara makro kenaikan PPN akan menyebabkan penurunan daya beli di tengah inflasi pangan yang relatif lebih tinggi. Semakin melemahnya daya beli masyarakat akan berdampak pula pada penurunan penjualan dan utilisasi industri.
Seiring dengan kenaikan PPN, terjadi peningkatan biaya di saat permintaan melambat. Maka dikhawatirkan akan terjadi penyesuaian dalam input produksi, termasuk penyesuaian penggunaan tenaga kerja. "Hal ini akan berdampak terhadap penerimaan PPh yang terancam menurun," Esther menambahkan.
Advertisement