Liputan6.com, Jakarta - Saham Apple (AAPL) mencapai titik tertinggi intraday sepanjang masa pada Kamis setelah ada tanda-tanda kepercayaan terhadap kenaikan berkelanjutan dari Wall Street.
Analis Wedbush Dan Ives menaikkan target harga saham Apple ke level tertinggi baru di Wall Street sebesar USD 325, mengantisipasi "era keemasan pertumbuhan” bagi raksasa teknologi yang dipimpin Tim Cook tersebut pada 2025.
"Kami percaya Apple tengah menuju siklus pemutakhiran iPhone berbasis AI multi-tahun yang masih diremehkan oleh Wall Street," tulis Ives, dikutip dari Yahoo Finance, Jumat (27/12/2024).
Advertisement
"Roma tidak dibangun dalam sehari dan strategi AI Apple juga tidak akan dibangun dalam sehari, tetapi benih-benih strategi tersebut dengan Apple Intelligence kini mulai terbentuk dan akan mengubah narasi pertumbuhan konsumen Apple selama beberapa tahun mendatang," Ives menambahkan.
Saham Apple menyentuh USD 260 pada Kamis pagi, rekor tertinggi intraday, sebelum sedikit memangkas kenaikan. Saham tersebut masih berada di jalur untuk mencetak rekor penutupan lainnya setelah mencapai level tertinggi USD 258,20 pada Malam Natal.
Saham telah naik lebih dari 11% selama sebulan terakhir, dan pembuat iPhone tersebut mendekati kapitalisasi pasar USD 4 triliun. Apple menutup 2024 dengan kemenangan beruntun setelah awal tahun yang sulit.
Apple menghadapi penjualan iPhone yang menurun, meningkatnya persaingan di Tiongkok, dan bentrokan dengan regulator anti monopoli di dalam dan luar negeri.
Data awal dari peluncuran awal jajaran iPhone 16 Apple tidak banyak membantu meningkatkan keyakinan Wall Street, dengan perusahaan investasi Jefferies (JEF) mengeluarkan penurunan peringkat yang jarang terjadi pada saham tersebut.
Analis lain, termasuk Ives, tetap optimistis terhadap saham tersebut karena data pengiriman iPhone yang lebih positif menumbuhkan kepercayaan pada strategi kecerdasan buatan Apple untuk perangkat konsumennya.
Laporan laba kuartal keempat Apple pada awal November menunjukkan raksasa teknologi itu mengalahkan ekspektasi penjualan iPhone, meskipun secara keseluruhan meleset dari estimasi.
Sentimen The Fed
Saham mulai menanjak pada awal November ke level tertinggi baru saat Apple luncurkan jajaran MacBook Pro baru dan, pada pertengahan Desember, menambahkan ChatGPT dan fitur-fitur Apple Intelligence AI lainnya untuk iPhone, iPad, dan macOS. Apple telah mengungguli beberapa pesaingnya yang disebut Magnificent Seven selama bulan lalu.
Sementara saham Apple telah naik lebih dari 11% selama jangka waktu tersebut, Meta (META) naik 6,7%, Microsoft (MSFT) naik 4,4%, Nvidia (NVDA) melonjak 1%.
Namun, ketidakpastian ekonomi makro dapat menimbulkan hambatan bagi Apple. Tarif Trump terhadap Tiongkok dapat mempengaruhi harga produk Apple yang dirakit di negara tersebut, dengan skenario terburuk akan menambah biaya sebesar USD 256 per iPhone.
Proyeksi Federal Reserve AS kalau akan menurunkan suku bunga lebih rendah dari yang diharapkan pada 2025 juga menyebabkan kekhawatiran akan suku bunga yang lebih tinggi dan inflasi yang tinggi, sehingga mengurangi kepercayaan konsumen menjelang tahun baru.
Advertisement
Jual Saham Apple hingga Bank of America, Warren Buffett Genggam Uang Tembus Rp 5.141 Triliun
Sebelumnya, tumpukan uang tunai perusahaan investasi milik Warren Buffett Berkshire Hathaway melonjak hingga USD 325,2 miliar atau sekitar Rp 5.141 triliun (asumsi kurs dolar AS 15.810 terhadap rupiah)pada akhir kuartal ketiga, naik dari USD 276,9 miliar pada kuartal sebelumnya.
Dikutip dari CNBC pada Kamis (6/11/2024), peningkatan ini terjadi karena CEO Berkshire Hathaway, Warren Buffett terus menjual saham-sahamnya dan menahan diri untuk membeli kembali saham. Berdasarkan laporan pendapatan yang dirilis Sabtu pagi, lonjakan uang kas ini terjadi karena "Oracle of Omaha" menjual sebagian besar saham besar seperti Apple dan Bank of America.
Perusahaan ini menjual sekitar seperempat dari kepemilikan saham Apple pada kuartal ketiga, menandai kuartal keempat berturut-turut mereka mengurangi kepemilikan ini. Sejak pertengahan Juli, Berkshire juga meraup lebih dari USD 10 miliar dari penjualan saham Bank of America. Secara total, Buffett menjual saham senilai USD 36,1 miliar pada kuartal ketiga, menunjukkan strategi konservatifnya di pasar saham.
Pada kuartal ketiga ini, Berkshire tidak melakukan pembelian kembali saham perusahaan mana pun, di tengah tingginya aksi jual. Aktivitas pembelian kembali saham memang sudah mulai melambat sejak awal tahun.
Hanya ada pembelian kembali senilai USD 345 juta pada kuartal kedua, jauh lebih rendah dari USD 2 miliar pada kuartal-kuartal sebelumnya. Berkshire menyatakan bahwa pembelian kembali hanya dilakukan jika Buffett "yakin harga pembelian kembali berada di bawah nilai intrinsik Berkshire."
Kapitalisasi Pasar Berkshire Lampaui USD 1 triliun
Saham Kelas A Berkshire sendiri naik 25% sepanjang tahun ini, lebih tinggi dari kenaikan S&P 500 yang mencapai 20,1%. Dengan pencapaian ini, kapitalisasi pasar Berkshire melampaui USD 1 triliun pada kuartal ketiga.
Pada kuartal ketiga, laba operasional Berkshire yang mencakup laba dari bisnis yang sepenuhnya dimiliki konglomerat itu mencapai total USD 10,1 miliar. Angka ini turun 6% dari tahun sebelumnya dikarenakan lemahnya penjaminan asuransi, dan sedikit lebih rendah dari perkiraan analis FactSet.
Pendekatan konservatif Buffett muncul di tengah pasar saham yang naik cukup tinggi tahun ini. Banyak pelaku pasar berharap ekonomi AS akan tetap stabil di tengah turunnya inflasi dan ekspektasi the Federal Reserve akan terus menurunkan suku bunga. Namun, suku bunga belum sepenuhnya stabil, dengan imbal hasil Treasury 10 tahun kembali naik di atas 4% bulan lalu.
Beberapa investor besar, seperti Paul Tudor Jones, mulai khawatir tentang defisit fiskal yang terus membengkak, sementara tidak ada tanda-tanda pengurangan pengeluaran dari kedua kandidat presiden AS yang akan bertarung dalam pemilihan. Buffett juga mengindikasikan bahwa dia mungkin akan menjual sebagian sahamnya jika pajak atas keuntungan modal meningkat untuk menutupi defisit pemerintah yang semakin besar.
Advertisement