Sukses

Kebijakan The Fed hingga Donald Trump Bayangi Indonesia

Presiden Terpilih AS Donald Trump yang menjabat untuk kedua kalinya diprediksi bawa situasi yang berbeda.

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia akan hadapi tantangan sebagian besar dari faktor eksternal terutama Amerika Serikat.

Mengutip riset PT Ashmore Asset Management Indonesia, ditulis Selasa (7/1/2025), tantangan saat ini bagi Indonesia terutama mengenai jalur pemangkasan dan kecepatan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) serta dampak dan implementasi kebijakan Presiden Terpilih Donald Trump.

"Suku bunga telah mengalami gangguan besar dengan ekspektasi yang tidak stabil terhadap pemotongan suku bunga sejak 2023, karena titik data utama di AS alami perubahan,” demikian seperti dikutip.

Namun, Ashmore melihat dimulainya pemangkasan suku bunga dan akan terus berlanjut karena the Fed telah memperoleh kepercayaan yang cukup dalam dalam mengendalikan inflasi dan data tenaga kerja baru-baru ini telah kondusif untuk lebih banyak pemangkasan suku bunga.

"Pasar tetap optimis terhadap AS dengan kebijakan yang diperhitungkan dengan baik untuk saham AS. Namun, di situlah letak risikonya karena masa jabatan Presiden Trump mendatang akan membawa situasi yang sangat berbeda dibandingkan masa jabatan pertamanya,”

Setelah inflasi rendah dengan rata-rata 1,1 dari 2013-2016, periode pertama Donald Trump alami inflasi lebih tinggi dengan rata-rata sekitar 1,9 persen dari 2017-2020 meski inflasi rendah setelah pandemi COVID-19.

Sementara itu, di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden dari 2021-2029, rata-rata inflasi AS sekitar 4,9 persen yang mendorong bank sentral untuk adopsi kebijakan moneter yang ketat.

“Data inflasi tahunan terbesar sebesar 2,7 persen tetap berada di atas rata-rata historis dan Donald Trump mungkin perlu bertindak lebih hati-hati dalam lingkungan saat ini terutama dalam menerapkan kebijakan inflasi seperti tarif,” demikian seperti dikutip.

Melihat suku bunga, masa jabatan pertama Donald Trump dimulai setelah melihat periode suku bunga rendah yang sangat panjang 0,25 persen-0,75 persen.

 

 

2 dari 3 halaman

Sentimen Suku Bunga

Di mana suku bunga diharapkan meningkat secara bertahap dengan penguatan ekonomi dan masa jabatan pertama Donald Trump melihat rata-rata suku bunga di 1,46 persen meski ada pemangkasan suku bunga karena pandemi pada 2020.

“Namun, situasi saat ini adalah sebaliknya di mana suku bunga baru-baru ini mulai mengalami pemotongan karena tekanan inflasi mulai mendingin setelah pemerintahan Biden dan rata-rata suku bunag di 3,15 persen setelah kenaikan suku bunga yang besar dan cepat dari 2022-2023,” demikian seperti dikutip.

Ashmore juga melihat tren lain kalau Donald Trump lebih menyukai dolar AS yang lebih lemah untuk mendukung daya saing ekspor AS.

"Dengan demikian, kita mungkin melihat tekanan pada greenback secara bertahap dari level saat ini yang secara historis tetap tinggi,” ujar dia.

 

 

3 dari 3 halaman

Dampak Perlambatan Ekonomi China

Dalam jangka pendek, Ashmore berharap akan melihat sentimen positif yang berkelanjutan terhadap AS. Akan tetapi, Donald Trump dapat bertindak dengan tak terduga setelah pelantikannya.

“Perlambatan di China sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia juga dapat memiliki efek negatif ke AS, sedangkan tarif ke China dapat menjadi peluang bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk menjadi tempat terdekat untuk produksi,”.

Hal itu akan menjadi katalis positif bagi pertumbuhan domestik Indonesia sejalan dengan tujuan Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang kuat dimulai dengan penanaman modal asing langsung.

Ashmore melihat aliran dana ke pasar saham akan melambat dalam jangka pendek. “Kami yakin ini tetap menjadi peluang untuk membeli saham Indonesia karena ada kenaikan risiko lebih besar dalam jangka panjang,” demikian seperti dikutip.

Selain itu, imbal hasil obligasi di Indonesia tetap stabil tetapi imbal hasil obligasi AS tetap tinggi sehingga spread menjadi terendah secara historis. “Namun, kami tetap positif terhadap utang Indonesia karena pemerintah tetap berhati-hati secara fiskal dan penerbitan obligasi akan tetap ketat,”

Video Terkini