Liputan6.com, Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jeblok lebih dari 5% pada perdagangan hari ini, Selasa 18 Maret 2025. Akibat penurunan tersebut, perdagangan Bursa saham sempat mengalami penghentian sementara atau trading halt.
Penurunan ini terjadi di saat bursa regional mengalami penguatan. Misalnya, Nikkei naik 1,39%, Hang Seng naik 1,82%, dan Shanghai naik 0, 09%. Secara eksternal, Pengamat Pasar Modal sekaligus Founder Stocknow.id, Hendra Wardhana menilai ketidakpastian kebijakan The Fed mengenai suku bunga menjadi faktor utama yang mempengaruhi sentimen pasar.
Jika inflasi AS masih tinggi, maka pemangkasan suku bunga bisa tertunda, yang membuat aset berisiko seperti saham menjadi kurang menarik. Selain itu, dalam tiga minggu terakhir, pasar saham AS kehilangan nilai hingga USD 5,28 triliun, menambah tekanan pada pasar Asia, termasuk Indonesia.
Advertisement
"Investor global lebih berhati-hati dalam mengalokasikan dana, sehingga aliran modal ke pasar negara berkembang seperti Indonesia pun ikut terhambat," kata Hendra kepada Liputan6.com, Selasa (18/3/2025).
Defisit APBN hingga Momok PHK
Di dalam negeri, tekanan terhadap IHSG semakin kuat akibat berbagai faktor ekonomi. Sepanjang 2025, investor asing telah mencatatkan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 26,04 triliun, termasuk Rp 1,77 triliun hanya dalam sepekan terakhir.
"Hal ini menandakan kepercayaan investor asing terhadap pasar Indonesia sedang menurun," kata Hendra.
Selain itu, defisit APBN per Februari 2025 tercatat Rp 31,2 triliun, dengan pembayaran bunga utang mencapai Rp 79,3 triliun dalam dua bulan pertama. Menurut Hendra, kenaikan beban utang ini dapat menghambat belanja produktif pemerintah, sehingga ekonomi tidak mendapat dorongan optimal.
Sektor riil juga menghadapi tekanan besar, terlihat dari maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) serta meningkatnya kredit macet (NPL) yang naik menjadi 2,17% pada Januari 2025 dari 1,9% di 2024. Ini menjadi indikator bahwa daya beli masyarakat melemah dan risiko perbankan meningkat. Di sisi lain, kurs rupiah yang terus melemah menambah tekanan bagi perusahaan yang memiliki eksposur utang dalam dolar AS.
Di sisi lain, belakangan mencuat kabar Sri Mulyani berencana mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menteri Keuangan (Menkeu) RI. Pasar kemungkinan juga merespon hal itu. Pasalnya, kabar pengunduran diri bendahara negara itu terjadi di tengah data ekonomi RI yang sedang tidak bagus.
Aksi Jual Emiten Big Cap
IHSG juga tertekan oleh aksi jual pada saham-saham berkapitalisasi besar yang menjadi penopang indeks. Saham DCII anjlok 20%, TPIA turun 19,92%, BREN melemah 15,46%, sementara saham perbankan seperti BMRI turun 5,98%, BBRI melemah 4,44%, dan BBNI terkoreksi 5,08%.
"Kombinasi pelemahan saham sektor perbankan dan konglomerasi dengan bobot terbesar dalam indeks menjadikan IHSG kehilangan daya tahan di tengah tekanan sentimen negatif," ulas Hendra.
Dari sisi teknikal, IHSG masih berada dalam tren bearish dan berpotensi menguji level psikologis 6.000 dalam beberapa hari ke depan. Meski demikian, ada peluang pemulihan jika beberapa faktor utama membaik, seperti stabilitas kebijakan ekonomi pemerintah, kepastian arah suku bunga global, serta masuknya kembali dana asing ke pasar saham Indonesia.
"Namun, saat ini, pasar masih berada dalam fase penyesuaian dan menunggu kepastian lebih lanjut terkait kondisi makroekonomi," kata Hendra.
Advertisement
IHSG Anjlok, Indikasi Ekonomi Tidak Baik-Baik Saja
"IHSG yang anjlok lebih dari 5% menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia saat ini tidak dalam kondisi baik-baik saja. Investor asing mulai kehilangan kepercayaan akibat kombinasi faktor global dan domestik," ujar Hendra.
Meski demikian, pasar saham bersifat siklikal. Jika kebijakan ekonomi lebih stabil dan investor melihat prospek keuntungan yang lebih menarik, bukan tidak mungkin dana asing akan kembali mengalir ke Indonesia. Sehingga bisa membawa IHSG kembali ke jalur pemulihan.