Sukses

Begini Penyebab Rupiah `Loyo` dan IHSG `Memerah`

Perekonomian negara-negara berkembang kembali mendapat tekanan akibat rencana percepatan penghentian stimulus moneter Bank Sentral AS.

Perekonomian negara-negara berkembang kembali mendapat tekanan akibat rencana percepatan penghentian stimulus moneter (Quantitative Easing/QE) oleh Bank sentral Amerika “The Fed”.

Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Firman seperti mengutip situs resmi Sekretaris Kabinet di Jakarta, Rabu (28/8/2013) mengatakan, penggelontoran dana sebesar US$ 85 miliar per bulan yang dilakukan The Fed sejak September 2012 direncanakan dihentikan lebih cepat mengingat sejumlah indikator membaiknya perekonomian negara tersebut.

QE merupakan kebijakan pembelian SUN (US treasury bonds) dan obligasi korporasi yang dibiayai dengan mencetak uang yang disuntikkan ke pasar.

Tujuannya adalah pertama, mengembalikan kredibilitas kebijakan pemerintah. Kedua, menarik kembali investasi masuk ke pasar dan ketiga, sebagai upaya menyeimbangkan portofolio asset.

"Quantitative Easing merupakan kebijakan moneter tidak lazim (Unconventional monetary policy/UMP) untuk menambah likuiditas pasar yang dilakukan banyak negara-negara maju sejak lama. Amerika sendiri pertama kali melakukan QE di tahun 1930 ketika terjadi resesi global," ungkap dia.

Firman melanjutkan, pasca krisis Subrpime-Mortgage pada tahun 2008, Amerika Serikat telah melakukan kebijakan QE secara bertahap mulai QE pertama (Maret 2009-maret 2010), QE II (November 2010-2011) dan QE III (dari mulai September 2012).

"Efek limpahan (Spillover effect) dari rencana percepatan penghentian QE III terlihat semakin menekan ekonomi negara-negara berkembang khususnya di Asia," tambah Firman.

Sejak awal Juni 2013 indeks pasar saham Indonesia telah turun 10%, Filipina 12%, Thailand 11%, China 10%, dan Korea Selatan 9%. Aksi jual saham dan surat utang secara besar-besaran di Asia menyebabkan penguatan dolar terhadap sejumlah mata uang Asia.

"Dolar AS menguat terhadap Rupee India, Peso Filipina, Baht Thailand, tidak terkecuali Rupiah," tagas Firman.

Menurutnya, QE pada dasarnya tidak mencetak uang riil namun hanya mengkreditkan sejumlah dana pada pasar uang dan pasar modal yang kemudian digunakan untuk membeli obligasi.

Dengan QE, The Fed berharap konsumsi domestik dapat meningkat sehingga mampu menggerakkan kembali perekonomian AS. Selain itu dengan QE, utang korporasi yang terus meningkat dapat dengan perlahan dilunasi.

Namun dalam perjalanannya, QE (baik I maupun II) dinilai belum mampu atasi krisis oleh banyak ekonom dunia termasuk Paul Krugman.  

"QE I dan II, ternyata tidak mampu membawa Amerika keluar dari beban utang dan defisit fiskal yang terus meningkat," ujarnya.

Namun, rencana penghentian QE, saat ini, menciptakan goncangan di pasar uang di banyak negara. Pada sesi penutupan Kamis (22/8/2013), hampir seluruh mata uang di Asia berjatuhan terhadap dolar AS, demikian juga dengan saham-saham di bursa Asia.

Mata uang India yaitu Rupee terjun ke level terendahnya menyentuh level 65,56 rupee per US$ 1. Lalu mata uang Thailand yaitu bath juga melemah mencapai 32,01 baht per US$ 1, Rupiah menyentuh Rp 10.825 per US$1 .

Selain itu, bursa-bursa saham Asia juga  melemah. Bursa saham di Indonesia jatuh 1,1 % (47,03 poin) ke level 4.171,41. Bursa Tokyo ditutup turun 0,44 % (59,16 poin) ke level 13.365,17.

Bursa saham Seoul turun 0,98 % (18,34 poin) ke level 1.849,12. Kemudian bursa saham Sydney turun 0,48 % (24,3 poin) ke level 5.075,7. Bursa saham Shanghai turun 0,28 % (5,84 poin) ke level 2.067,12. (Pew/Nur)

Video Terkini