Sukses

Analis: Cermati Sektor Saham Defensif

Analis menilai, saham Indonesia terkena paling parah volatilitas pasar saham baru-baru ini. Meski demikian, ada saham yang masih menarik.

Analis menilai, saham Indonesia terkena paling parah volatilitas pasar saham baru-baru ini. Meski demikian, ada saham yang masih menarik.

"Beberapa tahun lalu, itu sangat mudah untuk bullish bagi Indonesia. Saat ini, sangat mudah bagi Indonesia untuk turun," ujar Wellian Wiranto, Asian Investment Strategist Barclays, demikian mengutip dari CNBC, Rabu (2/10/2013).

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) telah turun 17% dari level tertinggi pada Mei 2013. Hal itu didorong sentimen bank sentral Amerika Serikat, the Federal Reserve akan mulai melakukan pengurangan stimulus moneter. Sentimen tersebut berdampak ke bursa saham global.

Akan tetapi, indeks saham kembali pulih 13% dari Agustus. Sementara itu, nilai tukar rupiah turun 2,6% pada tahun ini. Mata utang rupiah termasuk paling buruk penurunan. Nilai tukar rupiah melemah 20% terhadap dolar Amerika Serikat pada tahun ini.

Sejumlah dana pun telah kembali ke Indonesia, dengan nilai US$ 78 juta masuk di saham pada akhir September 2013. Hal itu berdasarkan data ANZ.

"Kami masih berhadapan dengan fundamental. Kami masih melihat cerita pasar tenaga kerja dan konsumsi, dan seperempat miliar orang masuk dalam setiap jenis iklim ekonomi," kata Wiranto.

Adapun Barclays mencari saham defensif, berkapitalisasi besar khususnya segmen telekomunikasi dan konsumsi. "Beberapa telah dijual. Meski pun sudah ada beberapa pemulihan sejak September mengenai keputusan the Federal Reserve untuk menunda pembelian aset," kata Wiranto.

Sementara itu, pelaku pasar lain juga berhati-hati untuk masuk ke pasar. "Dalam empat bulan ada peluang turun, resiko laba kinerja emiten dan ketidakpastian makro ekonomi menunjukkan mungkin terlalu dini untuk pemulihan," ujar Erwan Teguh, Kepala Riset CIMB, dalam sebuah laporan.

Dalam laporannya itu, netral untuk Indonesia. Pihaknya mengharapkan kenaikan untuk pasar saham. Meski demikian, Erwan mencatat, negara memiliki utang rumah tangga rendah, pendapatan naik dan program kesehatan dimulai pada 2014.  Pengeluaran konsumen diharapkan meningkat meski suku bunga dan mata uang lemah.

Saham-saham yang menjadi pilihan antara lain saham defensif termasuk PT Kalbe Farma Tbk, PT Perusahaan Gas Negara Tbk. Sementara itu, perusahaan properti seperti PT Alam Sutera Property Tbk (ASRI), PT Ciputra Development Tbk (CTRA), dan PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) memiliki nilai.

Untuk perusahaan baik dengan nilai wajar, saham PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk, dan PT Semen Indonesia Tbk menjadi pilihan.

Sedangkan Credit Suisse menyarankan posisi kompleks di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang diturunkan dan defisit besar menjadi masalah. Inflasi tinggi dan ketergantungan besar terhadap aliran portofolio akan bertahan hingga 2014.

Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi global yang positif diharapkan dapat memberikan rangsangan untuk pasar saham Indonesia.  Dengan peningkatan konsumsi dan pertumbuhan ekonomi, sektor saham bank, telekomunikasi dan konsumer dapat diperhatikan pelaku pasar. Saham Erajaya, Electronic CIty, dan PT Astra International Tbk pun menjadi pilihan.(Amh/Igw)