Sukses

Tapering, Rupiah dan Defisit Hantui Pasar Modal RI

Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak fluktukaktif sepanjang 2013 diwarnai sentimen tapering The Fed dan makro ekonomi RI.

Memasuki tahun 2014 tinggal menghitung hari, transaksi perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) pun hanya tersisa dua hari saja. Situasi ekonomi global terutama Amerika Serikat dan makro ekonomi dalam negeri telah memberikan sentimen utama terhadap pasar modal Indonesia sepanjang 2013.

Transaksi perdagangan saham di pasar modal Indonesia memasuki babak baru pada awal tahun 2013. Otoritas bursa memajukan jam perdagangan saham menjadi pukul 09.00 WIB dari sebelumnya pukul 09.30 WIB. Langkah ini dilakukan agar meningkatkan transaksi perdagangan saham dan juga tidak jauh berbeda dengan pembukaan jam perdagangan bursa Asia lainnya.

Ternyata langkah BEI ini memang cukup berhasil. Jam perdagangan yang dimajukan setengah jam itu berdampak signifikan terhadap transaksi perdagangan saham bursa. Hingga 20 Desember 2013, rata-rata transaksi perdagangan saham harian bursa naik menjadi Rp 6,2 triliun dari periode tahun 2012 sebesar Rp 4,5 triliun.

Pasar modal Indonesia memang cukup positif pada semester pertama 2013. Hal itu didukung dari data ekonomi yang cukup baik mulai dari suku bunga rendah yang berada di kisaran 5,75% dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih di kisaran 9.719-9.929.

Aliran dana asing masuk ke pasar modal Indonesia mencapai Rp 24,64 triliun per 20 Mei 2013. Bahkan rata-rata transaksi perdagangan saham mencapai Rp 6,9 triliun. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun naik 20% dengan mencetak level baru di kisaran 5.124 pada 20 Mei 2013 dari penutupan indeks saham pada 2012 di kisaran 4.316.

Meski demikian euforia pasar modal Indonesia cukup positif ini hanya bertahan selama enam bulan pertama sepanjang 2013. Bank sentral AS pun mewacanakan penarikan dana stimulus moneter/tapering pada 27 Mei 2013. Langkah bank sentral AS itu sontak membuat pasar keuangan dan pasar saham global terkejut.

Penarikan dana stimulus moneter dikhawatirkan akan membuat likuiditas mengering. Apalagi bank sentral AS telah melaksanakan progam quantative easing sejak beberapa tahun lalu.

Langkah bank sentral AS  telah memberikan tekanan terhadap pasar saham dan keuangan. Namun tekanan ekonomi tidak berhenti di situ saja. Pemerintah pun akhirnya menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada akhir Juni 2013. Hal itu memberikan tekanan terhadap inflasi.

Selain itu, Indonesia menghadapi defisit transaksi berjalan dan neraca perdagangan. Sehingga membuat nilai tukar rupiah semakin mendalam. Pada kuartal ketiga 2013, rupiah tembus di kisaran 11.613 per dolar AS.

Ketika Indonesia dihantam inflasi tinggi dan defisit neraca transaksi berjalan dan perdagangan membuat IHSG merosot pada kuartal III 2013. IHSG kembali ke level terendah dari penutupan IHSG pada 2012. IHSG menembus level 3.967 pada kuartal III 2013.

Meski pergerakan indeks saham bergejolak, perolehan dana dari pasar modal cukup tinggi pada 2013 khususnya penawaran saham. Berdasarkan data BEI, total perolehan dana dari hasil penawaran saham mencapai Rp 50,91 triliun. Dana itu berasal dari penawaran saham perdana mencapai Rp 16,75 triliun, penawaran umum terbatas/rights issue mencapai Rp 31,90 triliun dan waran sebesar Rp 2,26 triliun.

Sepanjang 2013, sebanyak 31 saham perusahaan telah mencatatkan saham perdana di BEI. Otoritas bursa sendiri mengharapkan 30 emiten dapat mencatatkan saham perdana di BEI. Makro ekonomi cenderung cukup baik pada semester pertama 2013 membuat sejumlah perusahaan melakukan pencatatan saham perdana.

Sayangnya perolehan dana dari hasil penjualan saham tidak diikuti oleh penawaran obligasi seperti tahun 2012. Perolehan dana dari penawaran obligasi mencapai Rp 55,66 triliun hingga 20 Desember 2013 dibandingkan tahun lalu mencapai Rp 69,36 triliun. Sementara itu, penawaran obligasi dolar AS mencapai US$ 190 juta.

Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan menjadi 6% pada Juni 2013. Bahkan saat ini suku bunga acuan telah mencapai 7,5% pada Desember 2013 membuat emiten dan perusahaan harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk penawaran obligasi karena bunga tinggi. (Ahm)