Sukses

Jojon yang Tak Pernah Mau Pensiun Jadi Pelawak

"Kalau nggak ngelawak saya makan apa?," kata Jojon.

Liputan6.com, Jakarta Siapa pun yang menggemari lawakan Jojon pasti hapal betul dengan salah satu ciri khasnya yang bisa bikin tertawa. Salah satunya ketika dirinya memanggil nama Cahyono. Dalam sebuah artikel di Kompas tahun 2011, asal mulanya terjadi kejadian itu di awal 1980-an saat Jayakarta menampilkan lakon "Romeo-Juliet" dalam lawakannya.

Cahyono yang menjadi sutradara, Jojon jadi Romeo, dan U'uk menjadi Juliet. Melihat tampang Juliet yang berantakan, Jojon yang seperti anak kecil ketakutan memanggil sang sutradara, "Cahyonooo..." dengan melenggokkan bagian "noo...oo...oo"-nya. Tawa penonton meledak. Dan sejak itu cara memanggil model begitu selalu mengundang tawa.    

Mengenal Jojon memang tidak habis untuk dibicarakan. Dikenal di dunia lawak, Jojon juga eksis lewat beberapa judul film. Debutnya diawali dengan film bertajuk 'Tiga Dara Mencari Cinta' pada 1980. Pada 2011, 'Badai di Ujung Negeri' menjadi film terakhir bagi Jojon. Ia beradu akting dengan aktor dan aktris muda seperti Arifin Putra dan Astrid Tiar.

Total film yang dibintanginya ada sembilan: Tiga Dara Mencari Cinta (1980), Okey Boss (1981), Apa Ini Apa Itu (1981), Barang Antik (1983), Vina Bilang Cinta (2005), Setannya Kok Beneran? (2008), Doa Yang Mengancam (2008), Mau Dong Ah (2009), Badai di Ujung Negeri (2011).

Dalam setiap penampilannya, Jojon tak pernah memilih-milih peran. Dia selalu menuruti apa permintaan produser dan sutradara film. Jojon juga sempat sering tampil dalam lawakan panggung dengan format kuartet. Di situlah Jojon belajar untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri.

Pada era 90-an, satu-persatu anggota Jayakarta Grup hengkang. U’u, Esther, Chaplin, dan Jojon memilih bersolo karier dengan menjadi pelawak tunggal. Ciri khas dari penampilannya adalah kumis kecil ala Charlie Chaplin/Adolf Hitler dan celana bretel mmasih menggantung sehingga mudah diingat oleh penggemarnya.

Lepas dari Jayakarta Grup, Jojon menyatu dengan grup lawak lain seperti Trio Patrio (Eko, Akri dan Parto), Bolot, Malih, Ulfa dan lain-lain. Tak beda dengan grup terdahulunya, Jojon tetap kembali menjadi objek penderita. Apalagi ketika beradu dengan Bolot, Jojon kesal dengan muka meringis karena Bolot tak mendengar omongannya. Bahkan omongannya tersebut ditanyakan berkali-kali oleh Bolot.

Meski grupnya bubar dan personilnya saling sibuk sendiri-sendiri dengan membentuk grup baru lagi dan mengumpulkan banyak pelawak baru, namun Jojon tetap menekuni gaya yang dimilikinya, mungkin inilah yang membuat ia tahan banting terhadap zaman.

Ketika ditanya wartawan, mengapa masih melawak sampai di usianya saat ini (60-an tahun), Jojon dengan lugas menjawab, "Kalau nggak ngelawak saya makan apa?"

Tak ada pretensi-pretensi ideal yang hendak mencitrakan diri sebagai seorang pengabdi atau pelestari sebuah profesi. Seperti Arswendo Atmowiloto yang selalu mengatakan bahwa dirinya menulis (apa saja) demi uang, maka barangkali "pesan" itulah yang ingin disampaikan Jojon dari kejujurannya.

Dengan itu semua, Jojon membuktikan bahwa tak hanya gema tawa yang tercipta dari lawakan-lawakannya yang berhasil melintasi zaman, melainkan kariernya sendiri sebagai penghibur juga relatif stabil. Ketika Jayakarta akhirnya rontok ditelan zaman, Jojon masih bisa tegak berdiri, seorang diri, menguji ketahanannya di antara anak-anak muda yang di zaman ini lebih suka menyebut diri mereka komedian, dengan gaya yang konsisten.

Di antara pelawak-pelawak generasi baru yang mengusung "lawakan cerdas", Jojon tetap menjadi dirinya sendiri, kanak-kanak abadi yang merajuk di balik celana aneh dan kumisnya yang hanya 'sekotak' di atas bibirnya. Ia membuktikan, lawakan "jadul"-nya tetap lucu, mampu melintasi masa. Sementara, di layar sinetron, ia bisa menjelma menjadi seorang bapak yang galak, tanpa meninggalkan jejaknya sebagai seorang pelawak.

Video Terkini