Liputan6.com, Jakarta Jika di dunia politik ada istilah "Jokowi Effect", di jagad film nasional saat ini sedang berlangsung "Raditya Dika Effect".
Apa pula itu?
Baca Juga
Mudahnya, "Raditya Dika Effect" kita artikan saja sebagai efek yang ditimbulkan oleh Raditya Dika. Efek ini berwujud orang
berbondong-bondong menonton film terbarunya, "Marmut Merah Jambu". Dari laporan box office film nasional pekan ini, "Marmut Merah Jambu" meraih 180.338 penonton setelah empat hari diputar di bioskop sejak Kamis (8/5/2014) lalu.
Advertisement
"Marmut Merah Jambu" langsung menyalip ke urutan tujuh film terlaris 2014. Karena masih banyak bioskop yang menayangkan filmnya, "Marmut Merah Jambu" mengancam dua film horor terlaris tahun ini yakni "Mall Klender" dan "Oo Nina Bobo".
Sukses "Marmut Merah Jambu" adalah kali ke sekian Dika, sapaannya, membuktikan diri sebagai bintang box office nasional. Tahun lalu Dika membukukan dua film yang dibintanginya, "Manusia Setengah Salmon" dan "Cinta Brontosaurus" di daftar 10 film terlaris tahun lalu. "Manusia Setengah Salmon" berada di urutan ke tujuh, mengumpulkan 442.631 penonton. "Cinta Brontosaurus" lebih keren lagi, berada di posisi empat meraih 892.915 penonton.
Memangnya apa sih kekuatan Raditya Dika hingga bisa menimbulkan "Raditya Dika Effect"?
Hm, dilihat dari tampang, Dika tentu tak seganteng Nicholas Saputra. Dari segi akting, Dika pun tak secemerlang Lukman Sardi atau Reza Rahadian. Kekuatan Dika bukan pada dua hal itu.
Dika dikenal pertama kali lewat buku "Kambing Jantan" (pertama terbit 2005). Itu buku kocak berisi berbagai tingkah kebodohan Dika. Lewat buku itu, Dika tak sungkan membuka aib segala polah bodohnya untuk ditertawakan pembacanya. Dari sini, orang pertama kali jatuh cinta pada kejujurannya bertutur.
Buku pertama sukses disusul buku-buku berikutnya. Resep Dika masih sama, bertutur secara kocak akan segala nasib sialnya, entah di dunia percintaan maupun hal lain.
Selain sebagai penulis, Dika menorehkan prestasi di jagad budaya pop kita ebagai salah satu pelopor era baru stand-up comedy. Meski akar stand-up comedy kita bisa dirunut hingga ke era Warkop DKI di tahun 1970-an, untuk kebangkitannya sekarang Dika terbilang yang ikut berjasa.
Sejak ia masih kuliah di Australia dahulu di awal 2000-an--sebelum ia menerbitkan buku "Kambing Jantan" dan main versi film bukunya itu. Ketika kuliah di Australia dulu, Dika pertama kali belajar serius stand-up comedy. Beruntung di dekade kedua abad ke-21 ini, stand-up comedy mendadak jadi tren di Tanah Air.
Komedi jenis ini kemudian merangsek menjadi bagian dari budaya populer arus-utama, punya penggemar dan acara teve sendiri. Dika, yang sudah membekalli diri dengan ilmu stand-up comedy sejak jauh hari, kemudian menjadi "tokoh" dari tren baru ini. Konon, saking banyak comic--sebutan pelawak di ranah stand-up comedy—yang bergaya ngelawak mirip Raditya Dika sampai muncul istilah "Radit Style".
Sekali lagi, apa sih yang bikin Dika disukai?
Dika--yang di ranah Twitter punya follower hampir tujuh juta--disukai orang mungkin karena menggambarkan sosok orang kebanyakan. Kita tahu, orang suka bintang film karena melihat sesuatu yang lain, sosok yang lebih dari mereka: lebih ganteng, lebih cantik, dan lebih segalanya. Tapi ada kalanya terjadi sebuah anomali: yang disuka penonton karena memiliki kedekatan dengan mereka.
Raditya Dika memenuhi syarat itu. Ia tidak ganteng dan juga aktingnya pun biasa saja. Tapi dari situ penonton banyak yang jatuh cinta padanya. Lewat sosok Dika, penonton kebanyakan seolah menitipkan angan mereka, orang bertampang biasa juga bisa menjadi terkenal.
Demikianlah "Raditya Dika Effect" bekerja. (ade)