Liputan6.com, Los Angeles, Amerika Serikat Masih ingatkah anda dengan kehadiran "Pacific Rim" pada pertengahan 2013 kemarin? Meski tidak mampu berbicara banyak dalam hal perolehan, karya sutradara Guillermo del Toro itu seolah membuktikan kalau film bertema raksasa masih mampu membuat para penonton terloncat dari kursinya.
Alhasil, tidak berlangsung lama setelah kegagalannya di box office Amerika, Guillermo del Toro pun mulai terobsesi untuk mengulang keberuntungan lewat sebuah sekuel. Ia bahkan nekat menulis skrip bersama Travis Beacham meski belum ada lampu hijau dari Legendary Pictures.
Lalu bagaimana dengan Godzilla? Monster paling populer di Jepang yang sempat diadaptasi Hollywood dan menjadi olok-olokan para pengamat film.
Dipegang oleh sutradara asal Inggris, Gareth Edwards, film yang belakangan ketambahan angka 2014 di judulnya ini, mencoba menggali sisi protagonis yang ada dalam sosok Godzilla.
Apalagi, dengan kemampuan olah drama Gareth yang sudah teruji lewat film indie bertajuk "Monsters" pada 2010 lalu, para produser pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk membuat film ini menjadi tontonan yang memiliki kekuatan pada segi drama.
Hasilnya, KABOOM!! aplikasi naskah karya Max Borenstein dan David Callaham itu berhasil menjadi perbincangan baru di kalangan penikmat film. Hal itu juga sukses membuat orang lupa dengan karya Rolland Emmerich yang beberapa hari kemarin masih dijadikan bahan perbandingan oleh beberapa pengamat film.
Padahal, bagi generasi 1990-an yang menonton Godzilla di bioskop ketika masih kecil, versi 1998 sebenarnya tidak seburuk yang dibilang para kritikus dan fans setia Godzilla. Secara penghasilan, film yang dibintangi oleh Matthew Broderick itu juga sukses memperoleh US$ 379 juta dari peredarannya di seluruh dunia.
Lantas, seperti apa raja monster yang diusung Hollywood kali ini?
Diadaptasi dari salah satu serial anak-anak populer di Jepang, Godzilla versi Legendary Pictures berkisah tentang ilmuwan Daisuke Serizawa (Ken Wanatabe) dan Vivienne Graham (Sally Hawkins) yang menemukan dua kepompong raksasa dalam kerangka purba di sebuah tambang di Filipina.
Kejadian itu kemudian berlanjut dengan gempa besar di wilayah nuklir Janjira, Jepang yang menewaskan banyak warga, termasuk istri dari teknisi nuklir Joe Brody (Bryan Cranston) yang turut tewas di saat kebocoran nuklir terjadi.
15 tahun kemudian, dibantu oleh sang anak, Ford Brody (Aaron Taylor-Johnson), Joe yang masih belum bisa beranjak dari peristiwa itu pun berusaha mencari tahu penyebab asli dari kejadian tersebut. Hal inilah yang akhirnya menyibak sebuah misteri besar yang sudah ditutupi sejak masa Perang Dunia Kedua.
Advertisement
Di luar dramanya yang cukup kuat, beberapa rasa ketidakpuasan pun turut mengiringi film ini, salah satunya adalah porsi kemunculan sang monster yang tergolong sedikit. Apalagi jika memperhatikan durasi film yang mencapai 123 menit.
Ibarat kata, ketimbang jor-joran dalam menampilkan pertempuran melawan monster raksasa seperti layaknya Pacific Rim, Gareth lebih memilih fokus pada drama manusia selaku para pemain utamanya.
Beruntung, meski porsi manusia terhitung banyak, kehadiran mereka tidak terlalu mengintimidasi dan menyebalkan seperti layaknya Sam Witwicky (Shia Labeouf) saat ikut bertarung bersama Transformers. Semuanya tergolong seimbang sehingga klimaks tetap bisa dicapai lewat kegagahan sang monster sendiri.
Akhir kata, selain berhasil tampil sebagai penyelamat manusia, Godzilla 2014 juga bisa disebut sebagai salah satu penyelamat nama Godzilla di tangan Hollywood.(Feb/Rul)